Self-diagnosis adalah tindakan menentukan kondisi medis, kesehatan, atau penyakit diri sendiri tanpa bantuan profesional. Di zaman banjir informasi kayak sekarang, jawaban atas keluhan-keluhan kesehatan memang mudah ditemukan di internet. Cukup googling gejala yang dialami, dan dalam hitungan detik, muncul banyak kemungkinan penyakit, lengkap dengan “cara mengatasinya”.
Padahal, untuk jadi dokter itu usahanya nggak main-main. Butuh dedikasi tenaga, waktu, finansial, bahkan kesiapan mental menghadapi bully-an. Sebelum jadi dokter orang harus belajar bertahun-tahun, ujian tulis dan lisan, sampai praktik yang sama sekali nggak gampang. Tapi segala perjuangan itu kadang disepelekan begitu saja, diringkas dengan cara browsing yang cuma bermodal kuota. Diagnosis yang harusnya rumit dan penuh pertimbangan, seakan bisa ditentukan kayak lagi baca-baca ramalan zodiak.
Sebenarnya, diagnosis itu sama sekali nggak gampang, dilakukan lewat berbagai tahapan proses. Menurut buku Diagnosis Komunitas untuk Intervensi Kesehatan karya Harun Al-Rasyid, dkk., penyakit terjadi dimulai dari inisiasi (trigger), yang penyebabnya bisa macam-macam faktor. Lalu inisiasi itu memicu perubahan patologis (pathologic change) yang nggak disadari penderita.
Tahapan di atas disebut “Tahap Subklinis”, terjadi saat penderita mulai terpapar virus/patogen yang memunculkan gejala yang bikin penderita merasa nggak nyaman. Nah, setelah lewat proses itu, barulah dokter bisa mendiagnosis penyakit pasien, diiringi dengan pemeriksaan lainnya.
Aslinya Begini Tahapan Umum Diagnosis Medis
Waktu kamu datang ke dokter buat menyampaikan keluhan kesehatan, dokter nggak cuma mendengarkan dan langsung ngasih resep. Ada serangkaian langkah sistematis yang harus dilakukan agar penyebab pasti dari gejala bisa ditemukan. Proses inilah yang disebut diagnosis, dijalankan lewat berbagai tahap yang kayak gini:
1. Tanya-tanya
Tahap pertama adalah mengenali apa yang sedang dialami pasien. Di sini dokter akan bertanya macam-macam, bukan sekadar basa-basi, tapi buat menggali aneka informasi. Di antaranya pertanyaan semacam, “Apa keluhan utamanya?”, “Gangguannya gimana?”, “Ada nyeri? Demam? Batuk berkepanjangan?”
Selain itu, pasien juga akan ditanya soal riwayat kesehatannya, apakah dia atau anggota keluarganya pernah mengalami gejala serupa. Lalu juga tentang gaya hidupnya kayak gimana, biar ketahuan kalau gejala penyakit muncul disebabkan oleh pola makan yang nggak sehat, konsumsi zat yang buruk buat kesehatan, atau murni karena terpapar virus. Semua informasi ini jadi pondasi awal buat menebak arah diagnosis mau ke mana.
2. Cek Fisik
Setelah mendengar cerita, dokter mulai cari info lebih valid dengan mengecek kondisi fisik, buat mengamati tanda-tanda penyakit secara kasat mata. Tahap ini bisa dilakukan dengan cara inspeksi atau penampilan fisik pasien, palpasi atau meraba bagian tubuh buat mencari benjolan atau nyeri tekan.
Kadang dokter juga melakukan perkusi, dengan mengetuk bagian tubuh untuk mendengar bunyi dari organ dalam. Serta auskultasi, mendengarkan suara organ dalam seperti paru-paru atau jantung dengan alat bantu, misalnya stetoskop.
3. Tes Laboratorium
Kalau dari wawancara dan pemeriksaan fisik masih belum cukup, lanjut ke tahap laboratorium. Di sini biasanya pasien diminta ambil sampel darah, dahak, atau bahkan urin.
Tes darah bisa sangat membantu buat mengecek ada infeksi atau nggak, kondisi sel darah, fungsi organ, dan semacamnya. Sementara tes urin bisa nunjukin apakah ada infeksi saluran kemih atau gangguan ginjal. Kadang juga dilakukan tes kultur, seperti tes dahak buat cari tahu mikroorganisme apa yang bikin penyakit.
4. Pemeriksaan Penunjang
Belum ketemu juga? Berarti dokter butuh pemeriksaan penunjang yang lebih mendalam lagi. Ini termasuk pemeriksaan yang lebih canggih seperti X-ray (rontgen), CT scan, MRI, atau USG. Tujuannya, buat melihat organ dalam secara visual dan memastikan gimana kondisinya.
Ada juga yang namanya endoskopi—alat semacam kamera kecil yang dimasukin ke tubuh buat ngintip kondisi organ dari dalam secara langsung. Biar lebih jelas, nggak nebak-nebak lagi.
5. Diagnosis Banding
Nah, setelah semua data terkumpul, dokter biasanya bikin yang namanya diagnosis banding. Ini semacam proses penyaringan beberapa kemungkinan penyakit yang gejalanya mirip-mirip.
Tujuannya sama saja. Supaya nggak salah tebak. Jadi, misal ada tiga penyakit yang punya gejala mirip-mirip, hasil pemeriksaan bisa bantu dokter melihat gejala mana yang paling cocok dengan penyakit apa. Lalu, satu per satu dieliminasi sampai tinggal satu kemungkinan yang paling kuat.
