Gimana tidurmu semalam? Enak? Kamu iri, nggak, sama ortu atau kakek-nenekmu yang bisa tidur jam 9 malam, bahkan jam 8? Itu rutin tiap hari dan tanpa drama.
Sementara kamu, jam 8 masih di luar rumah. Baru pulang jam 10-11 karena alasan ngantuk, tapi sampai kamar malah scrolling atau nonton lampu sambil melamun. Ngomong sendiri, “tidur ah, sebentar lagi” sambil nggak sadar kalau sudah jam 2 pagi?
Pola tidurmu dan kakek-nenek yang beda banget itu, ternyata memang ada sejarahnya. Kebiasaan kalian nggak sama, karena kalian berasal dari zaman yang beda. Makanya, kebiasaan tidur yang beda itu jadi salah satu penanda kalau peradaban juga terus berubah. Dari zaman orang baru nemu api, sampai ke layar biru di hadapanmu sekarang.
Tidur di Zaman Prasejarah
Bayangkan hidup tanpa alarm. Nggak ada jam kerja 9-to-5 atau godaan episode baru serial Netflix di tengah malam. Itu kenyataan yang dialami nenek moyang kita ribuan tahun lalu. Makanya, pola tidur para leluhur ini juga jauh beda dengan kita sekarang.
Beberapa antropolog, di antarnya Gandhi Yetish dari UCLA, Hillard Kaplan, Michael Gurven, Brian Kayu, Herman Pontzer, Paul R. Manger, Charles Wilson, Ronald McGregor, Jerome M. Siegel, pernah meneliti soal perubahan pola tidur ini. Hasilnya pernah dipublikasikan di jurnal Current Biology volume 25-edisi 21, November 2015.
Mereka mantengin pola tidur masyarakat non-industri, misalnya suku Hadza di Tanzania, Tsimane di Bolivia, dan San di Namibia. Suku-suku ini gaya hidupnya masih sama kayak manusia purba, cari makan dengan lewat berburu, dan ada juga yang masih nomaden. Jadi, pas.
Lewat pengamatan itu, akhirnya para peneliti menyimpulkan, ternyata durasi tidur orang dulu dan sekarang hampir sama, ada beda pun tipis. Durasinya rata-rata cuma 5,7 hingga 7,1 jam setiap malam. Plus, rata-rata tidur 3 jam setelah matahari terbenar, ya kira-kira jam 9 malam.
Padahal, sebelumnya para ilmuwan ngira kalau nenek moyang yang dulu hidupnya masih alami itu tidurnya bakal lebih panjang, sampai 12 jam. Tapi ternyata nggak. Kesimpulan sejauh ini dari hasil penelitian Gandhi dkk, nunjukin kalau manusia dari zaman dulu sudah efisien tidurnya. Kita butuhnya yang berkualitas, bukan yang kuantitasnya berlebihan.
Dan fyi, yang tidurnya lebih panjang dari manusia itu primata lain, kayak orangutan yang bisa 11-15 jam sehari. Jadi, kalau nemu orang normal yang suka tidur kebanyakan, sudah tahu kan dia lebih mirip siapa?
Warga suku-suku tersebut tidurnya masih “analog”, cuma ngikut ritme sirkadian. Lihat matahari terbenam, langsung otomatis paham sudah waktunya tidur, nggak butuh Relaxing Music & Rain Sounds atau podcast buat nemenin tidur. Kalau badan ngerasa cukup, langsung bangun dengan sendirinya. Eh, ternyata beberapa saat kemudian mataharinya terbit.

Sejarahnya Dulu Ada Tidur Dua Shift
Zaman Pertengahan atau Medieval itu zamannya negeri-negeri di Eropa mulai berkembang, sekitar abad ke-5 sampai 15. Waktu itu, ada fenomena biphasic sleep atau tidur dua fase. Warga sana suka tidur dua kali sehari. Tapi durasinya masih relatif sama kayak pemburu pengumpul, dibagi dua.
Sejarawan Roger Ekirch di bukunya At Day’s Close nyebut kebiasaan pendahulunya di Eropa itu dengan istilah “first sleep” dan “second sleep”. Orang-orang tidur beberapa jam setelah matahari terbenam, sekitar jam 9-10 malam. Terus kira-kira tiga-empat jam kemudian, bangun tengah malam buat melakukan macam-macam. Ada yang berdoa, ngobrol sama penghuni rumah lainnya, kerjain yang ringan-ringan, atau berhubungan intim. Kalau sudah, setelah itu mereka tidur lagi sampai pagi.
