Wednesday, May 21, 2025
Kirim tulisan
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
No Result
View All Result
  • Login
  • Register
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
No Result
View All Result
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
Ilustrasi: beli-beli-beli

Gimana Mau Frugal Living Kalau Terus Kena Jebakan Marketing?

by Ovan Obing
16 April 2025
in Cuan
A A
0
SHARES
0
VIEWS
Bagikan di WABagikan di TelegramBagi ke FBBagi ke X

“Hemat pangkal kaya.” Pasti frase bijak itu sudah tertanam di pikiranmu dan hampir semua orang. Bahkan semakin relevan, ditimbang dari situasi ekonomi serba nggak pasti kayak sekarang. Diperkenalkan lagi sebagai mode frugal living, meskipun aslinya sudah lama dipraktikkan, tanpa label khusus.

Tapi bertolak belakang. Sementara itu kita lagi dijadikan objek dagang. Berbagai media yang kita akses sehari-hari isinya banyak orang jualan. Malah rasanya sudah lebih ramai dari pasar tradisional. Bujuk rayu pemasaran bahkan semakin canggih. Pakai teknik dan strategi yang kayak menghipnotis kita buat memutuskan check-out tanpa sadar, tahu-tahu harta sudah menipis di tengah bulan.

Paradoks. Orang bijak menganjurkan kita hidup hemat. Tapi di sisi lain, nasihat bijak itu juga jadi produk dagangan. Barangkali kamu pernah nemu e-Book atau seminar tentang “Cara Hidup Hemat untuk Mencapai Financial Freedom di Usia 40”. Itu dijual dengan harga yang nggak mencerminkan frugal living, padahal kita juga nggak butuh-butuh amat.

Terus gimana? Gimana caranya bisa frugal living kalau setiap saat kita terus dicecar trik marketing?

Serius? Pahami Dulu Trik-Trik Marketing yang Membius

Kalau sudah sampai sini kayaknya kamu memang benar serius ingin tahu. FYI saja, marketing sekarang sudah beda kelas. Bukan cuma soal pasang iklan dan ngasih diskon, tapi sudah pakai pendekatan psikologi, neuromarketing, sampai data-driven personalization. Itu buat memahami tentang cara kerja otak manusia waktu belanja.

Ambil contoh simpel, minimarket waralaba yang sering banget kamu masuki itu. Apa yang kamu lihat di situ, semua ditentukan bukan lewat keputusan asal yang tanpa dasar, tapi benar-benar hasil riset pemasaran. Mulai dari konsep signage yang kamu lihat di luar, segala eksterior dan interior, cahaya lampu, warna rak, produk apa diposisikan di rak yang mana, pilihan musik dan bau ruangannya, semua ditentukan penuh perhitungan.

Memangnya, kenapa permen karet dan jajanan manis imut lainnya ditaruh di dekat kasir? Soalnya buat mendorong pembelian impulsif, “Ah, sekalian aja deh, udah sampai sini juga.” Dan kalau kamu merasa pembelian itu murni keputusan mandiri dan terkendali, maaf sebenarnya itu ilusi kontrol. Trik pemasaran yang disebut point of purchase (POP) ini sudah sukses besar menyetir pola pikir belanjamu.

Waktu melihat angka 9 di harga barang, misalnya Rp249.999, orang yang belum tahu teorinya pasti bertanya, “Kenapa nggak bulat aja, sih, Rp250.000?” Atau kalau nemu produk seharga Rp12.000.000 dipotong jadi Rp11.899.999. Apa rasanya seperti didiskon Rp1 juta?

Padahal, trik itu aslinya juga ngasih ilusi, biar orang terdorong beli karena rasanya lebih murah, padahal nggak juga. Teknik charm pricing ini dipakai buat memengaruhi persepsi target, karena umumnya orang cenderung fokus pada angka sebelum 999.

Dan, kenapa angka 99 itu nggak pernah muncul di harga barang yang benar-benar murah, di bawah Rp10 ribu, misalnya? Ya, karena itu nggak berdampak secara psikologis dan malah bikin ribet pembeli.

Semua itu baru di minimarket dan belum semuanya, lho. Belum termasuk yang di pasar atau media yang kamu konsumsi sehari-hari.

