Kaus kaki. Benda ini sekarang bebas dipakai siapa saja. Dari bayi, anak sekolah, pekerja jalanan, pekerja kantoran, sampai para pejabat di istana.
Fungsinya buat melengkapi style, dan pelindung kaki biar nggak dingin atau lecet kena sepatu. Sederhana.
Tapi asal kamu tahu, kaus kaki punya cerita sejarah yang panjang sekali. Hipmin kumpulin sumbernya sampai 7 halaman A4.
Sebenarnya, nggak ada yang tahu persis siapa yang pertama kali menemukan kaus kaki. Berbagai budaya kuno di seluruh dunia punya versi cerita sendiri-sendiri.
Dulu, manusia sudah mulai mencari cara melindungi kaki mereka sejak Zaman Batu, sekitar 5000 SM.
Manusia gua waktu itu pakai semacam penutup dari bahan-bahan alami. Seperti kulit binatang, bulu, dan tumbuhan yang diikat di pergelangan kaki. Buat menjaga kaki tetap kering dan nggak gampang cedera. Para ilmuwan dan arkeolog menyimpulkan itu dari peninggalan lukisan-lukisan purba di gua.
Di tahun 1991, arkeolog menemukan mumi Neolitikum di Pegunungan Alpen, yang dinamai Ötzi. Selain pakai penutup badan, Ötzi pakai sepasang sepatu dari kulit beruang dan rusa.
Di dalam sepatunya, ada jaring kulit kayu yang dilapisi jerami lembut. Bisa jadi itu adalah cikal bakal terciptanya kaus kaki.
Sejarah dan Evolusi Kaus Kaki
Di Yunani, sekitar abad ke-6 SM, kaus kaki dikenal dengan nama “piloi”. Terbuat dari bulu hewan yang digulung. Fungsinya standar saja, untuk melindungi kaki dari dingin dan biar nyaman saat pakai sandal kulit.
Penyair Yunani, Hesoid, pernah menyebut soal piloi di puisinya yang terkenal, Works and Days. Dia menulis, “ikat sandal kulit lembu yang diburu secara brutal di kakimu, dan di balik sandal ini, kenakan piloi.”
Beberapa waktu berikutnya, bangsa Romawi mulai nyontek konsep piloi dari Yunani dan kepikiran bikin desain yang lebih oke. Nggak cuma dililit di kaki, mereka coba menjahit potongan-potongan kain jadi satu. Bikin kaus kaki jadi lebih nyaman dan bergaya.
Para bangsawan Romawi bahkan memakai versi kaus kaki sutra sebagai simbol status sosial.
Perkembangan kaus kaki sampai ke era Mesir Kuno. Kaus kaki tertua yang pernah ditemukan kira-kira dari abad ke-3 sampai ke-6 Masehi.
Terbuat dari wol yang dianyam pakai teknik nålebinding. Prosesnya mirip merajut tapi lebih makan waktu. Desainnya disesuaikan untuk dipakai dengan sandal. Ujungnya terbelah, mirip kaki babi.
Waktu itu, kaus kaki lebih bukan cuma buat penghangat kaki. Mereka punya fungsi melindungi dari kondisi lingkungan dan serangga. Kaus kaki Mesir ini bahkan dianggap barang mewah yang hanya dipakai oleh kaum elit.
Salah satu contoh kaus kaki merah cerah buatan Mesir ditemukan di tanah pemakaman dekat Sungai Nil, dan sekarang dipajang di Museum Victoria dan Albert di London.
Sekitaran abad itu juga, orang-orang suci di Eropa pakai penutup kaki yang disebut puttee. Mereka melilitkan kain tipis di kaki bawah. Orang yang nggak pernah kotor kakinya dianggap suci dan istimewa. Tradisi ini masih dipakai bahkan sampai Perang Dunia II.
Simbol Status Sosial
Masuk ke abad pertengahan, kaus kaki mulai jadi simbol fashion. Di Eropa, orang-orang kaya pakai kaus kaki panjang yang dikenal dengan istilah “hose.” Panjang kaus kaki menunjukkan status sosial seseorang. Makin tinggi dan indah kaus kaki, makin tinggi status pemakainya.
Kaus kaki dibuat dari kain cerah berbahan sutra, wol, atau katun yang nggak elastis, jadi harus diikat garter biar nggak melorot.
Abad ke-12, teknik merajut mulai dikenal di Eropa. Diawali dari perajut Muslim yang dipekerjakan oleh keluarga kerajaan Spanyol. Kaus kaki rajut dan tenun pun bermunculan dan juga jadi barang mewah di sana.
Karena harganya selangit dan akses yang terbatas, kelas pekerja Eropa pun mulai merajut kaus kaki mereka sendiri.
