• About Us
  • Beranda
  • Indeks
  • Kebijakan Privasi
  • Kirim Konten
Friday, December 19, 2025
hipkultur.com
  • Login
  • Register
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
No Result
View All Result
hipkultur.com
No Result
View All Result
Home Isu

Vasektomi Dulu, Baru Dibantu?

Lionita Nidia by Lionita Nidia
12 May 2025
in Isu
0
Ilustrasi vaksetomi buat syarat bansos.

Ilustrasi vaksetomi buat syarat bansos.

0
SHARES
0
VIEWS
Bagikan di WABagikan di TelegramBagi ke FBBagi ke X

Program Keluarga Berencana (KB) bukan barang baru di Indonesia. Sudah sejak lama, pemerintah lewat Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menggencarkan program ini buat mengendalikan laju pertumbuhan penduduk.

Tujuannya bukan cuma soal angka kelahiran, tapi juga kualitas hidup. Dengan mengatur jarak kelahiran dan jumlah anak, harapannya keluarga bisa lebih fokus pada pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan anak-anaknya.

Terus, KB juga berperan penting buat menjaga kesehatan reproduksi. Program ini membantu mencegah kehamilan yang nggak direncanakan, menurunkan risiko kematian ibu dan bayi, juga mengurangi penularan penyakit seksual.

Metode kontrasepsi yang diterapkan di program KB macemnya banyak. Mulai dari kondom, pil, suntik, spiral, tubektomi, sampai vaksetomi. Semua opsi itu tentu saja jadi keputusan pribadi tiap pasangan.

Belakangan, polemik jadi muncul waktu Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menyarankan KB vasektomi sebagai syarat penerima bantuan sosial (bansos).

Wacana itu disampaikan Dedi di rapat bidang kesejahteraan rakyat “Gawé Rancagé Pak Kadés jeung Pak Lurah” di Pusdai Jabar, Senin (28/4/2025). Ia ingin program KB, khususnya KB pria, jadi pintu masuk penyaluran bantuan pemerintah, mulai dari beasiswa, jaminan kesehatan, sampai bantuan non-tunai.

Dedi Mulyadi waktu “Gawé Rancagé Pak Kadés jeung Pak Lurah” di Pusdai Jabar.(dok. Pemprov Jabar)
Dedi Mulyadi waktu “Gawé Rancagé Pak Kadés jeung Pak Lurah” di Pusdai Jabar.(dok. Pemprov Jabar)

“Jangan sampai negara menjamin keluarga itu-itu juga,” katanya.

Keluarga miskin dengan anak belasan hingga puluhan, menurutnya justru nggak efisien dalam mengelola penghasilan dan prioritas hidup.

“Uang segitu bisa untuk bangun rumah kan. Makanya berhentilah bikin anak kalau tidak sanggup, menafkahi dengan baik,” ujarnya.

Menurutnya juga, KB pria cenderung lebih aman dibanding metode kontrasepsi buat perempuan. Terus biar si Ayah lebih bertanggung jawab sama keluarganya.

“Saya harapkan yang laki-lakinya, saya harapkan suaminya atau ayahnya yang ber-KB sebagai bentuk tanda tanggung jawab terhadap diri dan keluarganya, jangan terus-terusan dibebankan pada perempuan,” sebut Dedi.

Ide ini langsung memunculkan banyak reaksi. Banyak pihak menyayangkan, mengkritik, bahkan mengecam.

Komnas HAM bilang kebijakan semacam itu berpotensi melanggar hak asasi, terutama hak atas tubuh dan hak untuk memilih.

“Vasektomi adalah pilihan pribadi. Tidak boleh jadi alat tukar dengan bansos,” kata Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro.

Vasektomi Itu Apa?

Secara medis, vasektomi (va-SEK-tuh-mee) adalah metode kontrasepsi permanen buat pria. Tujuannya buat mencegah sperma keluar bersama air mani saat ejakulasi. Caranya adalah dengan memotong dan menutup saluran sperma (vas deferens), yaitu saluran yang biasanya mengantar sperma dari testis menuju uretra.

Prosedurnya tergolong simpel dan minim risiko. Biasanya dilakukan sebagai operasi rawat jalan. Pasien bisa langsung pulang di hari yang sama. Cuma butuh anestesi lokal.