6. Fix Diagnosis
Kalau sudah yakin, baru diagnosis final ditetapkan. Pada tahap ini, dokter bakal menyatukan semua potongan informasi dari awal sampai akhir. Kadang juga dilakukan diskusi atau konsultasi dengan dokter spesialis, apalagi kalau kasusnya cukup rumit.
Dari sinilah nanti ditentukan pengobatan atau terapi apa yang paling pas buat pasien. Jadi nggak asal tebak, semua berdasarkan data dan pertimbangan medis yang matang.
Berarti fix, diagnosis itu nggak instan, apalagi asal tebak. Prosesnya panjang dan butuh ketelitian, biar hasil akhirnya akurat dan pasien bisa dapat penanganan yang tepat.
Diagnosis Kesehatan Mental
Dalam kasus kesehatan mental, proses diagnosis pada umumnya sama kayak sebelumnya. Tapi di sini, proses wawancaranya lebih sistematis. Biasanya semuanya dimulai dari sesi ngobrol. Nggak langsung disodorin kertas tes atau dikasih label gangguan ini-itu.
Psikolog atau psikiater akan mengajak kamu terlibat dalam obrolan santai yang tetap terarah. Di situ, mereka mulai mengamati cara kamu bercerita, ekspresi wajah, sampai bahasa tubuhmu. Obrolan ini jadi dasar buat memahami apa yang sebenarnya kamu rasakan dan dialami, juga seberapa besar dampaknya ke kehidupan sehari-hari.
Setelah sesi awal tadi, psikolog atau psikiater bisa lanjut ke asesmen yang lebih terstruktur. Misalnya dengan wawancara klinis atau kuesioner yang udah terstandar. Tes terstandar ini jadi semacam panduan buat mereka, biar bisa mengenali pola pikiran, emosi, dan perilakumu.
Beberapa gangguan mental punya gejala yang mirip, jadi penting banget untuk menyaring kemungkinan yang ada sebelum menentukan fix diagnosis. Kalau perlu, psikiater juga bisa ngecek apakah ada faktor biologis yang memengaruhi, misalnya dengan tes medis atau rujukan ke dokter lain. Karena ya, kesehatan mental itu sering kali nyambung juga ke kondisi fisik.
Kalau psikolog fokus pada asesmen dan terapi lewat konseling atau psikoterapi. Sementara psikiater karena berlatar belakang dokter, bisa ngasih obat kalau memang dibutuhkan. Tapi keduanya sama-sama punya peran penting dalam proses diagnosis ini. Mereka nggak asal kasih label atau mengambil kesimpulan cepat. Prosesnya bisa makan waktu, karena tujuan utamanya adalah benar-benar mengerti apa yang kamu alami.
Bahaya Self Diagnosis
Masalahnya, banyak orang yang salah kaprah soal ini. Dikirnya dengan baca artikel atau nonton video kesehatan di YouTube, jadi merasa valid buat mendiagnosis diri sendiri. Padahal, self diagnosis itu bisa menyesatkan.
Bayangkan, kamu ngerasa cemas dan susah tidur seminggu. Lalu setelah nemu konten “7 Ciri Kamu Punya Gangguan Kecemasan Umum.” Kamu langsung yakin, “Wah, kayaknya aku kena anxiety nih.”
Padahal bisa saja itu cuma efek stres kerjaan, pola tidur berantakan, atau masalah yang nggak ada hubungannya sama gangguan mental serius.
Self diagnosis seringnya bikin terlalu cepat menyimpulkan. Atau parahnya lagi, jadi menutup diri dari bantuan profesional. Orang jadi merasa cukup dengan “self-help” ala internet, lalu enggan datang ke psikolog atau psikiater. Akibatnya, kondisi yang sebenarnya bisa diatasi sejak dini, malah makin parah karena penanganannya nggak tepat.
Belum lagi efek sugesti. Kalau ada orang yang yakin banget dirinya mengidap suatu gangguan. Lama-lama tubuh dan pikirannya bisa benar-benar menyesuaikan dengan keyakinan itu. Ini namanya efek nocebo—kebalikan dari placebo. Kamu merasa makin sakit, padahal aslinya belum tentu. Bahayanya, ini bisa bikin lingkaran setan yang semakin menjauhkan kamu dari kondisi mental yang sehat.
Bahaya paling gampang dari self diagnosis adalah bikin kita salah pilih obat. Misalnya seseorang mengira dirinya depresi, terus beli obat penenang tanpa resep. Bukannya sembuh, malah bisa memperburuk kondisi, bahkan mengganggu organ tubuh yang lain. Karena faktanya, obat-obatan psikologis itu bukan kayak vitamin yang bisa diminum semua orang. Ada dosis, ada efek samping, plus kondisi medis yang harus dipantau ketat.
Jadi, daripada sibuk menebak-nebak dan bikin kesimpulan sendiri, konsultasi sama tenaga profesional pasti akan jauh lebih aman. Nggak perlu nunggu sampai kondisi kamu benar-benar drop. Kadang, ngobrol sekali aja udah bisa jadi titik terang. Daripada tersesat di dunia maya yang penuh asumsi, lebih baik cari informasi dari orang yang memang tahu cara menuntunmu keluar dari masalah.