Kamu Perlu Tahu Triknya

Waktu kamu lihat influencer favorit lagi bahas suatu produk, kamu pikir itu cuma sekadar review? Jangan lupa, dia bisa saja dapat endorsement. Jadi, meski bilang, “Ini bukan sponsor ya, aku beneran pakai ini setiap hari”—percayalah, kemungkinan besar itu ad placement. Bisa halus atau terang-terangan. Tapi tujuannya tetap jualan.

Triknya, menggiring persepsi lewat orang berpengaruh, istilahnya sekarang KOL (Key Opinion Leader) Marketing. Nanti kalau sudah banyak yang ikut beli, lalu mereka sukarela ngasih testimoni dengan rating bintang dan testimoni, itu istilahnya social proof (‘terbukti’ secara umum). Social proof marketing diterapkan pakai pendekatan psikologis bahwa orang cenderung lebih percaya dan ikut tindakan orang lain.

Selain dua itu, ada beberapa trik yang umum dijumpai. Kamu sebaiknya tahu, biar nggak kena tipu melulu.

  • Teknik scarcity (kelangkaan), FOMO (fear of missing out/takut ketinggalan), dan loss aversion (nggak mau rugi): pakai kalimat kayak “stok terbatas!”, atau countdown timer di e-commerce. Semua itu dimaksudkan buat memicu kecemasan kecil yang bikin kita buru-buru beli.
  • Teknik framing: udah kayak buzzer aja, ngasih informasi dengan narasi tertentu biar persepsi orang berganti atau menyoroti sisi positif daripada negatif. Misalnya pakai kalimat “baju second branded” alih-alih “baju bekas”, atau “cuma 10 ribu sehari” alih-alih “cuma 300 ribu sebulan.
  • Teknik reciprocity: ngasih sampel, trial, atau hadiah di pembelian pertama, biar konsumen merasa untung atau ‘punya utang’.
  • Teknik anchoring: ada harga awal yang jadi anchor (jangkar) buat menilai harga akhir, sehingga pembeli mengira dapat nilai lebih. Misal, “dari 100 ribu diskon jadi 75 ribu.”
  • Teknik decoy effect: ada tiga pilihan harga, misal yang small 30 ribu, reguler 45 ribu, dan large 50 ribu. Efeknya, produk large terlihat lebih menarik, padahal tujuannya memang agar memilihnya.

Itu baru tujuh dari begitu banyak trik yang lainnya. Teori marketing masa kini nggak sesimpel bikin produk bagus, tapi juga memadukan psikologi, ilmu sains, olah data, sampai teknik komputer.

Frugal Living

Nah, kalau pemasaran sudah semakin canggih, apa masih mungkin menerapkan frugal living? Pertanyaan ini mungkin sama dengan, apa bisa hidup berdemokrasi di negara yang pemerintahnya menerapkan politik komando, kalau bukan otoriter?

Jawabannya bisa iya bisa nggak, semua tergantung pilihan masing-masing. Buat yang serius ingin hemat, pasti ada caranya. Tapi kalau asal-asalan, ya jangan berharap banyak.

Sederhananya, frugal living adalah gaya hidup yang fokus mengeluarkan uang dengan penuh kesadaran, efisien, dan terarah, tanpa mengorbankan kualitas hidup. Maksudnya bukan hidup pas-pasan, apalagi pelit. Tapi, lebih ke milih mana yang benar-benar penting dan memang layak dibelanjakan.

Praktik hidup hemat ini sebenarnya sudah dilakukan manusia sejak zaman dulu, jauh sebelum istilah frugal living jadi konten viral. Generasi kakek-nenek kita sudah melakukannya secara naluriah, kemana-mana bawa bekal, kalau ada barang rusak ya diperbaiki, nabung sisa uang saku, dll.

Tren frugal living masa kini datang dari generasi yang hidup di era over-konsumsi, ketika banyak produk bisa dibeli cuma dengan sekali klik. Konon, berakar dari gerakan FIRE (Financial Independence Retire Early) di Amerika Serikat tahun 1992. Yang ide sebenarnya adalah mencapai kebebasan/kemandirian finansial saat pensiun. Vicki Robin dan Joe Dominguez bikin dokumentasi gerakan ini dalam buku Your Money Your Life.

