Baru Rabu (3/7/2024) kemarin, ada postingan lucu tentang joki Strava. Ini cukup ramai di X dan IG, mungkin karena saking lucunya. Selucu apa, sih?
Kalian semua mungkin sudah familiar dengan namanya joki. Istilah ini biasa dipakai untuk menyebut operator dalam bahasa yang lebih ringan. Tapi, karena joki juga banyak digunakan dalam konteks negatif, istilah ini kerap mengandung konotasi buruk.
Menurut KBBI, arti kata joki ada empat, yaitu:
- penunggang kuda pacuan
- pengatur lagu yang menangani mesin perekam lagu atau piringan hitam di studio radio atau diskotek (disc jockey)
- orang yang mengerjakan ujian untuk orang lain dengan menyamar sebagai peserta ujian yang sebenarnya dan menerima imbalan uang: risiko pada penyelenggaraan ujian masuk ke perguruan tinggi negeri ialah munculnya — pada ujian tersebut
- orang yang memberi layanan kepada pengemudi kendaraan yang bukan angkutan umum untuk memenuhi ketentuan jumlah penumpang (tiga orang) ketika melewati kawasan tertentu
Joki balap adalah seorang pengendali kendaraan yang bertugas untuk memenangkan lomba. Sementara joki lagu merupakan pengatur mood dan pemberi asupan lagu buat pendengar. Di sini, joki masih berkonotasi positif.
Tapi dua arti joki terakhir menurut KBBI sudah mengungkapkan konotasi negatif. Joki dalam konteks ini merupakan pelanggaran yang bisa mengakibatkan konsekuensi buruk. Layanan menambah penumpang kendaraan pribadi di jalur khusus dengan aturan tertentu, kalau ketahuan bisa kena tilang.
Lalu, bagaimana kalau layanan joki dipakai untuk memenuhi pencapaian tertentu dalam sebuah aplikasi? Apakah bisa dinyatakan positif atau negatif?
Fenomena lucu joki Strava jadi obrolan hangat warganet. Plus jadi bahan konten akun-akun media semacam hipKultur ini. Ya, memang agak lucu, karena ada anggapan kalau joki Strava ini mendapatkan bayaran agar penyewanya memperoleh validasi.
Fenomena Joki Strava
Strava adalah aplikasi pelacakan aktivitas olahraga, seperti lari, bersepeda, renang, dan lainnya. Aplikasi ini bisa merekam data dari kegiatan olahraga yang dilakukan pengguna. Mulai dari jarak tempuh, kecepatan, waktu, dan sebagainya.
Strava menggunakan GPS untuk merekam data lokasi. Teknologi analisis dan statistik yang dibenamkan pada aplikasi ini, menunjukkan ringkasan aktivitas olahraga user-nya. Tidak heran, aplikasi ini banyak digunakan oleh atlet, baik amatir maupun profesional untuk memantau kemajuan mereka.
Selain itu, ada beberapa fitur yang khas dari Strava.
Pertama adalah fitur komunitas dan sosial, yang memungkinkan pengguna membagikan aktivitas mereka, berkomentar, mendukung, bahkan berkompetisi. Kedua, fitur segmen, yaitu bagian-bagian tertentu pada suatu rute yang sering dijadikan ajang persaingan. Ketiga, Strava menawarkan berbagai macam tantangan dan pencapaian buat pengguna, baik secara individu maupun dalam grup.
Fitur-fitur itu, maksudnya agar Strava disukai dan lebih banyak penggunanya. Selain juga agar para user bisa terus termotivasi untuk sehat bugar dengan berolahraga.
Namun, bermula dari sebuah pos di X dari akun @hahahiheho (Rabu, 3/7/24). Bunyinya, “btw aku buka joki strava yahh!! tapi yang lari sodaraku yang jago larii, price menyesuaikan pace, km dan dl yahh!! bisa dm akyuuu..”
Entah ini rahasia umum yang tiba-tiba mengemuka, atau memang ide bisnis baru nan segar, tidak sedikit netizen yang meresponsnya miring. Mereka menganggap jasa joki ini hanya untuk orang-orang FOMO (fear of missing out) yang haus validasi sosial. Ya, sebenernya gpp.
Belum jelas juga, apakah memang jasa joki Strava banyak peminatnya. Atau saking heboh saja, sehingga tampak seperti sudah jadi fenomena yang lumrah.
Tapi kalau merujuk laporan dari Suara.com, katanya banyak orang yang berminat menggunakan jasa ini.