Prosedur ini tergolong aman dan efektif. Tapi ya itu, permanen. Memang ada prosedur pembalikan (reversal), tapi kecil kemungkinan berhasil, apalagi kalau udah bertahun-tahun.

Setelah vasektomi sperma tetap diproduksi oleh testis, tapi karena salurannya ditutup, sperma nggak bisa keluar dan lama-lama akan diserap kembali sama tubuh. Air mani tetap keluar saat ejakulasi, hanya saja tanpa sperma.

Dorongan seksual (libido), kemampuan ereksi, dan orgasme tetap normal. Jadi, fungsi seksual nggak terganggu.

Menurut Mayo Clinic, efektivitas vasektomi dalam mencegah kehamilan nyaris 100%. Bahkan tingkat kegagalannya jauh lebih rendah daripada kontrasepsi lain kayak kondom atau pil KB.

Dalam beberapa kasus langka (sekitar 0,3%–9%), sperma bisa masih muncul di air mani dalam 3–6 bulan pertama, tapi setelah itu angkanya turun di bawah 1%.

Selain efektif, vasektomi juga lebih murah dibanding kontrasepsi permanen untuk perempuan (seperti tubektomi), nggak memerlukan tindakan berulang sebelum berhubungan seks. Juga, umumnya aman dan jarang menimbulkan komplikasi.

Efek Samping dan Risiko Vaksetomi

Vasektomi sebenarnya prosedur yang cukup umum. Di Amerika Serikat saja, lebih dari 500.000 pria menjalani prosedur ini tiap tahun. Tapi, seperti tindakan medis lainnya, vasektomi tetap punya risiko efek samping, meskipun jarang kejadian.

Komplikasi ringan kayak peradangan, pendarahan, atau infeksi bisa muncul setelah prosedur. Biasanya nggak serius dan bisa ditangani dengan perawatan standar.

Efek lain yang mungkin terjadi adalah granuloma sperma: benjolan kecil dan keras yang terbentuk karena sperma bocor dari saluran sperma yang sudah dipotong. Walau bisa kerasa nyeri, benjolan ini nggak berbahaya dan biasanya akan diserap tubuh secara alami.

Beberapa orang juga mengalami kemacetan skrotum. Rasa nggak nyaman atau tekanan di sekitar testis atau saluran sperma. Ini biasanya terjadi dalam dua hingga 12 minggu setelah prosedur. Sama juga, kebanyakan kasus akan sembuh sendiri tanpa perlu tindakan tambahan.

Ada juga efek samping psikologis yang muncul pada sebagian kecil pria, seperti depresi, mudah marah, sampai gangguan somatik.

Dalam jurnal National Library of Medicine berjudul “Depresi Pasca Vasektomi: Laporan Kasus dan Tinjauan Literatur”, dijelaskan bahwa sekitar 1% pasien mengalami morbiditas (kondisi fisik, mental, dan sosial yang nggak sejahtera) yang cukup signifikan setelah menjalani vaksetomi.

Efek psikologis negatif ini seringnya muncul pada pria yang sebelumnya sudah punya masalah psikologis atau ketidakstabilan dalam rumah tangga. Intinya, bisa memperparah kondisi mental yang sudah rapuh, bukan dari nol.

Catatan sejarah vasektomi juga nggak lepas dari sisi gelap. Pernah dijadikan alat kontrol terhadap pelaku kekerasan seksual dan bahkan dijalankan secara paksa pada pria dengan gangguan mental dalam program eugenika era Nazi.

Habis Perang Dunia II, pemaksaan ini perlahan ditinggalkan, dan vasektomi lebih banyak digunakan secara sukarela. Tapi warisan stigma dan kontroversinya masih kerasa sampai hari ini.

Sebuah penelitian di Tiongkok menemukan kemungkinan kecemasan dan depresi meningkat pada pria yang habis vaksetomi. Penelitian di Inggris juga melaporkan dua kasus depresi berat pada 145 pria setelah vaksetomi. Tapi beberapa emang punya riwayat depresi dan nggak jujur waktu pemeriksaan awal.

Penyesalan, ketakutan kehilangan maskulinitas, sampai khawatir pasangan akan berselingkuh karena merasa “pria-nya sudah nggak subur” juga dilaporkan sebagai efek psikologis yang muncul pasca-vaksetomi.

