Ada satu topik dalam pelajaran IPA, yaitu tentang ciri makhluk hidup. Tergantung buku teks mana yang dianut, ciri makhluk hidup ada yang menyebut berjumlah 5, 6, 7, atau 9.
Tapi, yang jelas semua buku teks mencantumkan berkembang biak sebagai salah satu ciri utama makhluk hidup.
Sesuatu adalah makhluk hidup jika memenuhi beberapa ciri, salah satunya berkembang biak atau reproduksi. Jadi, kalau ada manusia yang tidak mau melakukannya, apa berarti dia bukan makhluk hidup?
Pasti bukan begitu cara menyimpulkannya.
Pendapat tentang Ciri Makhluk Hidup
Beberapa ahli biologi di masa lalu mengungkapkan ide mereka tentang ciri-ciri makhluk hidup yang kini banyak dianut.
Contohnya Robert Whittaker (1957) yang punya usul lima ciri utama makhluk hidup, yaitu:
- Mengubah energi dan bahan kimia dari lingkungan untuk menjalankan fungsi vital tubuh.
- Tubuhnya tersusun dari banyak sel yang memiliki struktur dan fungsi kompleks
- Mampu menghasilkan keturunan baru.
- Mengalami peningkatan ukuran dan kompleksitas seiring waktu.
- Punya kemampuan menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan.
Atau Ernst Haeckel (1866), yang bikin delapan ciri, antara lain:
- Membutuhkan zat makanan untuk energi dan pertumbuhan.
- Mampu menghasilkan keturunan baru.
- Mengalami peningkatan ukuran dan kompleksitas seiring waktu.
- Memiliki bentuk dan struktur tubuh yang kompleks dan terdefinisi.
- Mampu merespon rangsangan dari lingkungan.
- Bisa bergerak aktif atau pasif.
- Adaptasi dengan perubahan lingkungan.
- Mampu mengubah energi dan bahan kimia dari lingkungan untuk menjalankan fungsi vital tubuh.
Lagi, C.J. Gompertz (1922) juga punya ide tentang ciri makhluk hidup. Jumlahnya tujuh, yaitu:
- Tersusun atas unit-unit yang lebih kecil dan saling berinteraksi.
- Kemampuan untuk menghasilkan keturunan baru.
- Mengalami peningkatan ukuran dan kompleksitas seiring waktu.
- Kemampuan untuk menjaga keseimbangan internal tubuh.
- Kemampuan untuk merespon perubahan di lingkungan.
- Mengalami perubahan dan perkembangan sepanjang hidupnya.
- Memiliki batas waktu hidup.
Tanpa Reproduksi, Manusia Masih Makhluk Hidup
Semua rumusan tadi mencantumkan kemampuan reproduksi sebagai salah satu ciri makhluk hidup. Tapi, khusus untuk kasus manusia, kesimpulannya tidak bisa cuma berdasarkan pendapat ahli biologi tersebut. Mengapa?
Ya, karena manusia memonopoli ide dan gagasan. Mentang-mentang hanya manusia yang punya akal, jadi manusia bebas untuk menentukan rumusan. Berdasarkan ide-ide abstrak lain yang dirumuskan manusia sendiri. Manusia bebas menentukan aturan-aturan khusus untuk disiplin-disiplin ilmu yang mereka kelola sendiri klasifikasinya.
Pertanyaannya kompleks, jadi harus dilihat dari berbagai aspek, baik biologis, filosofis, maupun etis.
Menurut biologi juga, tidak semua individu dari suatu spesies mampu bereproduksi. Sebabnya, seperti tidak subur, kondisi medis tertentu, atau pilihan pribadi.
Manusia hidup yang tidak berkembang biak masih menunjukkan ciri-ciri yang lain, seperti bernapas, tumbuh, beradaptasi, dan merespon rangsangan. Jadi, mengeluarkan mereka dari kategori makhluk hidup dibilang sebagai kesimpulan sempit dan dangkal. Karena tanpa mempertimbangkan rumitnya kehidupan.
Sementara dari sudut pandang etika dan filosofi, menilai seseorang dari kemampuan reproduksinya bisa menimbulkan konsekuensi berbahaya. Contohnya diskriminasi, dan hilangnya penghormatan buat individu dengan ketidakmampuan reproduksi atau keinginan berketurunan.
Immanuel Kant dalam Groundwork of the Metaphysics of Morals (1785), menyatakan semua manusia punya nilai intrinsik dan harus diperlakukan secara terhormat, terlepas dari karakteristik fisik atau kemampuan mereka.
Ada, Manusia yang Tidak Mau Berkembang Biak
Memang ada manusia yang tidak berkembang biak. Bukan karena terpaksa, tetapi memang karena pilihan sendiri. Ini menjadi fenomena yang dikenal dengan sebutan childfree.
Childfree itu dikaitkan dengan individu atau pasangan yang secara sadar memutuskan untuk tidak punya anak, baik secara biologis maupun adopsi.
Selain childfree, ada pula istilah childless. Tapi ini label yang berbeda. Kalau childless adalah kondisi tidak memiliki anak karena faktor di luar kontrol, misalnya tidak subur atau kondisi medis tertentu. Sedangkan childfree dilakukan dengan cara menghindari keberhasilan proses reproduksi.
Istilah childfree pertama kali dikenal sekitar tahun 1900-an. Lalu mulai ramai digunakan sejak tahun ’70-an.
Menurut Christian Agrillo dan Cristian Nelini, dalam Journal of Cultural Geography Vol. 25 tahun 2008, istilah childfree marak pada era ’70-an. Dipakai oleh anggota National Organization for Non- Parents (NON), organisasi nonprofit yang bertujuan mempertahankan hak-hak pasangan childless-by-choice.
NON sekarang diketahui sudah ganti nama menjadi National Alliance for Optional Parenthood (NAOP).
Kalau melihat perubahan nama organisasi itu, bisa jadi anggotanya lebih tidak ingin jadi orang tua, makanya tidak mau punya anak. Tentu saja, karena berbagai studi, artikel, dan banyak laporan lain, menganggap punya anak akan memberikan konsekuensi besar. Khususnya dalam hal tanggung jawab mendidik dan membesarkan, ekonomi dan finansial, sosial, hingga psikologi.
Fenomena Childfree di Indonesia
Fenomena tidak mau berkembang biak mulai berkembang di Barat, lalu menular ke Indonesia. Di negara yang mayoritas penduduknya masih memegang nilai-nilai adat dan agama, kecenderungan childfree muncul beberapa tahun belakangan.
Badan Pusat Statistik (BPS) dalam “Menelusuri Jejak Childfree di Indonesia” terbitan 2023, mencantumkan data-data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Survei itu fokus pada perempuan berusia 15-49 tahun yang pernah kawin, tetapi belum pernah melahirkan anak dalam keadaan hidup, serta tidak menggunakan alat KB.
Jumlah perempuan yang memilih untuk tidak punya anak mengalami kenaikan selama 4 tahun, sejak 2019 hingga 2022. Persentasenya sebanyak 8% pada tahun 2022, atau kurang lebih 71.000 orang.