TikTok jadi aplikasi terpopuler di dunia. Belakangan juga jadi dicap paling kontroversial, dengan begitu banyak negara yang melarang penggunaannya.
Cuma, kayaknya ini agak berlebihan, mengingat TikTok bukan satu-satunya. Aplikasi populer kayak Facebook, Whatsapp, Instagram, Youtube, bahkan Google, juga dicap ilegal di sejumlah negara.
Sedikitnya ada 18 negara melarang penggunaan TikTok, baik untuk seluruh warga maupun hanya buat pegawai pemerintah. Di antaranya Australia, Afganistan, Inggris, Taiwan, Somalia, dan lain sebagainya. Sementara, Facebook dan Google juga nggak dibolehkan di China dan Rusia, itu termasuk Youtube dan Instagram.
Baru hari Minggu kemarin (19/1/25) pemerintah Amerika Serikat secara resmi melarang TikTok. Orang-orang di Negeri Paman Trump sudah nggak bisa lagi download aplikasi ini lewat AppStore atau PlayStore. Sementara yang sudah punya dan mau coba pakai, akan menerima pesan “Sorry, TikTok isn’t available right now.” Itu karena pemerintah AS agak kuatir data-data warganya bakal disalahgunakan.
Sebenarnya, pemerintah AS lewat Kongres sudah ngasih solusi. Mereka minta induk TikTok menjual operasional aplikasi ini di AS, ke perusahaan lain yang nggak berbasis di China. Tapi karena perusahaan TikTok yang diwakili CEO-nya, Shou Zi Chew menolak, jadinya diputuskan blokir.
Memang, AS lagi nggak akur sama China. Sementara, perusahaan induk TikTok, ByteDance, markas besarnya ada di Haidian, Beijing. Pemerintah AS agak anxiety, karena China punya undang-undang khusus tentang keamanan nasional. Di mana, perusahaan di sana wajib membantu keperluan intelijen kalau negara lagi butuh.
Selain alasan politis, larangan ini maksudnya juga buat ngasih perlindungan ke perusahaan teknologi lokal di AS. Di samping agar TikTok nggak terlalu mendominasi secara global. Soalnya, aplikasi ini dianggap rentan dipenuhi konten hoaks dan propaganda. Bahkan algoritmanya pun dinilai canggih, bisa dipakai buat manipulasi perilaku atau keputusan para penggunanya.
TikTok itu Bukan Pemerintah China
Meskipun gitu, TikTok sendiri sudah membantah kalau mereka punya afiliasi sama pemerintah China. Memang, pengembang TikTok adalah orang Tiongkok, namanya Zhang Yiming, insinyur perangkat lunak lulusan Universitas Nankai.
Pria ini mendirikan ByteDance pada 2012, lalu bikin aplikasi berbagi video, Douyin yang rilis resmi tahun 2016. Aplikasi lokal China ini langsung populer di sana, sehingga Zhang tertarik buat memperluas jangkauannya. TikTok, atau Douyin versi internasional pun diluncurkan setahun kemudian.
Zhang yang pintar bisnis memutuskan beli musical.ly, platform medsos yang populer di kalangan muda-mudi AS. Lalu, platform ini digabungkan dengan TikTok, basis penggunanya pun naik drastis, sampai sekarang.
Didirikan 2012 oleh orang China, sampai 2025 ByteDance Ltd. masih berbasis di negeri Wong Fei Hung itu. Tapi, sekitar 60% saham BytDance sudah dikuasai sama perusahaan investasi global, kayak Carlyle Group, General Atlantic, dan Susquehanna International Group. Sementara, 40% lagi dibagi rata, 20% milik karyawan ByteDance di berbagai negara di dunia, sedangkan sisanya masih punya Zhang Yiming.
Meski Zhang Yiming orang China, 5 orang dewan direksi ByteDance bukanlah orang China. Mereka, di antaranya Rubo Liang, Ketua dan CEO (berbasis di Singapura), dan Neil Shen dari Sequoia (berbasis di Hong Kong). Tiga orang lagi, yaitu Arthur Dantchik dari Susquehanna International Group, Bill Ford dari General Atlantic, dan Philippe Laffont dari Coatue Management, semuanya berbasis di Amerika Serikat. Begitu pula CEO Shou Zi Chew, yang meskipun berwajah khas Mandarin, dia adalah warga negara Singapura sejak dari kakeknya.
Di China Malah Nggak Ada TikTok
Kalau lihat fakta-fakta ini, kayaknya TikTok memang nggak ada hubungannya sama pemerintah China. Ironisnya, bahkan aplikasi ini nggak tersedia di negara pimpinan Xi Jinping. Nggak dilarang kayak di AS atau negara-negara lain, tapi lebih disesuaikan dengan aturan setempat.
Sebagai gantinya, ByteDance menghadirkan Douyin, aplikasi serupa dengan fitur dan algoritma mirip TikTok, cuma katanya lebih canggih. Platform social-commerce ini dirancang khusus buat memenuhi regulasi ketat pemerintah China. Artinya, aturan di Douyin jauh lebih ketat daripada TikTok. Dari pembatasan screen-time sampai konten yang diawasi dengan ketat, sesuai kebijakan nasional.
Selain itu, diketahui kalau Douyin punya infrastruktur berbeda dengan TikTok. Aplikasi ini pakai server lokal China, biar lebih mudah diawasi sama otoritas setempat, sekaligus biar data pengguna nggak sampai bocor.
Sementara, TikTok memang dirancang buat pasar internasional. Server dan operasionalnya terpisah dari Douyin, dengan kantor yang juga tersebar di mana-mana. Termasuk di Los Angeles dan New York untuk operasional wilayah AS. Serta di kota-kota besar dunia lainnya, seperti Tokyo, Seoul, London, Paris, Berlin, Dubai, Mumbai, Singapura, hingga Jakarta.
