Lagu All I Want For Christmas Is You-nya Mariah Carey mulai seliweran di mana-mana, tandanya perayaan Natal tiba. Selain Mariah Carey, ada satu sosok yang selalu nongol dan ditunggu-tunggu tiap momen Natal, bahkan sejak dulu. Pria baik hati berjanggut putih yang dicintai anak-anak a.k.a Santa Claus atau bahasa Indonesia-nya Sinterklas.
Tapi sebenarnya dia itu siapa sih? Nyata, atau cuma legenda yang famous karena jago branding aja?
Asal Usul Sinterklas
Jadi ceritanya agak panjang. Versi awal Sinterklas dikaitkan sama sosok St. Nicholas, seorang biarawan Kristen dari abad ke-3 yang tinggal di wilayah Myra (sekarang Demre, Turki). St. Nicholas ini terkenal murah hati, terutama sama anak-anak.
Menurut legenda, St. Nicholas memang hobi bagi-bagi hadiah. Salah satu perbuatan baiknya yang banyak diceritakan adalah waktu dia membantu tiga gadis yang hampir dijual ke perbudakan karena kemiskinan.
St. Nicholas diam-diam ngasih kantong emas ke jendela rumah mereka di malam hari. Di beberapa versi cerita, emas itu jatuh ke kaus kaki atau sepatu yang digantung dekat perapian.
Selama Renaisans Eropa (sekitar tahun 1350-1600 M), St. Nicholas dari Myra adalah santo paling populer di Eropa. Dihormati di gereja-gereja Timur dan Barat.
Waktu agama Kristen mulai masuk ke Eropa Utara dan Skandinavia, cerita St. Nicholas mulai dibumbui printilan seperti pohon Natal menyala, peri, dan kereta terbang.
Setelah Reformasi, nama St. Nicholas sempat hilang di banyak negara, kecuali di Belanda. Di sana, St. Nicholas disebut sebagai Sinterklaas. Sosoknya digambarkan sebagai seorang pria jakung berjanggut putih, pakai jubah merah. Dia datang ke rumah-rumah tiap tanggal 6 Desember, di Hari Santo Nikolas, sambil bawa hadiah buat anak baik, dan batu arang buat anak nakal.
Orang-orang Belanda lalu membawa cerita rakyat itu ke New Amsterdam (sekarang New York) di koloni Amerika, abad ke-17. Di situ, Sinterklaas bertransformasi jadi Santa Claus yang kita kenal sekarang, komplet dengan outfit dan ketawa khasnya “Ho ho ho”.
Sinterklas yang gemuk dan berbaju merah sebenarnya baru populer sekitar tahun 1823, lewat puisi “A Visit from St. Nicholas” (Twas the Night Before Christmas). Lalu ilustrator Thomas Nast menguatkan image Sinterklas klasik ini lewat gambarnya di Harper’s Weekly di akhir abad ke-19.

Banyak yang percaya Coca-Cola menciptakan Sinterklas modern, tapi sebenarnya sih nggak. Mereka memang membantu memopulerkan Sinterklas berjubah merah lewat iklan tahun 1930-an, tapi dandanannya udah kayak gitu sebelumnya. Jadi ya Coca-Cola cuma bikin Sinterklas lebih global dan nge-trend aja.
Di Inggris, Sinterklas dikenal sebagai Father Christmas. Di Prancis, namanya Père Noël. Meskipun beda nama, sosoknya tetap sama: pria baik hati yang ngasih hadiah buat anak-anak yang sopan dan manis.
Penelusuran Jejak Sinterklas
Orang-orang yang penasaran sama sosok Sinterklas mulai bikin penelusuran. Sejak 1955, NORAD (Komando Pertahanan Dirgantara Amerika Utara) melacak perjalanan Sinterklas tiap malam Natal. Dengan radar dan sensor inframerah, mereka mendeteksi keberadaan kereta luncur Sinterklas dan Rudolph, rusa kutub ikoniknya.
NORAD yakin banget kalau Sinterklas itu beneran ada, lengkap dengan ciri-ciri tubuhnya yang spesifik—tinggi sekitar 5’7″ (170 cm), berat 260 pon (118 kg), punya lingkar perut besar, pipi kemerahan, dan, of course, janggut putih panjang.