Yang jadi benang merah dari semua temuan itu adalah pentingnya konseling sebelum operasi. Kurangnya edukasi, miskonsepsi yang beredar, dan komunikasi yang buruk antara tenaga medis dan pasien terbukti jadi pemicu utama munculnya stres pasca-vasektomi—terutama di negara berkembang, kayak Indonesia.

Kenapa Banyak yang Nolak?

Polemik soal vasektomi ini bukan cuma tentang medis. Isunya jauh lebih dalam, menyentuh ranah etika, agama, dan hak hidup.

Sepakat dengan Ketua Komnas HAM, Menteri Sosial Saifullah Yusuf atau Gus Ipul bilang wacana tersebut perlu dipertimbangkan matang-matang dulu.

Katanya, bansos buat perlindungan kelompok rentan nggak relevan kalau syaratnya dikaitkan sama tubuh seseorang. “Program KB itu sendiri kan sudah lama berjalan, dan itu pun hanya berupa imbauan. Tidak ada unsur paksaan,” kata Gus Ipul.

Ketua Bidang Keagamaan PBNU, Ahmad Fahrur Rozi menyebut, mayoritas ulama mengharamkan vaksetomi, kecuali dalam keadaan medis tertentu. Alasannya dianggap sebagai bentuk pemandulan, yang secara prinsip dilarang dalam ajaran Islam.

Ketua MUI Jawa Barat KH Rahmat Syafei sampai ber-statement vaksetomi haram. Fatwa itu disebutnya sejalan dengan hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia IV di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat pada 2012.

“Pada intinya vasektomi itu haram karena merupakan bentuk sterilisasi permanen. Islam tidak membolehkan pemandulan secara mutlak tanpa alasan yang dibenarkan syariat,” kata Rahmat, Kamis (1/5/2025), dikutip dari Tempo.

“Kalau untuk insentif tidak apa-apa, tapi vasektominya tetap harus memenuhi syarat-syarat yang dibolehkan secara agama,” tambah Rahmat.

Sebenarnya, yang bikin ramai bukan cuma ide vasektominya, tapi juga cara penyampaiannya.

Sambil menyentil gaya hidup warga miskin, Dedi menyebut operasi sesar sebagai pengeluaran tidak perlu. Komentar ini memicu banyak respons emosional karena seolah menyalahkan orang miskin atas kondisi mereka.

Tapi di sisi lain, Dedi berdalih bahwa ini semua demi distribusi bantuan yang lebih adil. “Jangan melulu perempuan yang dibebani urusan KB. Laki-laki itu yang paling bertanggug jawab terhadap keluarganya.”

Bagi dia, ini bentuk keberanian mengubah kultur. Bagi yang lain, ini bentuk kontrol yang berlebihan.

However, vasektomi itu keputusan pribadi—dan bukan keputusan ringan. Banyak orang milih jalur ini karena dianggap paling efektif buat mencegah kehamilan. Alasan tiap orang juga pasti beda-beda.

Vaksetomi juga bisa jadi pilihan demi melindungi kesehatan pasangan. Misalnya, kalau kehamilan bisa jadi risiko medis serius, atau kalau ada kekhawatiran anak nanti bisa mewarisi kondisi genetik tertentu.

Kalau suatu saat berubah pikiran, secara teknis vasektomi bisa dibalik lewat prosedur medis—tapi nggak selalu berhasil.

Makanya, sebagian orang pilih opsi menyimpan sperma sebelum prosedur dilakukan. Dengan cara ini, mereka tetap punya kemungkinan punya anak biologis nanti, misalnya dengan pasangan baru.

Tags: isukeluargakesehatanlagiramePemerintahpsikologi sosial
Previous Post

Album: “Resonance Route” – Various Artist dari Kommust, Pelarian yang Beresonansi

Next Post

Single: “Bersamanya” – Zeattle, Nostalgia Rock Romantis ala ’90-an

Next Post
Zeattle.

Single: “Bersamanya” - Zeattle, Nostalgia Rock Romantis ala ’90-an

Please login to join discussion

Daftar Putar

Recent Comments

  • Bachelor of Physics Engineering Telkom University on Simak Pengertian Psikologi Menurut Para Ahli Berikut Ini
  • Ani on Simak Pengertian Psikologi Menurut Para Ahli Berikut Ini
  • About Us
  • Beranda
  • Indeks
  • Kebijakan Privasi
  • Kirim Konten

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.