Asyik memang, malah generasi yang hidup di era overconsumption justru sadar untuk menahan diri dan hidup minimalis. Ada nilai-nilai lama yang coba dimunculkan kembali, kayak kontrol diri dan hidup sederhana biar lebih bebas dan nggak stres. Bukan cuma strategi bertahan, mengingat berbagai krisis global yang terjadi beberapa tahun sekali. Sebut saja sejak akhir ’90-an di Asia, resesi 2002, krisis finansial global 2007–2009, Covid 2019-2021, sampai resesi ekonomi pada 2024 yang masih belum finis.

Ilustrasi: kolase gagal soal ilustrasi gaya hidup yang bagus diterapkan buat manusia masa kini

Terus Gimana Caranya?

Masih saja ada yang salah paham, mengira frugal living sebagai hidup pelit atau nolak bersenang-senang. Padahal, intinya bukan jadi kayak pertapa di gunung atau hutan wingit, tapi nahan diri dan milih dengan sadar. Bukannya jangan nongkrong atau jajan kopi mahal, tapi tahu waktu yang tepat dan alasannya. Bukan anti-healing, tapi paham betul mana yang bikin rileks dan mana yang cuma FOMO demi estetika Instastory.

Kalau mau tahu caranya, ini ada beberapa rekomendasi praktis.

  • Tentukan nilai utama yang mau diperjuangkan. Bisa dana pensiun dan nabung buat beli rumah, atau yang lebih besar kayak kebebasan finansial. Nilai ini akan jadi panduan sekaligus pengingat saat kamu mulai tergoda sama promosi barang-barang non-esensial.
  • Belanja berdasarkan kebutuhan, bukan keinginan, apalagi cuma diskon atau bonus. Lalu, mulailah mencatat keuangan biar tahu polanya. Dengan begitu, kamu tahu titik-titik boncos yang sebaiknya mulai ditekan.
  • Bikin budgeting sesimpel mungkin yang mudah kamu terapkan. Nggak harus pakai spreadsheet ribet, asalkan disiplin dan konsisten. Misal tiap habis gajian, wajib transfer 60%-nya ke rekening tanpa kartu ATM.
  • Buat mengurangi kebiasaan konsumtif, waktu lihat produk atau iklan promosi yang menggoda, jangan langsung check-out dan bayar. Simpan dulu di keranjang, bookmark, tunda keputusan sampai besok. Kalau masih merasa butuh, baru pertimbangkan lagi.
  • Hindari retail therapy atau belanja pelampiasan karena lagi suntuk, capek, atau bete. Ganti dengan yang gratis-gratis, misalnya tidur siang, jalan sore, olahraga, main game, nonton film, dll.
  • Kurangi paparan iklan, bersihkan wishlist, kurangi screen-time, stop follow akun-akun yang bikin pengen beli terus, bahkan kalau perlu uninstall sekalian aplikasi yang berisiko bikin boros.

Hidup akan jadi lebih ringan dengan sistem ini. Soalnya frugal living bukan hukuman, tapi bisa jadi cara untuk meraih kebebasan, perlawanan kecil terhadap sistem yang mendorong konsumsi tanpa henti. Nolak jadi target pasar yang pasrah, dan mengambil alih kontrol penuh atas diri, di tengah dunia yang bilang “kamu kurang ini-itu” setiap lima menit sekali.

SendShareShareTweet

Tulisan Lainnya

Cuan

Adakah Kerjaan Remote Selain Dunia IT & Digital Lainnya? Ini Jawabannya

17 May 2025
Cuan

Ngeri-Ngeri Sedap Indonesia Gara-gara Gebrakan Tarif Impor AS

30 April 2025
Cuan

Mitos Financial Freedom, Memangnya Harus Kaya Raya Dulu Baru Bisa?

27 February 2025
Cuan

Bisnis Kontroversial yang Ngetren di Indonesia, Cuannya Astaga Melimpah!

31 December 2024
Next Post

10 Menit Katy Perry ke Titik Zero Gravity, Darmawisata Biaya Tinggi

Trip Zero Gravity 11 Menit Katy Perry, Sayang Nggak Zero Emisi

PMS Bikin Mood Swing dan Sensi Berlebihan, Soalnya Gini..

Maxi Single: Berharap / Berlalu Jadi Penanda Identitas Baru The Hirzy

Please login to join discussion

© 2025 hipKultur.com

Opsi Lainnya

  • About
  • Contact

Ikuti

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
  • Login
  • Sign Up
Kirim Tulisan
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
No Result
View All Result

© 2025 hipKultur.com