Menurut mereka, kereta luncur Sinterklas juga canggih banget. Serbaguna untuk segala cuaca dan bisa terbang tanpa perlu ngisi bahan bakar.
Nggak cuma itu, ahli saraf Dean Burnett juga mengklaim kalau Sinterklas itu nyata. Para penyangkalnya, menurutnya, pasti bagian dari konspirasi perusahaan mainan besar yang pengen orang-orang beli produk mereka.
Bahkan Burnett punya penjelasan ilmiah soal rusa terbang Sinterklas. Kata dia, mungkin aja dulu Sinterklas pakai rusa asli, tapi sekarang pakai teknologi canggih dengan energi dari lubang hitam. Jadi kira-kira Sinterklas punya akses ke kuantum.
Kalau secara logika masih nggak masuk, ya paling nggak diambil sisi baiknya aja. Itu kata Francis Church, seorang wartawan yang nulis jawaban legendaris atas balasan surat seorang gadis kecil, Virginia O’Hanlon, yang tanya apakah Sinterklas itu nyata.
Di jawabannya yang diterbitkan di The New York Sun tahun 1897, Church bilang, “Ia ada sebagaimana cinta, kemurahan hati, dan pengabdian ada.”
Menurut Church, Sinterklas itu ada dan selalu ada, selama kebaikan dan kebahagiaan bisa dirasakan. Jadi, meski nggak bisa dilihat secara langsung, Sinterklas ada di dalam hati setiap orang yang berbagi cinta dan kebaikan.
Nggak Percaya Sinterklas Ada
Buat yang berpendapat bahwa Sinterklas itu nggak ada, argumen mereka seringkali berhubungan dengan kenyataan pahit dunia.
Contohnya, Ebenezer Scrooge dalam A Christmas Carol karya Charles Dickens, marah-marah waktu ada yang menyinggung cerita Sinterklas saat Natal. Menurutnya, realita di dunia dengan segudang masalah ekonomi dan sosial membuat kisah-kisah semacam itu nggak masuk akal.
Ada juga yang memakai logika matematika dan sains buat membantah Sinterklas. Menurut seorang sumber dari majalah Spy, Sinterklas punya waktu yang sangat terbatas—cuma 31 jam buat mengunjungi seluruh rumah dengan anak-anak yang baik di seluruh dunia. Sesuai perbedaan zona waktu dan rotasi bumi, dengan asumsi dia travelling dari timur ke barat.
Kalau dihitung-hitung, itu artinya Sinterklas harus mengunjungi sekitar 822 rumah per detik. Dia cuma punya waktu 1/1000 detik buat parkir, melompat keluar dari kereta, turun lewat cerobong asap, ngasih hadiah di bawah pohon natal, naik lagi lewat cerobong asap, lompat lagi ke kereta luncur dan pindah ke rumah lain.
Pakai asumsi dia harus mampir ke 91,8 juta rumah di seluruh bumi dalam satu malam. Kalau dibagi rata, setiap pemberhentian jaraknya sekitar 0,78 mil. Total jarak yang harus dia tempuh 75,5 juta mil.
Buat ngejar jadwal, kereta Sinterklas mesti meluncur di kecepatan 650 mil per detik, alias 3.000 kali kecepatan suara. Sebagai pembanding, kendaraan tercepat buatan manusia, pesawat luar angkasa Ulysses, cuma bisa ngacir 27,4 mil per detik. Sedangkan rusa kutub standar paling mentok lari 15 mil per jam.

Urusan beban kereta luncur juga nggak kalah mind-blowing. Kalau tiap anak dapat hadiah satu set Lego ukuran sedang (beratnya 2 pon), itu berarti Sinterklas harus angkut 321.300 ton hadiah. Ini belum termasuk berat Sinterklas sendiri ya.
Sementara di darat, rusa kutub normal cuma sanggup narik maksimal 300 pon. Oke, kita kasih benefit of the doubt buat “rusa kutub terbang” yang katanya punya tenaga super, misalnya mereka bisa narik sepuluh kali beban biasa. Tetap aja delapan atau sembilan rusa nggak bakal cukup.
Kira-kira, dengan kalkulasi itu semua, Sinterklas butuh 214.200 rusa kutub. Tapi kalau gitu, total beban kereta luncur akan naik jadi 353.430 ton. Makanya, secara logika dan fisika, perjalanan Sinterklas ini mustahil bin nggak mungkin.
Buat sebagian orang, Natal adalah momen sakral untuk mengenang kelahiran Yesus Kristus, bukan cuma soal hadiah dan kereta luncur.
Edwin Shank, seorang blogger Mennonite, bilang kalau Sinterklas itu cuma kebohongan budaya. Bagi orang yang memegang teguh nilai-nilai agama, memberi tahu anak-anak tentang Sinterklas dianggap sebagai bentuk kebohongan yang nggak sejalan dengan ajaran yang benar.
“Alasannya sederhana, yaitu Sinterklas dan para peri, kereta luncur, rusa kutub, dll. yang ada di sekitarnya nggak ada hubungannya sama sekali dengan kelahiran Yesus. Sama sekali tidak ada hubungannya,” katanya.
However, inti dari tulisan ini silahkan kamu simpulkan sendiri. Lebih percaya Sinterklas ada atau nggak ada, terserah saja. Yang penting jangan sampai kehilangan esensi perayaan Natal yang penuh suka cita dan kebersamaan. Selamat Natal!