in

Ini Lho, Gaya Hidup yang Cocok Buat Manusia Masa Kini

Ilustrasi: kolase gagal soal ilustrasi gaya hidup yang bagus diterapkan buat manusia masa kini
Ilustrasi: kolase gagal soal ilustrasi gaya hidup yang bagus diterapkan buat manusia masa kini

Nggak kerasa, tahu-tahu tahunnya udah ganti lagi. Setahun belakangan rasanya berlalu cepat banget, ya? Nggak kerasa juga ada beberapa hal yang berubah dari tahun lalu, salah satunya tren gaya hidup. Misalnya, kalau tahun lalu ngetren yang namanya FOMO, kayaknya sekarang mulai meredup, tergantikan oleh sesuatu yang baru.

Menariknya, banyaknya perubahan ini nggak lepas dari apa yang terjadi di sekitar kita, termasuk kebijakan pemerintah. Coba bayangin, kalau satu kebijakan bisa dirumuskan dan diterapkan dalam hitungan hari, ada berapa kebijakan kelar dalam setahun. Itu dampaknya pasti kemana-mana, mulai dari ekonomi sampai ke pola hidup sehari-hari.

Tapi gini, sekarang Hipmin bukannya mau bahas detail soal kebijakan atau pemerintah. Fokusnya lebih ke gimana muda-mudi zaman sekarang mulai mengadopsi praktik baru. Di mana, hype-nya terjadi karena merespons perubahan besar, salah satunya kayak kebijakan pemerintah.

Nah, apa sih tren gaya hidup terbaru yang cocok dengan kondisi sekarang yang sudah berubah total? Yuk, kita bahas!

Slow Living

Band rock Indonesia bernama Kotak pernah bawain lagu berjudul “Pelan-Pelan Saja”. Lagu ini isinya tentang hubungan asmara, bukan slow living. Kalau lagu tentang slow living, lebih pas “Santai”-nya Nona Ria yang jadi soundtrack drama Gadis Kretek.

Slow living merupakan evolusi dari gerakan slow food di Italia yang digagas Carlo Petrini sekitar 1986. Itu, dulu jadi gerakan protes atas pembukaan gerai McD di Roma.

Slow food lalu berubah jadi slow movement yang lebih lebar cakupannya. Bukan cuma makanan, tapi merambah mode, pendidikan, tata kota, dan banyak lagi. Slow movement menganjurkan pola hidup seimbang dan holistik, kebalikan dari tuntutan masyarakat modern yang serba cepat.

Esensi slow living sebenarnya bukan soal santai atau pelan-pelan saja. Tapi, lebih ke menjalani hidup berkualitas dengan penuh kesadaran. Artinya, kita milih prioritas secara sadar, mempertimbangkan tingkat kepentingan, keseimbangan fisik dan mental, serta kenyamanan hidup secara umum.

Itu bisa sesederhana, stop melakukan sesuatu yang nggak bermakna, misalnya scrolling reels berjam-jam tanpa tujuan. Atau menghindari bergosip ria saat kumpul-kumpul bareng kengkawan.

Contoh slow living sehari-hari sebenarnya gampang saja. Kamu bangun lebih awal biar bisa menikmati udara fresh, ibadah, sedikit olahraga, lalu bersiap kerja tanpa perlu buru-buru. Di kantor, tugas diselesaikan satu per satu. Pas istirahat, makan dulu, baru skrol-skrol, mabar, atau ngobrol. Pas pulang kantor, bebas mau nongkrong dulu, langsung pulang untuk ngerjain hobi atau belajar hal baru, baca buku, atau istirahat. Standar, kan?

Frugal Living

Khusus di Indonesia, konsep ini baru banyak didengungkan selama 3-4 bulan belakangan. Jadi respons masyarakat atas kebijakan pemerintah Indo yang mau naikin pajak tahun 2025. Tapi meski pajaknya nggak jadi naik, konsep ini worth to try juga.

Frugal living itu gaya hidup yang menekankan kebijaksanaan dalam mengelola harta. Terapan lebih lengkapnya, dengan membuat pengeluaran yang efektif, memprioritaskan kebutuhan daripada keinginan, serta menghindari pemborosan.

Frugal living bukan berarti pelit atau kikir, tapi lebih ke penggunaan harta secara bijak tanpa mengorbankan kualitas hidup. Contohnya termasuk menabung, belanja cerdas dengan nyari diskon, milih barang berkualitas yang tahan lama, atau daur ulang barang lama daripada beli baru.

Menurut buku Your Money Your Life karya Vicki Robin dan Joe Dominguez, frugal living merupakan pendekatan keuangan yang tujuannya buat mencapai financial freedom, dengan mengontrol pengeluaran dan menghindari boros.

Masih dari buku yang sama, katanya konsep ini mulai berkembang di Amerika Serikat, sejak masa The Great Depression sekitar tahun 1930-an. Waktu itu kondisi ekonomi sulit, jadi mau nggak mau warga harus lebih menghargai uang dan harta yang dimiliki, dengan cara hidup hemat.

Mundur lebih jauh lagi. Sebelum The Great Depression, frugal living sebenarnya sudah diterapkan sama banyak orang. Zaman hunter-gatherer, masyarakat prasejarah dituntut mengelola sumber daya mereka secara bijak. Soalnya hewan buruan nggak selalu lewat tiap hari, kondisi cuaca pun nggak bisa diprediksi.

Konsep JOMO

Masih ingat dengan istilah FOMO yang sempat disinggung di awal tadi? Nah, tren yang mulai meredup itu, lama-lama diganti dengan tren yang baru dan kebalikannya, yaitu JOMO.