Di abad ke-15, bangsawan Prancis dan Italia jadi pionir stoking sutra rajutan tangan yang super kece. Kaos kaki dipakai para pria buat menonjolkan bentuk kaki mereka. Kalau sekarang disebutnya legging.
Nggak mau ketinggalan, bangsawan Inggris juga mengadopsi tren ini. Celana pendek dan kaus kaki rajutan tangan digabung jadi satu outfit.
Tahun 1589 jadi titik balik penting dalam sejarah kaus kaki. William Lee, seorang pendeta asal Inggris, menciptakan mesin rajut pertama yang dirancang untuk memproduksi kaus kaki.
Penemuan ini memungkinkan kaus kaki dibuat lebih cepat dan efisien, sehingga lebih terjangkau oleh masyarakat luas.
Sayangnya, patennya ditolak oleh Ratu Elizabeth I karena dia merasa mesin itu bisa mengganggu pekerjaan para perajut stoking tradisional.
Si Ratu nggak suka dengan stoking wol yang dihasilkan mesin Lee. Beliau juga takut banyak warga yang kehilangan lapangan kerja.
Tapi, Raja Henry IV dari Prancis melihat potensi mesin itu. Nggak mau idenya sia-sia, Lee pilih pindah ke Prancis dan mendirikan pabrik kaus kaki.
Produksi kaus kaki lalu meningkat pesat. Pabrik Lee bikin stoking wol untuk kelas pekerja dan kaus kaki sutra berwarna buat para bangsawan.
Kaus Kaki Makin Mendunia
Abad ke-18, kaus kaki mulai melekat di gaya pakaian pria formal. Terus berkembang sampai jadi bagian penting dalam perlengkapan militer.
Di Perang Dunia I, para tentara sangat bergantung pada kaus kaki untuk menjaga kaki mereka tetap hangat dan kering.
Kondisi lembap ekstrim bisa memicu penyakit seperti trench foot, yang bikin kaki rusak dan bahkan bisa diamputasi.
Kaus kaki berkualitas tinggi, terutama yang dirajut tangan, jadi barang berharga di medan perang.
1816 M, Marc Brunel, insinyur asal Prancis, menciptakan mesin rajut melingkar pertama, yang bisa bikin kaus kaki utuh sempurna, nggak pakai tambahan jahit manual.
Desainnya makin canggih waktu Matthew Leo Townsend, seorang pembuat kaus kaki Inggris, nyiptain jarum kait pada 1857.
Berkat evolusi teknologi tekstil ini, kaus kaki di abad ke-19 mulai dibuat dengan campuran bahan seperti katun, wol, dan bahkan serat sintetis.
Kaus kaki jadi makin murah dan mudah diproduksi massal. Terjangkau buat semua lapisan masyarakat. Merajut pakai tangan pun beralih jadi hobi daripada industri.
Kaus Kaki dan Budaya Pop
Di era 1920-an, kaus kaki mulai jadi simbol seksualitas. Para flapper yang trendi mulai menggulung stoking mereka di bawah lutut, sengaja memamerkan kulitnya dikit. Menambahkan riasan merah di tempurung lutut biar terlihat lebih cute.
Waktu Perang Dunia II memutus pasokan sutra dari Jepang, nilon ditemukan sebagai penggantinya. Kain itu mulai diterapkan di berbagai jenis pakaian. Termasuk buat bikin kaus kaki. Kombinasi nilon dan katun menghasilkan kaus kaki yang lebih nyaman.
Lanjut ke tahun 50-an, budaya remaja mulai booming, terutama dengan adanya acara “sock hop” di Amerika.
Anak-anak muda berkumpul tanpa sepatu, cuma pakai kaus kaki buat nari. Kaus kaki bobby putih dengan manset di pergelangan kaki jadi tren yang paling populer saat itu.
Tahun 60-an, kaus kaki dan celana ketat untuk wanita berubah jadi penuh warna dan motif yang aneh-aneh. Tren saat itu mencocokkan kaus kaki dengan gaun. Di musim dingin, orang-orang pakai kaus kaki tebal buat tetap hangat sekaligus gaya. Kalau pria pakai kaus kaki olahraga putih polos.
Tahun 80-an, kaus kaki longgar dan penghangat kaki jadi item wajib buat para penari dan penggemar fitness.
Kaus kaki berumbai dan renda juga kembali jadi tren, dipopulerkan oleh selebriti seperti Madonna dan Cyndi Lauper.
Di tahun 90-an, kaus kaki bermotif dan warna-warni masuk daftar belanja wajib anak sekolah. Kaus kaki selutut jadi tren yang paling hits.
Sampai sekarang ini, kaus kaki jadi item yang penting-nggak penting. Tapi yang terpenting, siapa saja bisa beli dengan gampang. Mau yang mahal atau murah, dipakai biasa atau pelengkap gaya, terserah.