in

Fenomena Brain Drain, Saat Orang Pintar Pilih Eksodus ke Luar Negeri

Ilustrasi: fenomena brain drain, eksodus orang pintar ke luar negeri
Ilustrasi: fenomena brain drain, eksodus orang pintar ke luar negeri

Majalah Physics Today pernah melaporkan penelusuran mereka soal perpindahan masif para fisikawan Jerman ke luar negeri. Itu terjadi pasca Adolf Hitler menjabat jadi kanselir, yang waktu itu memang punya kebijakan agak ekstrem.

Hitler bikin Gesetz zur Wiederherstellung des Berufsbeamtentums (Undang-Undang Pemulihan Layanan Sipil Profesional) yang mulai berlaku 7 April 1933. Jadi, semua PNS Jerman yang setidaknya punya satu kakek/nenek Yahudi, atau dianggap jadi lawan politik Nazi, langsung dipecat. Alhasil, ribuan guru, hakim, polisi, dan akademisi di kampus-kampus terbaik Jerman, mendadak jadi pengangguran.

Imbasnya, selama beberapa tahun berikutnya, ratusan intelektual Jerman mulai migrasi. Ada yang ke Inggris, Uni Soviet, Turki, Amerika Serikat, dan lain-lain. Mereka ini, termasuk Albert Enstein dan Fritz Haber. Padahal, nama kedua ini sebelumnya jadi pahlawan Jerman di Perang Dunia I, dia yang mengembangkan senjata kimia buat negaranya.

Berikutnya, pas Perang Dunia II selesai, negara-negara pemenang perang, kayak Uni Soviet, Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis, mulai memboyong para ilmuwan Jerman, baik yang Nazi atau bukan, secara sukarela atau dipaksa.

Menurut History and Technology: An International Journal, ada sekitar 6–7 ribu ilmuwan Jerman yang eksodus ke luar negeri pasca PD II. Tapi nggak semuanya pindah ke negara-negara yang tadi disebutkan. Ada juga yang ke Mesir, Argentina, Brasil, Australia, sampai India.

Fenomena Brain Drain

Hampir barengan dengan fenomena migrasi ilmuwan Jerman, ternyata Inggris juga mengalami hal yang sama. Para ilmuwan Inggris berbondong-bondong pindah ke AS dan Kanada selama tahun 1950-1960-an. Oleh British Royal Society, fenomena ini kemudian disebut dengan istilah ‘brain drain‘.

Brain drain adalah terkurasnya otak. Sederhananya, fenomena perpindahan orang-orang pintar secara masif ke luar negeri, sehingga di dalam negeri kekurangan orang pintar.

Menurut kamus Oxford, brain drain adalah emigrasi orang-orang yang sangat terlatih atau berkualitas dari negara tertentu. Sedangkan menurut United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada 1969: Brain drain adalah bentuk yang nggak biasa dari pertukaran ilmuwan antar negara yang dilatarbelakangi oleh tersedianya keuntungan yang sangat tinggi di negara-negara maju.

Para individu yang punya keahlian tinggi, seperti profesional, ilmuwan, atau tenaga ahli, lebih milih ninggalin negara asalnya, demi peluang lebih baik di luar negeri. Pasti ada banyak alasannya, mulai soal gaji yang lebih tinggi, fasilitas lebih memadai, sampai lingkungan yang lebih kondusif.

Situasi kayak gini sebenarnya mencemaskan, soalnya negara asal bisa kehilangan sumber daya manusia terbaiknya.

Paling gampang, negara akan susah maju karena minim orang buat ngerjain pembangunan, sehingga sangat tergantung ke negara lain. Itu bisa merembet ke pengeluaran yang makin besar, kesenjangan, nggak ada inovasi, kalah saingan di kancah internasional, bahkan kemunduran.

Tagar #KaburAjaDulu, Brain Drain di Indonesia

Ngerinya, tanpa disadari, negara kita yang satu ini, pelan-pelan juga lagi khawatir soal brain drain. Kalau pengen tahu, kamu bisa buka X, lalu ketik tagar #KaburAjaDulu.

Di situ, kamu akan nemu banyak akun yang bagi-bagi tips cara berkiprah di luar negeri. Mulai dari info kursus bahasa, beasiswa, lowongan kerja, sampai flexing testimoni dari orang-orang yang sudah melakukannya.

Sesederhana tagar, tapi udah cukup nunjukin kalau anak-anak muda resah terhadap kondisi dalam negeri. Khususnya soal peluang karier, pengakuan profesional, dan pastinya, kualitas hidup.

Aslinya sinyal-sinyal brain drain sudah mulai muncul sejak lama. Antara 1950-60-an, Presiden Soekarno ngirim ribuan mahasiswa ke luar negeri. Sayangnya setelah lengser, banyak yang nggak pulang ke Indonesia karena terancam tuduhan terafiliasi PKI atau Gerakan 30 September.

Profesor Dinn Wahyudin dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), pernah nulis juga soal ini. Dia bilang bahwa pada tahun 1980-an, waktu Menristek BJ Habibie ngirim ratusan remaja potensial belajar ke luar negeri. Banyak dari mereka yang nggak langsung pulang, tapi lebih milih kerja di berbagai perusahaan di AS.

Juga waktu Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) melepas ribuan tenaga muda buat ambil pendidikan di manca negara. Maksudnya, mereka dikirim biar bisa jadi ahli pesawat, telekomunikasi, kelautan, akhli satelit, dsb. Tapi sebelum mereka pulang, BPIS malah ganti kebijakan. Bikin banyak profesional itu nganggur, lalu cari kerja di berbagai perusahaan luar.

