Survival mode dalam dunia permainan biasanya bikin orang lebih skillful. Nggak cuma mengasah kemampuan teknis, tapi juga jadi ajang latihan mental, biar bisa tetap tenang menghadapi situasi sulit dan penuh tekanan.
Musuh atau tantangan, terus-menerus datang. Bikin tegang, fokus untuk nyari solusi-solusi kreatif biar bisa menang. Biasanya lewat manajemen sumber daya yang baik, pengambilan keputusan yang cepat, atau kerja sama dengan pemain lain.
Intinya, survival mode ngasih pengalaman yang lebih intens dan mendalam.
Sama. Survival mode di dunia nyata juga bisa bikin kemampuanmu meningkat, secara umum.
Profesor Brian Fagan, antropolog dari Universitas California, bilang, “Salah satu hal terpenting tentang Homo sapiens adalah kita memiliki kemampuan berbicara yang lancar, ditambah dengan kemampuan untuk mengonseptualisasikan dan membuat rencana ke depan.”
Berbekal otak besar, manusia bisa mengembangkan kreativitas yang membantunya bertahan hidup, menghadapi situasi sulit dan penuh tekanan.
Makanya, waktu masuk zaman es, sekitar 24.000 sampai 21.000 tahun lalu, nggak cuma bertahan, manusia justru bisa berkembang pesat. Mereka bisa bikin alat-alat buat berburu, bahkan alat buat bikin perlengkapan berburu.
Lewat bahasa dan seni, orang-orang zaman dulu menularkan ilmu, sesederhana tentang hewan apa yang bisa diburu untuk dimakan, cuma dengan menggambar di dinding gua.
A Few Moments Later…
Dua puluh ribu tahun kemudian, memasuki abad ke-21 yang modern. Survival mode juga mengalami perkembangan. Kalau dulu situasi sulit memaksa orang purba bertahan hidup dan berkembang, sekarang output-nya nggak selalu demikian.
Dr. Agnieszka Klimowicz , Konsultan Psikiater di The London Psychiatry Centre pernah bilang, “Sementara respons stres cerdas tubuh kita berevolusi untuk melindungi dari ancaman hidup/mati, kayak mammoth yang marah, kehidupan modern kita yang sibuk diisi stresor yang sebenarnya bukan ancaman hidup/mati, tapi masih bisa memicu respons fight or flight, misalnya deadline, email kantor, bahkan lalu lintas macet parah.”
Survival mode masa kini sering dikaitkan dengan mode “bertahan hidup” yang bikin kita fokus sepenuhnya pada hal-hal mendasar biar tetap jalan. Tapi sayang, sering kali dengan mengorbankan kebahagiaan dan kesehatan.
Survival mode adalah istilah informal untuk menggambarkan kondisi, saat seseorang terpengaruh oleh respons stres yang berkepanjangan. Maksudnya, ini adalah respons alami tubuh terhadap stres atau ancaman yang kita hadapi.
Ketika merasa terancam, otomatis tubuh kita mengaktifkan mode “fight, flight, or freeze (melawan, kabur, atau diam)” untuk merespons.
“Berada dalam mode kabur atau melawan, nggak cuma berpengaruh ke pikiran, tapi juga tubuh. Misalnya, kondisi itu bikin tekanan darah dan detak jantung naik. Dalam jangka panjang, sistem saraf yang nggak teratur (dalam mode bertahan hidup) nggak baik buat kesehatan tubuh dan pikiran,” Dr. Agnieszka nambahin.
Survival Mode Aktif
Saat mode survival aktif, ada dua sistem saraf yang berproses, yaitu sistem saraf simpatik dan parasimpatik. Sistem saraf simpatik fungsinya mempersiapkan tubuh menghadapi bahaya. Caranya dengan meningkatkan detak jantung, mempercepat pernapasan, dan bikin tubuh lebih waspada. Sementara sistem saraf parasimpatik, bertugas menenangkan tubuh setelah ancaman berlalu.
Kalau dua sistem ini kerja secara berlebihan atau nggak seimbang, apalagi berkepanjangan, lama-lama kita bisa capek fisik dan emosional. Kamu bisa merasa selalu terjaga, cemas, atau kebalikannya justru datar dan kehilangan energi—dua respons yang sering terjadi saat kita masuk dalam mode bertahan hidup.
Kalau kamu stres akibat kelamaan survival mode, kamu akan susah fokus pada hal-hal yang disukai. Bisa-bisa semua hal dianggap sebagai ancaman, meskipun kenyataannya nggak. Kamu sering bikin keputusan aneh yang nggak rasional. Sehingga muncul masalah baru yang sebenarnya nggak perlu terjadi, kalau kamu bisa menghadapi situasi dengan tenang. Akhirnya, kamu stres lagi, capek fisik dan emosional lagi, itu jadi siklus yang sulit diputus.
