Suatu hari di perjalanan dari rumah ke kantor yang berjarak sekitar 21 km, hipmin menghitung mobil merah yang lewat. Jumlahnya banyak juga: ada 71. Padahal kayaknya biasanya jarang lihat mobil warna merah, banyakan hitam atau putih.
Nah, selain biar nggak gabut selama di jalan, tujuan kegiatan itu buat membuktikan teori ilusi frekuensi—atau sebutan trend-nya The Red Car Theory.
Meski namanya kayak teori serius, Red Car Theory ini sebenarnya cuma metafora. Intinya, saat kamu mulai fokus ke satu hal (misalnya mobil merah), otakmu otomatis jadi lebih peka dan lebih sering “melihat” hal tersebut. Walaupun jumlahnya di dunia nyata sebenarnya nggak bertambah.
Jadi bukan berarti mobil merah mendadak banyak di jalanan, tapi otakmu aja yang mulai notice mereka di antara ribuan mobil yang lewat tiap hari.
Fenomena ini menunjukkan gimana fokus dan perhatian bisa ngubah persepsi seseorang terhadap lingkungan. Dan ini bukan cuma soal mobil merah aja. Bisa juga tentang topik-topik tertentu, kehidupan bermasyarakat, sampai perasaan pribadi.
Misal kamu baru tahu kosa kata baru, bisa aja kata itu muncul terus di buku, film, atau caption orang. Atau kamu lagi pengen beli IPhone 16 Pro Max, eh iklannya tiba-tiba sering muncul di IG, mall, FYP. Kamu habis patah hati, terus jadi lebih peka sama lagu galau, film sedih, dan curhatan orang lain yang juga lagi mengalami nasib serupa. Dunia kayak ikut-ikutan mellow.
Ini ada hubungannya sama bagian di otak yang namanya Reticular Activating System (RAS). RAS ini kayak saringan informasi. Bayangin, tiap detik, otak kita dibanjiri jutaan data. Ada suara, warna, gerak, bau, dan sebagainya. Tapi kita kan nggak bisa nyerap semuanya. Si RAS bertugas milih mana yang perlu masuk ke kesadaran, mana yang bisa di-skip.
Kalau kamu kebetulan lagi mikir soal mobil merah, RAS langsung kasih lampu sorot ke semua mobil merah yang lewat. Karena otakmu lagi memutuskan hal itu penting, fokusmu bikin dunia seolah-olah ikut berubah.
Baader-Meinhof Phenomenon
The Red Car Theory ini sebenarnya adalah versi simple dari fenomena psikologis Baader-Meinhof Phenomenon. Nama ini mungkin kedengaran asing, tapi kamu pasti pernah ngalamin.
Definisinya sama, ilusi frekuensi—saat kamu baru tahu sesuatu, hal itu rasanya muncul terus di mana-mana. Otak jadi kayak punya radar khusus.
Fyi, nama Baader-Meinhof (dibaca: bah-der-myn-hof) Phenomenon sebenernya nggak ada hubungannya sama psikologi atau peneliti ilmiah mana pun. Nama ini justru diambil dari kelompok teroris Jerman Barat yang aktif di tahun 1970-an.
Ceritanya, tahun 1994, ada seseorang di forum diskusi online Pioneer Press di St. Paul, Minnesota, AS, yang ngerasa aneh karena dalam waktu 24 jam dia mendengar dua kali tentang geng Baader-Meinhof.
Padahal sebelumnya, dia nggak pernah dengar sama sekali. Karena nggak nemu istilah yang pas buat ngejelasin pengalaman itu, dia asal nyebut aja: “Wah, ini kayak fenomena Baader-Meinhof deh.” Nama itu akhirnya nyantol sampai sekarang.
Secara ilmiah, fenomena ini mulai dibahas lebih serius sama Arnold Zwicky, seorang profesor linguistik dari Stanford University.
Di tahun 2005, dia menulis soal ilusi keterkinian: kepercayaan bahwa hal-hal yang baru kamu notice itu sebenarnya juga baru muncul (padahal ya udah ada dari dulu, cuma kamu aja yang baru nyadar).
