Pada suatu dahulu kala, ada seorang pedagang kaya asal Persia diberi hadiah seekor burung beo hijau cantik oleh rekannya dari India. Tiap hari setelah capek kerja, pedagang itu akan duduk santai sambil menikmati burungnya berkicau merdu dari dalam sangkarnya yang mewah. Selain jadi hiburan, burung itu jadi temannya di kala penat.
Suatu hari, seperti biasa saat musim dagang tiba, pedagang itu bersiap melancong India. Tapi sebelum berangkat, ia bertanya ke semua asisten rumah tangga, mereka mau minta oleh-oleh apa. Masing-masing pelayan menyebutkan permintaan mereka, termasuk hewan peliharaannya.
“Tuanku,” kata beo sambil murung, “Aku tak menginginkan apa pun dari kampung halamanku. Tapi jika engkau bertemu dengan kawanan burung seperti diriku di India, sudi kiranya kau sampaikan salamku. Katakan pada mereka bahwa aku terkurung dalam sangkar di Persia dan merindukan kebebasan seperti mereka. Tanyakan pada mereka, adakah keadilan saat mereka bebas terbang, sementara aku perlahan mati dalam kurungan? Mohon tanyakan pada mereka, apa yang harus kulakukan dengan nasibku ini.”
Majikannya cuma senyum mendengar ujaran itu. Tapi ia mengangguk dan berjanji akan menyampaikan pesan tersebut.
Singkat cerita, si pedagang Persia sudah sampai di India. Ia sibuk dengan semua urusan dagang, tapi nggak lupa dengan titipan para pelayan, termasuk burung kesayangannya.
Suatu hari di sebuah hutan, dalam perjalanan dari satu kota ke kota lain, ia melihat sekumpulan beo hijau sedang berkicau sahut-sahutan dengan riangnya. Ia pun berhenti. Lalu menyampaikan pesan dari burungnya di Persia.
Tapi sebelum selesai berbicara, tiba-tiba salah satu beo mulai gemetar hebat, jatuh dari dahan dan mati seketika!
Pedagang terkejut bukan main. Ia panik, merasa bersalah, mengira sudah membawa kabar buruk yang mungkin bikin si burung meninggal karena sedih atau syok. Tapi apa daya, nasi sudah menjadi bubur, si burung sudah meninggal. Dia cuma bisa melanjutkan perjalanan dengan hati berat.
Setelah urusan bisnis selesai, pedagang itu pulang ke Persia. Ia membagikan oleh-oleh kepada setiap pelayannya, seperti yang mereka minta. Tapi khusus kepada burung beo, dia nggak mau cerita tentang pengalamannya di India.
Beo hijau kecil yang nggak tahan, terus penasaran dan bertanya, “Tuan, apa kabar dari kawanan burung di India? Apa pesan mereka untukku?”
Akhirnya dengan berat hati, pedagang itu bercerita. “Aku sampaikan ceritamu kepada mereka. Tapi belum selesai aku berbicara, salah satu dari mereka jatuh dan mati! Aku menyesal menyampaikan pesanmu. Rasanya, lidah ini seperti anak panah, sekali terlepas tak bisa kembali.”
Mendengar cerita itu, mendadak beo itu jauh dari tangkringan. Mirip dengan beo yang terlihat mati di India, dia jatuh di lantai sangkar dan nggak bergerak lagi. Tentu saja si pedagang langsung terguncang hebat. Ia menangis, menyalahkan diri sendiri karena merasa sudah dua kali bikin burung beo mati. Lalu dengan hati pilu, dibukanya pintu sangkar dan diangkatnya tubuh burung kecilnya. Dia bermaksud membawanya ke taman untuk dikubur.
Tapi saat akan mengubur, tiba-tiba burung itu lepas dan terbang ke dahan pohon terdekat! Ekspresinya kali ini riang, melihat wajah pedagang yang majikannya itu dari atas.
Sang pedagang melongo. “Wahai burung kecilku, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kau meniru burung di India? Apa rahasianya hingga kau kini bebas?”
Dengan santai, si burung menjawab, “Burung di India itu memang bukan keluargaku, tapi tindakannya adalah pesan bagiku. Ia mengajarkan bahwa selama aku masih memperdengarkan kicauanku, aku akan terus terkurung, dinikmati, tapi tak pernah bebas. Ketika ia pura-pura mati, ia memberi tahu bahwa kebebasan datang saat aku melepaskan keterikatan pada apa yang selama ini membuatku ‘berharga’. Dengan berpura-pura mati, aku bisa keluar dari sangkar.”
Kalimat itu, diikuti salam perpisahan. Mengakhiri hubungan majikan-peliharaan antara keduanya. Si burung kini melesat terbang bebas, si pedagang ditinggalkan sambil termenung.
Bebas = Lepas dari Ikatan Dunia
Sedikitnya ada tiga intisari yang bisa diambil cerita di atas. Pertama, adalah bahwa bakat, posisi, keterampilan, atau hal-hal duniawi lainnya, justru bisa jadi ‘sangkar’ yang mengurung kita. Jadi kalau mau benar-benar bebas, kita harus mau melepaskan ikatan dari hal-hal itu, keluar dari zona nyaman.
اِعْلَمُوْٓا اَنَّمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ وَّزِيْنَةٌ وَّتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى الْاَمْوَالِ وَالْاَوْلَادِۗ
“Ketahuilah, bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan dan saling bermegah-megahan di antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak…” (QS. Al-Hadid: 20)
Kedua, kita perlu sadar bahwa skenario Allah pasti yang terbaik, meski nggak sesuai kemauan kita. Seperti si pedagang Persia yang syok karena mengira sudah jadi penyebab matinya burung beo, ternyata nggak segampang itu faktanya. Penampakan kematian si burung beo, ternyata malah jadi jalan kebebasan burung beo lainnya.
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْۚ وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَࣖ ٢١٦
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)
Ketiga, dan aksi beo yang pura-pura mati biar bisa bebas, menunjukkan bahwa perlu keberanian untuk bisa meraih sesuatu yang lebih besar. Kita kadang perlu melewati fase yang rumit dan bertindak yang nggak biasa, bahkan mengorbankan sesuatu yang dianggap penting, sebelum sukses mendapatkan hasil yang besar.
Cerita asli: Merchant and Parrot