Tahun 2023 lalu, Dirjen Imigrasi nyatet sebanyak 3.912 WNI sudah pindah jadi warga negara Singapura, sepanjang 2019–2022. Itu berarti rata-rata seribu orang per tahun, dan sebagian besar dari kelompok usia produktif, 25–35 tahun.

Perlu diingat juga, bahwa itu baru satu negara tujuan, sementara luar negeri itu sangat luas. Kalau ngomongin soal tujuan, orang-orang kemungkinan besar lebih milih pindah ke negara maju. FYI, sejauh ini ada 36 negara maju di dunia versi PBB.

Banyak Alasan, Karena Memang Alasannya Banyak

Nadya Karima Melati, penulis buku Membicarakan Feminisme, pernah nyumbang opininya di Deutsche Welle (23/11/2019). Di situ, dia membeberkan pendapat berani yang ada hubungannya sama fenomena brain drain.

Dia bilang, kenapa orang Indonesia yang pintar dan ber-privillege lebih suka nyari pendidikan, bekerja, dan tinggal di luar negeri? Alasannya adalah, sebab negara Indonesia gagal menuhi kebutuhan mereka.

Eropa dan Amerika Serikat jadi tujuan favorit karena menawarkan kebebasan dan peluang berkembang. Soalnya Di Indonesia, alasan utama migrasi adalah untuk mencari kehidupan lebih baik, soalnya kebutuhan dasar banyak yang belum terpenuhi.

Nadya bertanya ke beberapa orang kenalannya, Ferdi, Rani, dan Fahri. Soal alasan mereka masing-masing, kenapa pengen pindah ke luar negeri.

Ferdi mengajukan suaka ke Inggris karena dia gay, merasa nggak aman tinggal di Indonesia. Adanya sentimen kebencian ke kaum LGBTIQ bikin orang-orang kayak Ferdi merasa rentan kena persekusi, apalagi tanpa perlindungan hukum dari negara.

Lalu Rani, lulusan Universitas Indonesia. Dia lagi nyari kesempatan studi master di luar negeri dengan harapan bisa pergi dari Jakarta selamanya. Rani sangat concern sama udara Jakarta yang buruk dan sering bikin sakit paru-paru. Sementara, seperti kita tahu, isu lingkungan bukanlah prioritas pemerintah.

Terakhir ada Fahri, lulusan ITB. Dia sengaja belajar pemrograman komputer biar bisa kerja di luar negeri dan memboyong keluarganya. Itu karena dia pengen anaknya bisa dapat pendidikan berkualitas. Dan lagi-lagi, seperti kita tahu, pendidikan berkualitas di Indonesia kayaknya cuma jadi mimpi, mengingat kebijakannya juga impulsif.

Wabil Khusus, Menghindari Masalah

Survei Jobstreet by SEEK kepada 19 ribu-an tenaga kerja Indonesia, nunjukin adanya tren pindah kerja ke luar negeri. Pertengahan 2024 lalu, mereka merilis laporan DecodingGlobal Talent 2024: Tren Mobilitas Pekerja, hasil kerjasama bareng Boston Consulting Group, The Network, dan The Stepstone Group.

Hasilnya, 67% responden di tahun 2023 bilang kalau mereka pengen kerja di luar negeri. Kebanyakan mereka masih muda, berpendidikan tinggi, dengan profesi terbesar di bidang yang berkaitan sama teknologi digital. Negara tujuan terbesar adalah Jepang (32%), lalu Australia (29%), baru Singapura (19%).

Ditanya soal alasan, utamanya karena prospek karir lebih cemerlang, gaji lebih layak, dan kualitas hidup lebih baik secara keseluruhan. Mereka menilai bahwa negara-negara tujuan bisa bikin personal lebih berkembang. Di sana kerjaannya lebih menarik dan menantang, teknologi lebih maju, pengalaman eksposur budaya baru, plus adanya peluang pendidikan, serta sistem sosial dan layanan kesehatan yang lebih baik.

Kamu pasti udah baca artikel Hipkultur soal lulusan S2 yang susah cari kerja di Indonesia. Sebabnya, karena nggak banyak lowongan yang tersedia buat lulusan S2, jadi persaingannya sangat ketat.

Kebanyakan perusahaan lokal buka lowongan buat lulusan SMK atau sarjana, itupun jumlahnya nggak seberapa. Makanya, salah satu alternatif cari kerja dengan portofolio akademis kayak gitu, ya dengan nyoba lowongan di luar negeri. Toh, wiraswasta juga nggak gampang.

Masalahnya nggak terbatas soal sulitnya cari kerja. Selain itu dan soal-soal spesifik yang disebutkan kenalannya Nadya Karima Melati tadi. Orang sini masih harus menghadapi kacaunya birokrasi, buruknya pelayanan publik, lingkungan sosial yang nggak kondusif, lebarnya kesenjangan ekonomi. Ditambah dengan kebijakan pemerintahan yang kayak nggak pro warga non-elit.

Saking banyaknya, seakan cukup jadi alasan untuk segera melepas kewarganegaraan. Pindah ke tempat yang menawarkan opsi lebih baik buat perkembangan personal.

Kalau orang-orang pintar Jerman eksodus ke luar negeri karena diusir pemerintah sendiri. Orang sini nggak perlu. Kalau mampu, Hipmin pun pasti mau, meskipun nggak pintar.