Kalau FOMO kepanjangannya Fear of Missing Out, maka JOMO adalah Joy of Missing Out. Keduanya sangat bertolak belakang. Kalau orang FOMO takut ketinggalan, orang JOMO nggak mau ambil pusing. Kalau FOMO gelisah karena ingin ikut merasakan keseruan, orang JOMO justru bahagia karena nggak terlibat.

Orang yang pertama kali mengenalkan istilah FOMO bernama Patrick McGinnis, penulis, pembicara, dan pengasuh siniar FOMO Sapiens. Tahun 2004, di artikelnya berjudul “Social Theory at HBS: McGinnis’ Two FOs” yang terbit di majalah Harvard Business School (HBS).

Karena FOMO menghasilkan efek negatif, maka orang bernama Anil Dash melawan dengan mencetuskan istilah JOMO. Pengusaha dari Amerika Serikat itu nulis artikel di blog pribadinya berjudul
JOMO!”, tertanggal 19 Juli 2012.

Prinsip dari konsep JOMO sebenarnya simpel, yaitu fokus pada diri sendiri. Lebih puas waktu menghabiskan momen berkualitas buat diri sendiri, atau mungkin bersama orang terdekat. Tanpa perlu ikut ajakan kurang penting dari orang lain, info yang lagi hangat, atau tren yang sedang berlaku.

Melansir Cleveland Clinic, salah satu cara efektif untuk mengadopsi prinsip JOMO adalah dengan detoks media sosial. Mengurangi konsumsi info di medsos bisa bantu kamu meningkatkan fokus, produktivitas, kesadaran fisik dan emosional, serta memperbaiki hubungan sosial.

Gaya Hidup Minimalis

Suatu hari, ada duo yang bukan band, tapi bintang Netflix yang juga penulis dan siniaris. Mereka bernama Joshua Fields Millburn dan Ryan Nicodemus. Berdua, moniker mereka, The Minimalist, lama-lama berkembang, populer, gagasan yang mereka sodorkan diamini banyak orang.

Gaya hidup minimalis ngetren sekitar 10 tahun belakangan. Itu bisa dibuktikan dengan larisnya produk-produk IKEA, desain arsitektur dan interior coffeeshop kekinian, atau tren kaos polos. Sayangnya, bukti-bukti itu nggak kuat-kuat amat.

Pada ratusan tahun sebelum Joshua dan Ryan merilis The Minimalist: Less Is Now di Netflix, filsuf Romawi Kuno sudah pernah mikir konsep stoikisme. Itu mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati nggak bergantung sama harta duniawi. Ajaran Buddha pun sama, soal pentingnya melepaskan ikatan duniawi, termasuk materi buat mencapai kedamaian batin.

Baik minimalis, stoikisme, maupun ajaran Buddha, sama-sama punya konsep dasar yang mirip. Hidup harusnya simpel, dengan mengurangi beban dan fokus pada hal-hal yang esensial saja. Minimalisme juga begitu, menekankan pola hidup sederhana, mengurangi kepemilikan barang, dan mempertahankan yang penting-penting saja.

Prinsip hidup minimalis biasanya dihubungkan dengan ungkapan “less is more”. Itu bukan berarti hidup tanpa apa-apa, tapi lebih ke menyingkirkan hal-hal yang nggak bernilai atau nggak bikin bahagia, baik itu barang, aktivitas, maupun hubungan. Jadi, kamu bisa lebih menghargai waktu, kesehatan, serta hubungan esensial. Kalau dihubungkan ke lingkungan, hidup minimalis juga bisa jadi kiat buat mengurangi limbah dan jejak karbon.

Prinsip YONO

Di sini, YONO lebih identik dengan nama pria Jawa, contohnya Mul-YONO. Tapi di khasanah gaya hidup, YONO singkatan dari You Only Need One, terjemahannya “kamu cuma perlu satu” atau satu saja cukup.

YONO merupakan respons kekinian dari YOLO yang muncul duluan. Baru saja ngetren di Korea Selatan sejak 2-4 tahun terakhir, merespons kondisi ekonomi yang nggak menentu akibat inflasi dan turunnya pendapatan. Belum genap 10 hari setelah tahun baru, beberapa media lokal Indonesia mengadang-gadang bahwa konsep YONO bakal ngetren di Indonesia tahun 2025.

Konsep YONO agak mirip sama frugal living dalam hal menghemat. Poin utamanya soal gaya belanja yang rasional, nggak beli banyak barang dan menghindari konsumerisme. Selain itu, YONO juga agak mirip sama gaya hidup minimalis. Dalam hal menghindari punya banyak barang, atau menyimpan satu saja untuk setiap jenis barang.

Pastinya, filosofi YONO jadi kebalikan dari YOLO. Sudah tahu, kan? YOLO itu singkatan dari You Only Live Once (hidup cuma sekali). Prinsipnya adalah menikmati semua sensasi pengalaman hidup dengan sepenuhnya, tanpa khawatir soal apa pun. Tapi belakangan YOLO cenderung negatif praktiknya, karena fokusnya cuma pada kesenangan sesaat. Dengan cara foya-foya, pesta pora, FOMO, konsumerisme, dan lain-lain sejenisnya.

YONO pun hadir menawarkan konsep yang lebih terarah dan bijaksana. Alih-alih belanja impulsif demi kesenangan sesaat, YONO nyuruh kita mikir dua kali sebelum belanja. Prinsipnya simpel juga, pilih barang atau pengalaman yang benar-benar bernilai dan punya dampak positif jangka panjang. Misalnya, daripada beli lima baju murah yang cepat rusak, lebih baik nabung dulu buat beli satu baju bermutu tinggi yang tahan lama.