Masih melansir dari portal berita yang sama, mereka mengatakan kalau tarif joki tergantung jarak tempuh atau kecepatan yang diinginkan pengguna. Mereka menemukan akun lain yang menawarkan layanan serupa. Dari @l__ll__l__ll__l yang menulis “WTS (Dijual) joki Strava harga Murmer 2k per 1k.”
Siapa Mau Dibayar Rp2 ribu untuk Lari 1 Kilometer?
Pendapat pribadi, sepertinya sulit menemukan orang yang rela mengerjakan hal semacam itu, meski mungkin ada saja. Buktinya, layanan @santosuruh yang melayani jasa suruhan apa saja, laris manis dan menjaring banyak mitra.
Mungkin yang sedikit lolos dari perhatian adalah, kemampuan para pengulik Indonesia yang gemar memanipulasi aplikasi. Kamu bisa mencari soal fenomena “GPS Tuyul” yang secara umum kurang heboh di masyarakat +62, tetapi mashyur di kalangan driver ojek online.
Di situ, pelaku merancang sebuah program untuk memasang sistem GPS palsu yang terhubung dengan aplikasi ojek online. Hingga si driver seolah-olah sedang mengantar jemput penumpangnya sesuai lokasi yang sudah ditentukan. Padahal dia sedang ngopi santai sambil mengamati layar ponselnya, tanpa pindah tempat.
Kasus ini mungkin tidak viral, tetapi sempat menjadi perhatian penyedia layaan, seperti Grab dan GoJek yang menjadi bulan-bulanan. Angka kerugiannya juga lumayan, salah satu laporan dari Solopos menyebut nominal kerugian Grab sampai Rp600 juta, hanya untuk satu kasus.
Nah, berhubung Strava sepertinya tidak dirugikan oleh layanan joki yang tadi, sampai saat ini pengembang tidak mengeluarkan statement bernada mencak-mencak. Perusahaan berbasis di San Fransisco yang mempekerjakan staf di seluruh dunia itu masih adem ayem.
Kalangan yang mencak-mencak hanya sebagian netizen penjunjung tinggi etika yang mengetahui fenomena joki Strava. Lagi, mereka menganggap para pengguna jasa ini adalah orang-orang FOMO yang haus validasi.
Salah satunya dibuktikan lewa cuitan @fspradana di X. Dikutip dari Tirto, cuitannya berbunyi, “Joki strava. Baru denger. Akibat dari olahraga cuma FOMO dan mencari pengakuan sosial. Padahal olahraga yg terbaik adalah yg dilakukan”
Pendapat Pribadi
Sebenarnya, mau FOMO atau tidak, pakai joki Strava atau tidak, itu tidak mengurangi respek seseorang terhadapmu. Paling-paling kamu hanya akan mendapatkan bully-an verbal dengan nada bercanda oleh orang terdekatmu. Itupun cuma bisa terjadi kalau mereka tahu tabiatmu yang itu.
Memakai jasa joki Strava, setidaknya kamu bisa memberikan peluang kerja kepada seseorang.
Tahu, kan? Angka pengangguran di Indonesia tahun 2024 menurut BPS berjumlah 7,2 juta orang.
Misalnya, seorang user Strava FOMO yang haus validasi bisa mempekerjakan 1 orang pelari setiap 3 kali seminggu. Dengan jarak tempuh 10km setiap lari, maka joki bisa mendapatkan Rp60 ribu seminggu. Di luar aktivitas lari, si joki masih bisa mencari kerja sampingan untuk penghasilan tambahan.
Itu jika si user dan joki masih berstatus newbie, belum mengenal Strava secara menyeluruh dengan berbagai challenge-nya. Seperti menggambar rute unik, tantangan jarak tertentu, kompetisi dengan user lain, atau berbagai challenge berhadiah. Kalau jokinya sudah mahir, ia bisa menawarkan layanan lebih sulit untuk bayaran yang pastinya lebih tinggi.
Bayangkan kalau user dengan karakteristik serupa jumlahnya mencapai 1 juta individu. Bisa jadi kalian akan mengurangi angka pengangguran secara signifikan. 1 Juta user Strava, masing-masing 1 orang joki. Jika ditotal, angka itu lebih banyak daripada jumlah pengikut akun Instagram resmi aplikasi Strava yang cuma 1,2 juta.
Dan sebenarnya lagi, para user FOMO yang haus validasi bisa mempelajari sendiri cara memanipulasi aktivitas yang dicatat aplikasi Strava. Bahkan kalian bisa menemukannya di sebuah repository GitHub, mengunduhnya, lalu mencobanya sendiri. Silakan, gpp.