Zwicky juga ngebahas soal ilusi frekuensi, yang basically berarti begitu kamu sadar atau memperhatikan sesuatu, otakmu mulai merasa hal itu sering banget muncul. Ini disebabkan dua hal:
- Selective Attention (perhatian selektif)
Otakmu memilih fokus pada hal tertentu karena kamu udah lebih dulu aware. Jadi pas kamu nemu hal baru yang kamu rasa menarik, otak langsung aktif dan siaga mencari hal itu di mana-mana.
Kamu nggak nyadar, tapi tiba-tiba kamu mulai nemuin hal itu di buku, di artikel, di obrolan orang, atau bahkan random iklan YouTube.
- Confirmation Bias (bias konfirmasi)
Kita cenderung mencari bukti yang memperkuat apa yang sudah kita yakini. Makanya, saat kamu berpikir “ternyata banyak banget ya mobil merah,” otakmu otomatis meng-highlight mobil merah yang kamu lihat aja. Aslinya frekuensinya nggak berubah.
Efek Samping Ilusi Frekuensi
Meski kelihatannya nggak berbahaya, ilusi frekuensi ini juga punya efek samping. Di penelitian ilmiah misalnya, efek ini bikin periset akan terus nemu data yang sesuai sama hipotesis aja.(healthline)
Makanya, kadang ada teknik double-blind study, yang bikin peneliti atau partisipan sama-sama sama-sama nggak tahu intervensi apa yang diterima peserta sampai penelitian selesai. Tujuannya biar nggak ada yang bias secara sadar atau nggak sadar.
Ilusi frekuensi juga bisa jadi masalah di dunia hukum. Misalnya dalam kasus kesaksian mata. Kita pikir ingatan itu kayak rekaman video, padahal seringnya hanya highlight story yang diedit sama otak. Gara-gara perhatian selektif dan confirmation bias, saksi mata bisa mengingat hal yang nggak pernah benar-benar mereka lihat. Dan itu bisa bikin penyelidikan jadi melenceng.
Terus di dunia medis, khawatirnya, dokter terlalu jago baca pola bisa bikin mereka terlalu cepat yakin. Misalnya, baru baca soal penyakit langka, eh besoknya semua pasien kayaknya punya gejala itu juga.
Tahun 2019, seorang mahasiswa kedokteran Kush Purohit nulis surat ke editor situs Academic Radiology. Katanya, setelah baru tahu soal kelainan langka bernama “bovine aortic arch” (lengkung aorta sapi), dalam 24 jam dia ngeliat tiga kasus yang mirip. Tapi apakah itu berarti penyakit itu tiba-tiba muncul? Belum tentu. Bisa jadi karena otaknya lagi mode scanner aktif.
Purohit bilang ini bisa jadi alat belajar yang efektif buat mahasiswa kedokteran. Karena bisa bikin mereka lebih peka dalam mengidentifikasi pola yang sering kelewatan.
Fenomena ini juga dimanfaatkan habis-habisan di dunia marketing. Misalnya, kamu baru aja liat iklan skincare anti-aging yang katanya bisa bikin glowing dalam 7 hari. Terus kok muncul lagi di Instagram, muncul juga di TikTok, eh pas buka YouTube nongol lagi.
Tanpa sadar kamu mikir hal itu emang lagi nge-trend. Padahal bisa aja kamu cuma terjebak di bias frekuensi karena algoritma ngikutin minat kamu.
Jadinya, banyak orang ngira suatu produk itu the next big thing, padahal belum tentu juga. Kalau kamu cukup penasaran buat riset lebih dalam, bisa jadi kamu ngeliat sisi lain yang nggak muncul di iklan.
Jadi..
Penting buat sadar kalau kadang yang berubah bukan dunia di sekitar kita, tapi cara kita memperhatikan dunia itu.
The Red Car Theory dan Baader-Meinhof Phenomenon mengingatkan kalau otak kita bisa sangat selektif dan kadang manipulatif.
Kalau kamu mulai merasa overwhelmed karena sesuatu muncul terus-terusan, coba ambil jarak sebentar. Dengan begitu, kamu bisa lebih objektif dalam menyerap informasi.
Dunia mungkin tetap sama, tapi fokus kita bisa bikin semuanya terasa beda. Itu nggak selalu buruk, asal kamu sadar bahwa apa yang kamu lihat belum tentu mewakili seluruh realita.
Jadi, lain kali kamu merasa semuanya mendadak serba merah, mungkin saatnya berhenti sejenak dan ngaca, siapa tahu yang berubah bukan dunia, tapi kamu.