Kenapa begitu? Kalau menurut ByteDance, selain karena patuh aturan, maksudnya juga biar negara lain nggak nuduh TikTok melibatkan pemerintah China dalam aktivitas globalnya.
Sebaliknya, semua keputusan penting perusahaan TikTok dilakukan sama anggota dewan, di mana nggak ada satupun yang orang Tiongkok. Kalau dewan ByteDance sudah disebutkan sebelumnya, pengambil keputusan di TikTok adalah Shou Chew, COO Vanessa Pappas (warga Australia), dan beberapa orang senior leader yang bermarkas di Singapura, AS, dan Irlandia.
Terlepas dari Semua Itu, TikTok Memang Fenomenal
Cuma butuh waktu kira-kira setahun buat Douyin sampai diunduh 100 juta pengguna. Gimana dengan TikTok? Kalau menurut data rilisan Statista tanggal 20 Desember 2024, TikTok adalah aplikasi mobile paling banyak diunduh di dunia. Total unduhannya sudah mencapai 825 juta lebih, dengan jumlah pengguna yang diperkirakan sampai 955 juta orang.
Masih dari laporan Statista, Juli 2024, AS jadi negara yang penduduknya paling banyak pakai TikTok dengan jumlah sekitar 120,5 juta pengguna. Hanya satu level di bawah Indonesia yang punya user TikTok terbesar di dunia, yakni 157,6 juta pengguna. Selebihnya, lima besar lainnya diisi oleh Brazil (105,2 juta), Meksiko (77,5 juta), dan Vietnam (65,6 juta).
Memang kalau secara umum, popularitas TikTok masih kalah dengan platform milik Meta, baik satu-satu atau digabung. (Statista, April 2024)
Facebook masih jadi media sosial terpopuler dengan lebih dari 3 miliar pengguna. Sementara TikTok masih di angka 1,5 miliar, kalah dari Youtube, Instagram, dan Whatsapp. Tapi, mengingat mayoritas user TikTok adalah generasi Z ke bawah, maka bisa saja aplikasi medsos lain akan kesalip dalam beberapa tahun mendatang. Dan sejauh ini, TikTok jadi platform dengan pertumbuhan yang paling cepat sedunia.
Platform yang Canggih dan Adiktif
Itu bisa terjadi karena platform ini interface-nya gampang, selain konten-kontennya yang adiktif bagi sebagian orang. Algoritmanya pun unik, agak beda dengan media sosial lain yang bergantung pada jaringan pengguna,
User TikTok nggak perlu follow siapa-siapa dulu untuk nonton konten-konten menarik. Algoritma dirancang buat menampilkan konten dari berbagai kreator, tanpa perlu berteman. Jadi, pengguna baru bisa nemu konten menarik sejak awal, mendapatkan pengalaman yang segar. Apalagi algoritma TikTok juga terus belajar dan adaptasi, guna memastikan konten tetap relevan dan menarik buat pengguna.
Selain itu, platform ini juga dilengkapi fitur edit video yang sederhana. Jadi pengguna bisa mudah mengekspresikan kreativitas mereka. Dengan basis pengguna yang begitu melimpah, peluang untuk ditonton dan diapresiasi terbuka lebar buat siapa saja.
Makanya, TikTok akhirnya juga jadi ladang subur untuk bisnis. Apalagi sekarang ada fitur pasar elektronik, sehingga peluang untuk menghasilkan cuan pun sangat terbuka. Nggak heran kalau banyak user loyal yang mencari nafkah lewat platform ini.
Jadi Tren yang Menggeser Perilaku
Konten video di TikTok awalnya berdurasi pendek, kurang dari 60 detik. Baru sekitar empat tahun belakangan, platform ini ngasih kesempatan buat video-video panjang. Bertahap, mulai maksimal 3 menit, 10 menit, sampai 60 menit untuk beberapa kreator terpilih.
Tapi tetap saja, itu berarti konten TikTok rata-rata masih berdurasi pendek. Bisa dianggap instan atau efektif, video pendek bikin pengguna yang gampang puas bisa melepas rasa penasarannya dengan cepat. Algoritma canggih, plus fitur infinite-scroll yang selau memunculkan konten-konten baru dan menarik, dari kreator yang bahkan nggak dikenal sebelumnya. Ngasih kepuasan instan ke pengguna secara terus-menerus.
Sejauh ini, memang kebanyakan user pakai TikTok buat cari hiburan, seenggaknya itu menurut studi dari Datareportal (Oktober 2024). Empat dari lima orang responden yang pengguna TikTok, ngaku kalau mereka pakai platform itu buat nonton video lucu dan menghibur. Alasan terbanyak kedua, buat nyari info tentang produk atau brand yang disukai. Baru yang ketiga, nyari berita dan info terkini, biar selalu update.
Tentunya itu bergeser dari paradigma pengguna sosial media sekitar 15 tahun lalu. Waktu itu, orang pakai media sosial untuk terhubung dengan teman, keluarga, atau orang-orang dengan minat sama. Di era TikTok, konektivitas personal justru jadi alasan yang paling jarang disebutkan. Alih-alih membangun hubungan atau jaringan, pengguna TikTok lebih fokus mengonsumsi konten yang sifatnya individual dan sangat personal.
Bahkan, sebagian orang pakai TikTok buat menggantikan peran Google sebagai mesin pencari. Beberapa artikel dari media ternama, kayak New York Times, Business Insider, atau eMarketer nulis sesuatu tentang 40% generasi muda lebih milih cari info di TikTok daripada Google. Itu mengutip pidato Prabhakar Raghavan, CTO Google, meskipun konteks sebenarnya tentang pencarian tertentu, yaitu info makan siang.