in

Bahaya Doomscrolling, Keseringan Lihat Info Negatif di Internet

Ilustrasi: doomscrolling menggerogoti mental
Ilustrasi: doomscrolling menggerogoti mental

Nggak tahu, ya. Setiap buka media sosial, atau internet secara umum, ada saja informasi negatif.

Malam ini, (22/12/2024) Hipmin coba buka Google Search dan ketik kueri ‘Berita hari ini’. Hasilnya, dari enam berita yang muncul paling atas, semuanya berita buruk. Ada soal pajak yang mau naik, kecelakaan, tragedi personal warga, konflik figur publik, sampai perusahaan besar yang pailit.

Itu belum lagi kalau di medsos. Kalau kamu follow akun-akun kanal berita, pasti relate.

Bahkan kini nggak cuma mereka yang nyebarin info negatif. Akun dengan banyak follower lainnya, kayak influencer, menfess, komunitas, juga sering ikut ramein isu-isu yang lagi hangat.

Sementara itu, kita penasaran, ingin tahu lebih banyak soal berita yang lagi beredar. Kalau isunya lagi bagus, sih, nggak masalah. Tapi gimana kalau negatif? Bisa-bisa malah bikin pikiran makin berat. Dan kalau diteruskan, justru jadi kebiasaan yang nggak sehat. Namanya doomscrolling, yang jadi ancaman serius buat kesehatan mental dan fisik kita.

Apa itu Doomscrolling?

Doomscrolling juga sering disebut doomsurfing. Doom artinya kehancuran, dan scrolling artinya gulir-gulir. Kalau digabung, dua istilah itu mencerminkan kebiasaan gulir-gulir (media sosial dan berita daring) yang sifatnya obsesif. 

Istilah doomscrolling dipakai buat menyebut orang yang punya kebiasaan, terus-terusan mengonsumsi konten di internet, meskipun isinya kebanyakan negatif, bikin cemas, takut, khawatir, atau mengerikan. 

Yang dimaksud negatif itu sangat banyak contohnya. Misalnya berita konflik dan kekerasan, perang, pelecehan seksual, skandal selebritis, penipuan donasi, bencana alam, krisis iklim, pandemi, kemiskinan, kebijakan kontroversial, pengangguran, demo ricuh, kecelakaan, pelanggaran HAM, kejahatan oknum polisi, data NIK bocor, sangat banyak sekali.   

Istilah doomscrolling mulai populer pada masa-masa pandemi COVID-19 beberapa tahun lalu. Waktu itu memang segalanya kayak serba gelap. Soalnya, tiap hari selalu ada update berita jumlah korban yang terus nambah, serta berbagai masalah lain yang jadi efek dominonya.

Tapi setelah pandemi lewat, ternyata fenomena ini masih eksis.

Sederhananya lagi, doomscrolling adalah kebiasaan mengonsumsi konten online yang negatif secara berlebihan. Padahal si konsumen ini sudah tahu kalau konten negatif itu memengaruhi pikirannya. Dia jadi ikut-ikutan berpikiran buruk. Cuma ya gitu, dia nggak jera, justru malah penasaran pengen tahu lebih dalam. 

Ilustrasi: skrol skrol smartphone (dok: Motion Array)

Kenapa Bisa Begitu?

Selama ribuan tahun, nenek moyang kita hidupnya penuh ancaman. Mulai dari susah cari makan, hewan-hewan buas, sampai bencana alam. Makanya, otak manusia berkembang untuk bisa merespons ancaman biar bisa bertahan hidup.

Itulah kenapa, secara alami otak cenderung lebih responsif, bahkan fokus, pada informasi negatif daripada positif. Info negatif cenderung gampang diingat dan diperhatikan daripada yang positif, karena otak menganggapnya lebih relevan buat kelangsungan hidup.

Masalahnya, bad news is a good news. Berita buruk dibuat menarik atensi publik, jadi sorotan utama karena memikat emosi pembaca.

Profesor psikiatri di Harvard Medical School, Dr. Richard Mollica bilang, “Media cenderung mengutamakan berita negatif. Kita nggak menerima pesan tentang harapan — semua isinya negatif.”

Waktu ada krisis atau isu besar, kita sering gelisah dan pengen nyari jawaban. Ini dipicu oleh kebutuhan untuk merasa “tahu” dan “mengendalikan” situasi, tapi nyatanya malah nemu informasi yang justru bikin tambah stres.

Masalahnya lagi, tanpa sadar, aktivitas kita di internet dipandu sama algoritma. Semakin banyak interaksi, semakin sering muncul konten serupa. Media sosial dirancang biar pengguna terus-terusan mantengin konten-konten di dalamnya. Fitur kayak infinite scroll dan rekomendasi konten berdasarkan minat, bikin kita terjebak dalam siklus scrolling tanpa akhir.

Lagian, otak kita melepaskan dopamin setiap kali nemu informasi baru, positif atau negatif. Ini menciptakan efek reward (kepuasan) yang bikin kita sulit stop scrolling.

Ditambah lagi, waktu orang-orang dekat kita sibuk ngomomongin topik tertentu, kita kayak nggak mau kalah. Terdorong untuk ikut membahasnya. Kalau belum tahu, kita balik lagi ngulik info sampai sedalam-dalamnya.  Bahkan, tanpa sadar kita bisa ikut menyebarkan berita negatif tersebut.

