Bayangkan kamu punya kebun yang penuh dengan bunga, ada yang putih dan ada yang merah, ada pohon rindang juga. Lalu, suatu hari kebunmu itu dibabat habis, diganti tanaman palem aja. Ya memang tetap kebun, hijau, ada tanamannya, tapi suasananya pasti beda. Dipandang juga nggak semenyenangkan sebelumnya. Jangan harap ada kupu-kupu yang lucu mampir, karena mereka mau cari makan di mana?
Kalau sudah kebayang, kamu sepakat nggak soal pernyataan: “kelapa sawit itu kan juga pohon, ada daunnya, menyerap karbon dioksida, jadi perkebunan kelapa sawit nggak bikin deforestasi”? Itu tuh, yang belakangan lagi rame dibahas warganet.
Hehehe, jadi gini..
Logika sederhana, memang betul kelapa sawit itu tergolong pohon. Menghasilkan oksigen dan punya daun hijau seperti tanaman lainnya. Tapi, pohon kelapa sawit itu sama sekali nggak pas jadi tanaman hutan. Coba kita bedah satu-satu, kenapa?
Hutan adalah ekosistem kompleks yang isinya nggak cuma pohon. Ada tumbuhan lain, hewan, serangga, sampai mikroorganisme. Semua komponen kerja sama untuk menjaga keseimbangan lingkungan.
Jadi kalau hutan lestari, bisa melindungi kita dari bencana alam, menjaga siklus air, pengaturan suhu mikro dan sebagainya. Sebaliknya, kalau hutan alami itu digantikan sama perkebunan kelapa sawit, ya tentu ekosistemnya goyah. Pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit di area hutan otomatis bikin deforestasi.
Dari tadi ngomongin Deforestasi, itu artinya apa sih?
Deforestasi adalah proses hilangnya hutan karena berbagai alasan, sering kali akibat alih fungsi lahan. Istilah ini banyak disederhanakan sebagai penggundulan hutan, tapi nggak gitu sih. Definisinya lebih luas lagi.
Secara internasional, deforestasi berarti hilangnya kawasan hutan yang kemudian berubah jadi lahan non-hutan. Ditulis juga di Peraturan Menteri Kehutanan No. P.30/Menhut II/2009 kalau deforestasi adalah perubahan permanen dari area berhutan menjadi tidak berhutan, yang diakibatkan oleh kegiatan manusia.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga pakai beberapa istilah buat mendeskripsikan deforestasi, seperti deforestasi terencana (misalnya, pembukaan lahan untuk perkebunan atau pertambangan), dan deforestasi tidak terencana (seperti pembalakan liar atau kebakaran hutan).
Ada juga istilah deforestasi bruto (perubahan hutan tanpa mempertimbangkan pemulihan atau penanaman kembali) dan deforestasi netto (perubahan hutan dengan memperhitungkan proses pemulihan atau penanaman kembali).
Kenapa takut hutan hilang, kan kelapa sawit juga pohon?
Kelapa sawit, yang tinggi pohonnya bisa mencapai 20-30 meter, punya akar kuat, dan daun panjang seperti bulu ayam, memang kelihatan kokoh. Tapi lebih cocok ditanam dengan sistem monokultur—penanaman satu jenis tanaman di lahan yang luas dan seragam—ketimbang jadi bagian dari ekosistem hutan.
Hutan tropis butuh pohon-pohon beraneka jenis dan ukuran, biar saling bersimbiosis untuk menjaga siklus alami, seperti yang ditulis di atas tadi. Meskipun kelapa sawit bisa tumbuh subur di tanah tropis, dia nggak kebagian jobdesk buat menjaga keseimbangan lingkungan. Lebih cocok buat memenuhi kebutuhan industri saja.
Tanaman monokultur juga rentan kena hama dan penyakit. Jadi butuh pestisida dan pupuk kimia yang banyak, yang justru makin mencemari lingkungan.
Masalahnya bukan di pohonnya, tapi cara menanamnya. Kalau pohon sawit ditanam dengan mengorbankan hutan, kita nggak cuma kehilangan tanaman lain, tapi juga burung, monyet, macan, tapir, tarantula, belalang, juga udara bersih yang hutan kasih gratis tiap hari.
Tahun 2022, KLHK bikin rilis dan mengonfirmasi sendiri kalau sawit itu tanaman perkebunan, bukan tanaman hutan. Pernyataan ini bukan asal ngomong, tapi didukung oleh berbagai peraturan, sejarah, kajian akademik, dan praktik di lapangan.
“Sawit jelas bukan tanaman hutan. Pemerintah juga belum ada rencana buat mengubah aturan itu,” kata Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari KLHK waktu itu, Agus Justianto.
KLHK juga ngingetin kalau sawit nggak boleh sembarangan masuk kawasan hutan. Soalnya, praktik menanam sawit secara ekspansif, ilegal, dan monokultur di kawasan hutan selama ini udah bikin banyak masalah. Mulai dari urusan hukum, ekologi, hidrologi, sampai isu sosial.
Karena hutan punya fungsi ekologis yang nggak bisa digantikan, KLHK nggak berencana buat memasukkan sawit sebagai tanaman hutan atau dipakai buat Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL). Ditulis di Peraturan Menteri LHK P.23/2021.
