Syekh Junaid Al-Baghdadi, adalah tokoh sufi besar yang lahir di Nihawand, Persia (210 H/830 M), dan besar di Baghdad. Ia belajar fiqih Syafi’i dari Abu Tsaur al-Kalbi dan tasawuf dari pamannya, Sari as-Saqati. Junaid, pedagang sutra sukses yang hidup sederhana, wafat tahun 298 H (910 M) di Baghdad dan dikenal sebagai panutan tasawuf Sunni yang taat Al-Qur’an dan Sunnah.
Salah satu kisah terkenal tentang Syekh Junaid Al-Baghdadi adalah ketika ia memberikan tugas kepada murid-muridnya untuk menyembelih ayam.
Suatu hari, ia memerintahkan para santrinya pergi ke pasar, membeli seekor ayam, dan menyembelihnya dengan syarat: penyembelihan harus dilakukan di tempat yang tidak ada seorang pun yang dapat melihat mereka, dan tugas ini harus selesai sebelum matahari terbenam.
Para murid segera bergegas melaksanakan perintah sang guru, dan menjelang sore, satu per satu mereka kembali dengan ayam yang telah disembelih, kecuali seorang murid kesayangan Junaid.
Ketika matahari tenggelam, murid tersebut akhirnya datang dengan ayam yang masih hidup di tangannya. Para santri lain menertawakannya, menganggap ia gagal menjalankan tugas sederhana itu.
Syekh Junaid kemudian meminta setiap murid menceritakan bagaimana mereka menyelesaikan tugasnya. Santri pertama berkata, “Saya membawa ayam ke rumah, mengunci pintu, menutup jendela, lalu menyembelihnya.”
Santri kedua menuturkan, “Saya membawanya ke kamar mandi yang gelap di rumah, mengunci pintu, dan menyembelihnya di sana.” Santri ketiga menambahkan, “Saya pergi ke kamar gelap dan menutup mata saya sendiri agar tak ada yang melihat.”
Ada pula yang pergi ke hutan lebat atau gua gelap untuk memastikan tidak ada yang menyaksikan perbuatan mereka.
Lalu, giliran murid kesayangan yang tampak gagal itu berbicara. Dengan kepala tertunduk, ia berkata, “Maafkan saya, Guru. Saya tidak mampu melaksanakan tugas ini. Saya membawa ayam ke rumah, tetapi di sana Allah melihat saya. Saya pergi ke hutan lebat, tetapi Allah tetap bersama saya. Saya masuk ke gua yang gelap, namun Allah masih mengetahui apa yang saya lakukan. Saya tidak menemukan tempat di mana tidak ada yang melihat saya, karena Allah selalu hadir dan menyaksikan segalanya.”
Mendengar penjelasan itu, para murid lain terdiam, dan Syekh Junaid tersenyum sumringah melihat kercedasan muridnya.
Ternyata Allah Selalu Mengawasi
Kisah ini bukan sekadar tentang menyembelih ayam, melainkan sebuah pelajaran tentang kesadaran akan kehadiran Allah yang Maha Melihat dan Maha Mengetahui. Syekh Junaid ingin mengajarkan kepada murid-muridnya bahwa dalam setiap langkah kehidupan, seorang hamba tidak pernah lepas dari pengawasan Allah.
Murid-murid yang menyembelih ayam di tempat tersembunyi mungkin berhasil memenuhi syarat lahiriah tugas tersebut, tetapi murid kesayangan Syekh Junaid menunjukkan pemahaman yang lebih tinggi: bahwa tidak ada tempat di dunia ini yang tersembunyi dari Allah.
Hikmah utama dari kisah ini adalah pentingnya membangun muraqabah (kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi) dalam setiap perbuatan. Ketakwaan sejati tidak hanya tentang menjalankan perintah secara formal, tetapi juga menyadari kehadiran Allah di setiap detik kehidupan.
Murid yang “gagal” itu justru menjadi pemenang sejati karena ia menunjukkan kepekaan spiritual yang luar biasa, mengingatkan kita bahwa Allah tidak hanya melihat apa yang tampak, tetapi juga apa yang tersembunyi di dalam hati.
Lebih jauh, kisah ini mengajarkan tentang keikhlasan dan ketundukan total kepada Allah. Seperti yang ditekankan Syekh Junaid dalam ajaran tasawufnya, seorang mukmin sejati adalah yang mampu melepaskan ego dan duniawi untuk mencapai kedekatan dengan Allah.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita diajak untuk selalu introspeksi: apakah perbuatan kita semata untuk dilihat manusia, atau benar-benar untuk Allah?
Kisah ini menjadi pengingat bahwa Allah Maha Dekat, dan kesadaran ini harus menjadi landasan dalam menjalani kehidupan.