Terus, Apa Dampaknya?

Mungkin awalnya kebiasaan ini terlihat sepele, tapi sebenarnya punya efek yang cukup serius. Mulai dari gangguan tidur, meningkatnya kecemasan, hingga produktivitas turun. Pada akhirnya, doomscrolling bikin kita lebih fokus pada hal-hal buruk dan nggak bisa menikmati momen positif di sekitar.

Christopher A. Kelly dan Tali Sharot, ilmuwan dari Department of Experimental Psychology, University College London (UCL) pernah bikin penelitian soal efek doomscrolling. Penelitian mereka dipublikasikan di jurnal Nature Human Behaviour. 

Awalnya, mereka ngajak 1.000 orang lebih ikut tes psikologis buat ngecek kondisi kesehatan mental. Lalu para peserta mereka diminta surfing di internet setengah jam. Diikuti dengan tes kesehatan mental lain, sebelum diminta untuk mengungkapkan aktivitas surfing mereka tadi kepada peneliti.

Hasilnya, orang yang punya nilai kesehatan mental paling jelek, justru lebih banyak nyari info negatif.

Menurut Dr. Aditi Nerurkar, dosen di Divisi Kesehatan Global dan Kedokteran Sosial di Harvard Medical School, konsumsi info negatif bikin kita terjebak dalam pola stres yang berulang.

Doomscrolling adalah respons kita terhadap stres yang terus-menerus,” katanya.

Lingkaran setan doomscrolling bikin kita terjebak. Kita tahu bahwa info negatif itu bikin cemas, tapi kita juga nggak berhenti. Sebaliknya malah terus nyari, sampai nggak sadar kalau kecanduan dan stres terus-terusan.

Penelitian lain yang dipublikasikan di Applied Research in Quality of Life pada April 2023 nemu hubungan antara doomscrolling dengan turunnya kualitas hidup dan kesehatan mental.

Studi lainnya di Computers in Human Behavior Reports (Agustus 2024) nunjukin kalau kebiasaan ini bisa memicu kecemasan eksistensial — rasa takut tentang keterbatasan hidup.

Nggak cuma bikin pikiran lelah, doomscrolling juga memengaruhi fisik. Efeknya mulai dari sakit kepala, ketegangan otot, hingga tekanan darah tinggi.

“Banyak orang yang doomscrolling berjam-jam akhirnya malah nggak bergerak sama sekali,” kata Dr. Nerurkar. Kebiasaan ini juga bisa memengaruhi tidur, nafsu makan, bahkan memperburuk kesehatan mental.

Ilustrasi: main smartphone sebelum tidur malam (dok: WRmattress)

Kurang-Kurangin itu Kebiasaan Doomscrolling

Kata Dr. Nerurkar, siapa aja yang punya smartphone, plus akun media sosial di dalamnya, lebih cenderung punya kebiasaan doomscrolling. Tapi, risikonya lebih tinggi buat orang yang pernah kena trauma, khususnya perempuan.

“Sebagian besar berita kekerasan bercerita tentang menyakiti perempuan dan anak-anak,” kata Dr. Mollica.

“Orang yang pernah mengalami kekerasan sering doomscrolling karena rasa takut,” tambahnya. “Mereka merasa dunia nggak aman dan mencoba mencari informasi untuk meredakan kecemasan. Tapi, ironisnya, doomscrolling malah memperburuk kondisi mereka.”

Dr. Nerurkar juga nambahin, mengurangi doomscrolling bukan berarti nggak boleh baca berita sama sekali. “Kita tetap perlu informasi, tapi jangan sampai mengorbankan kesehatan mental.”

Lalu, dia juga ngasih beberapa strategi untuk menciptakan batasan digital yang sehat:

  1. Jangan tidur dekat ponsel, biar pas bangun nggak langsung scroll-scroll. Lebih baik alihkan dengan stretching ringan, ngecek udara pagi di luar, atau cuci muka dan gosok gigi.
  2. Kalau kerjaanmu nggak ada hubungannya dengan HP, sebaiknya juga letakkan agak jauh pas lagi kerja.
  3. Waktu makan, fokus aja. Hindari kebiasaan sambil pegang ponsel, apalagi scroll-scroll media sosial.
  4. Mengubah layar ke mode abu-abu atau mode perlindungan mata bisa bikin kurang untuk scroll.
  5. Atur notifikasi biar nggak bikin kamu sering terdistraksi. Nyalakan yang penting-penting saja, misalnya Whatsapp atau dering telepon.
  6. Konten-konten hiburan cenderung lebih positif. Apalagi yang ada tips-tips positif yang lebih relate sama kehidupan sehari-hari.
  7. Kalau ada orang dekat yang ngajak kamu ngobrolin info negatif, atau nge-share di sosmed, jangan ragu untuk cuek.
  8. Lakukan aktivitas yang lebih bikin nggak stres, misalnya jalan-jalan di alam, joging pagi, baca buku, main musik, atau kegiatan sosial yang bermanfaat buat orang banyak.

Nyari info di internet itu wajar-wajar saja. Tapi kalau informasi yang didapat justru bikin cemas dan takut, lebih baik stop. Kalau kamu merasa doomscrolling sudah terlalu mengganggu, jangan ragu untuk konsultasi ke dokter atau profesional kesehatan mental.