Buat menyelesaikan masalah sawit ilegal di hutan, pemerintah punya pendekatan “jangka benah.” Ini semacam metode transisi, di mana sawit yang udah terlanjur ada di kawasan hutan diubah jadi kebun campur pakai teknik agroforestri. Jadi, ada pohon-pohon lain yang ditanam bareng sawit.
Misalnya, di Hutan Lindung atau Hutan Konservasi, sawit cuma boleh satu daur (15 tahun) sebelum lahannya dikembalikan ke negara dan ditanami pohon lain. Di Hutan Produksi, jangka waktu ini bisa sampai 25 tahun. Setelah masa itu selesai, nggak ada lagi izin buat peremajaan sawit di sana.
Ide bikin sawit jadi tanaman hutan ini sebenarnya isu lama. Bahkan pernah muncul tahun 2011 lewat Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor 62/Menhut/II/2011 tentang pedoman pembangunan hutan tanaman berbagai jenis pada izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman industri. Pas diundangkan 6 September 2011, aturan itu langsung diprotes keras banyak pihak, termasuk aktivis lingkungan. Akhirnya nggak jadi, dicabut lagi.
Lagian kalau diterapkan, nggak cuma berdampak buruk buat ekosistem, investor global yang peduli lingkungan juga bisa-bisa ogah tanda tangan kontrak di Indonesia. Rugi juga kan negara jadinya.
Mengutip dari Mongabay, Nadia Hadad, dari Yayasan Madani Berkelanjutan, merinci beberapa alasan kenapa sawit nggak layak disebut sebagai tanaman hutan.
Pertama, karena monokultur. Hutan itu isinya ribuan jenis tumbuhan dan hewan. Kedua, sawit nggak bisa menggantikan hutan yang mampu menyimpan dan mengatur air di daerah aliran sungai (DAS). Malah, sawit butuh banyak air, bikin tanah kering.
Ketiga, usulan bikin sawit jadi tanaman hutan bisa jadi Cuma sebatas akal-akalan saja buat menyelesaikan masalah tumpang tindih izin lahan.
Zulkifli dari Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari, juga punya lebih banyak alasan menolak sawit sebagai tanaman hutan. Karena sawit nggak sesuai definisi hutan dalam UU Kehutanan daan Keanekaragaman Hayati. Karena pembukaan lahan sawit (yang biasanya perlu membakar lahan gambut) malah meningkatkan emisi karbon, bukan menyerapnya.
Terus, perkebunan sawit sering menggerus hak tanah masyarakat adat dan petani kecil. Bahkan mengabaikan fungsi hutan bagi masyarakat sekitar. Dan gongnya, sawit ini bergantung pada perdagangan global, yang bisa melemahkan ekonomi lokal kalau ada perang dagang.
Defortasi gara-gara sawit di Indonesia separah apa?
Industri kelapa sawit di Indonesia memang punya peran gede banget, baik di ekonomi atau komoditas ekspor. Menurut penelitian dari Trase, di tahun 2023, Indonesia berhasil memproduksi 47 juta ton minyak sawit mentah, dan tetap jadi eksportir terbesar dunia dengan kontribusi 54% terhadap ekspor global.
Tapi sedihnya, di tahun itu juga deforestasi akibat perkebunan kelapa sawit naik lagi, menurut analisis konsultan teknologi TheThreeMap.
30.000 hektare hutan yang ditebang untuk lahan perkebunan, naik dari 22.000 hektare di tahun sebelumnya. Pertanda kalau tren penurunan deforestasi yang terjadi beberapa tahun terakhir mulai berbalik arah.
Fyi, pernah di tahun 2012, deforestasi akibat kelapa sawit sempat mencapai angka gila: 227.000 hektare. Katanya setara hampir dua kali ukuran Los Angeles. Tahun 2018-2022, deforestasi untuk minyak sawit industri ada di kisaran 32.406 hektare per tahun. Tapi meski turun, ada 2,4 juta hektare hutan utuh yang masuk dalam konsesi kelapa sawit Indonesia.
Sumatra, pulau penghasil minyak kelapa sawit terbesar, sempat mengalami penurunan deforestasi. Tapi naik lagi 3,7 kali lipat di tahun 2022. Meski, Sumatra dan Papua masih terhitung menyumbang 22% deforestasi, di antara tahun 2018–2022.
Nah, deforestasi terbesar tercatat ada di hutan Pulau Kalimantan. Dalam kurun waktu yang sama, empat provinsi di Kalimantan menyumbang 72% dari seluruh deforestasi akibat lahan kelapa sawit di Indonesia.
Lahan gambut, yang kaya karbon, juga kena dampak besar. Sekitar sepertiga dari deforestasi 2023 terjadi di lahan gambut, yang kalau dibakar bisa mengeluarkan gas rumah kaca dalam jumlah besar, bikin masalah iklim tambah rumit.
Sekarang Indonesia kayaknya bingung. Permintaan sawit terus naik, tapi khawatir juga merusak hutan yang tersisa. Kita tunggu saja nanti keputusan pemerintah fix-nya gimana.