Pemicu aktivasi mode bertahan hidup ada berbagai faktor. Trauma yang terjadi di masa lalu, seperti kehilangan orang yang kita sayangi, pernah kecelakaan parah, atau mungkin kena pelecehan, bisa bikin otak otomatis masuk mode bertahan hidup biar tetap aman.
Tapi meskipun kamu nggak pernah mengalami trauma-trauma besar, mode ini juga bisa aktif. Misalnya saat menghadapi stres yang kecil tapi konstan, kayak tekanan pekerjaan atau masalah keluarga, hubungan, dan yang ‘kecil-kecil’ lainnya.
Sayangnya, sering kali orang nggak sadar kalau dirinya sedang dalam survival mode. Rasanya cuma cepat lelah, merasa terisolasi, dan nggak punya energi buat melakukan hal-hal yang sebelumnya asyik. Terus, masih belum sadar sehingga nggak segera diatasi, akhirnya nggak bisa mengendalikan diri dan terjebak dalam lingkaran stres.
Tanda-tanda Kamu Hidup dalam Survival Mode
Cek lagi, apa hidupmu normal-normal saja atau sedang dalam mode bertahan hidup? Ini beberapa tanda umum yang bisa bantu kamu mengenalinya:
- Susah tidur atau nggak nyenyak
- Gampang capek, bahkan masih capek setelah bangun tidur
- Kagetan dan mudah cemas tanpa alasan jelas
- Dikit-dikit bingung, sulit membuat keputusan
- Pola makan nggak teratur, kadang berlebihan kadang lupa sama sekali
- Merasa terlalu banyak yang dipikirkan atau overwhelming (kewalahan)
- Stres yang nggak habis-habis
- Emosi mati rasa, terasing, dan motivasi rendah
- Denyut jantung cepat atau napas pendek
Kalau kamu merasa mengalami beberapa gejala ini, besar kemungkinan hidupmu sedang dalam mode survival. Tapi jangan khawatir, ada langkah-langkah yang bisa diambil untuk keluar darinya.
Cara Keluar dari Mode Bertahan Hidup
Ini metode menurut laman psychiatry.co.uk. Memang, nggak segampang itu untuk bisa keluar dari mode bertahan hidup. Beberapa langkah berikut bisa dicoba untuk mengembalikan keseimbangan tubuh dan pikiranmu.
- Akui Kondisi yang Sedang Kamu Alami
Terima kenyataannya: kamu sedang dalam mode bertahan hidup. Beri waktu buat diri sendiri untuk merasakan dan menyadari yang sedang terjadi. Nulis jurnal bisa sangat membantu buat memproses perasaan dan mengenali stres yang sedang dialami. - Kasihi Diri Sendiri
Usahakan nggak terlalu keras pada diri sendiri. Ingat bahwa istirahat itu penting. Jadi, jangan takut memberi waktu buat diri sendiri, untuk pulih dan menerima bantuan. - Merawat Diri Sebaik-baiknya
Bukan cuma makan enak atau tidur lama. Cobalah aktivitas yang menenangkan, seperti jalan-jalan di alam, meditasi, atau yoga. Ngasih perhatian pada tubuh dan pikiran bisa membantu mengembalikan keseimbangan. - Bikin Struktur yang Jelas
Ciptakan rutinitas yang bisa membantu mengurangi rasa tertekan. Hidup yang punya struktur jelas akan membantu mengurangi kelelahan dalam membuat keputusan dan cemas berlebihan. - Tetapkan Tujuan-Tujuan Kecil
Target yang tujuan besar bisa jadi beban. Buat ngakalin itu, mulailah dengan hal-hal kecil, misalnya olahraga ringan setiap pagi, cuci piring, atau nyapu lantai kamar. Setiap kali hal kecil itu tuntas dilakukan, rayakan juga dengan kecil-kecilan. Tujuannya, biar kamu punya dorongan energi dan meningkatkan percaya diri. - Kurangi Pemicu Stres
Kenali hal-hal yang bikin stres, seperti terlalu banyak scrolling atau baca berita. Sementara, coba batasi atau hindari dan fokus pada hal-hal yang bikin tenang. - Jangkau Orang-orang Terdekat
Jangan ragu minta dukungan dari orang-orang yang tepercaya. Kadang, ngobrol atau curhat ke mereka bisa bikin lega. - Konsultasi dengan Profesional
Kalau kamu masih merasa kesulitan untuk keluar dari survival mode, pertimbangkan konsultasi ke profesional. Mereka bisa bantu memahami, mengelola stres, dan ngasih dukungan yang dibutuhkan.
Survival mode itu memang respons alami, tapi dia nggak bisa dibiarin terlalu lama. Soalnya, kalau kelamaan bisa bahaya.