Di dokumen sejarah, fase bangun sehabis tidur shift pertama ini disebut “the watching time”. Momen ini pas buat refleksi dan kontemplasi yang dianggap sakral. Nggak heran kalau di ajaran agama juga ada anjuran bangun malam untuk salat tahajud buat yang Islam atau brahma muhurta buat yang Hindu. Di tradisi Kristiani dan Buddha pun ada anjuran yang sama. Soalnya, memang tengah malam sampai dini hari itu dianggap waktu yang baik buat berdoa atau merenungkan firman Tuhan.
Nah, kebiasaan tidur dua fase itu berlangsung sampai era revolusi industri. Namanya revolusi, pasti banyak yang berubah. Tapi karena ini revolusi industri, pusatnya di Eropa, akhirnya pola tidur orang sana juga ikut berubah drastis.
Semua Berubah Sejak Revolusi Industri
Kalau sebelumnya malam hari gelap gulita, zaman Revolusi Industri punya penemuan besar, yaitu lampu, dari minyak, gas, sampai akhirnya listrik. Penerangan buatan ini bikin malam nggak gelap lagi, ‘nipu’ pola sirkadian manusia. Tubuh manusia akhirnya bisa adaptasi dengan kondisi malam yang terang, akhirnya jadi nggak tidur atau lebih panjang meleknya. Lama-lama, pola tidur dua shift tadi pun punah, khususnya di kalangan muda.
Itu, juga didukung sama jadwal kerja di industri yang lebih fokus produktivitas tinggi. Pabrik-pabrik mulai menerapkan jadwal kerja ketat, masuk jam 7 pagi pulang jam 7 malam, nggak peduli pola tidurmu normal, biphasic, atau suka begadang. Cukup familiar? Iya, kan kita pernah di fase yang mirip itu, 12 tahun lamanya.
Habis seharian kerja keras, pastinya badan sudah kelelahan. Beberapa jam setelah sampai rumah, orang-orang nebus waktu istirahatnya itu dengan tidur pulas sampai pagi. Nggak ada lagi bangun tengah malam.
Dari Revolusi Industri itu juga, muncul fenomena baru yang masih ada sampai sekarang, yaitu sleep debt alias utang tidur. Tubuh yang sebenarnya butuh tidur cukup dan berkualitas, malah dipaksa ngikutin ritme kerja mesin dan pabrik. Mau nggak mau, begadang jadi hal lumrah, waktu tidur berkurang, dan badan terus-menerus merasa kurang istirahat.
Parahnya lagi, makin ke sini, makin kompleks. Urbanisasi, teknologi, sampai budaya kerja modern bikin tidur berkualitas makin kurang diperhatikan.

Pola Tidur Hari Ini
Kalau pernah denger istilah the city never sleeps, yang awalnya cuma menggambarkan vibe kota besar yang sibuk dan penuh kelap-kelip lampu. Tapi faktanya, memang beneran banyak yang susah tidur gara-gara hidup di kota.
Polusi suara, cahaya terang 24 jam, stres ngejar deadline, sampai kecemasan soal biaya hidup, semua itu jadi paket lengkap penyebab urban insomnia. Tidur nyenyak jadi barang mahal, kalah sama distraksi yang nggak ada habisnya.
Masuk era digital, situasinya lagi-lagi makin absurd. Tidur yang harusnya kebutuhan dasar kayak makan-minum, sekarang malah jadi barang mewah. Maksudnya, sesuatu yang langka dan kadang cuma bisa dinikmati pas liburan.
Biang keroknya cukup banyak, misalnya blue light blues. Lampu biru dari HP, laptop, sampai TV, bikin otak ngira kalau hari masih siang, padahal udah tengah malam. Hormon melatonin yang harusnya bikin ngantuk, jadi ketunda produksinya. Sementara itu, National Sleep Foundation bilang kalau 48% orang dewasa di AS masih main gadget di kasur. Di Indonesia? Yah, cek kebiasaan masing-masing, lah.
“Scroll bentar lagi deh”, eh tau-tau udah jam 2 pagi.
Streaming, “satu episode lagi”, nggak sadar berubah jadi maraton nonton sampai TOA masjid bunyi.
Kalau menurut survei dari Kurious–Katadata Insight Center tahun 2023, 46,2% orang Indonesia cuma tidur 4-6 jam sehari. Padahal, rekomendasi normalnya minimal 7-8 jam. Berarti selain pakai paylater dan pinjol buat kebutuhan sehari-hari, kita literally sedang menjalani hidup dengan “utang tidur”, minus terus tapi tetap dipaksa jalan.
Ngeri? Nggak Kok, Santai Aja
Tambah umur, kebutuhan tidur kita juga ikut berubah. Bayi yang baru lahir hidupnya beneran cuma makan tidur, pas masuk usia balita, jam tidurnya jadi 11–13 jam. Remaja harusnya 8–9 jam sehari, meski realitanya sekarang nggak gitu. Begitu juga antara umur 18–40 tahun yang idealnya 7-8 jam, tapi kayaknya kita semua sepakat kalau itu jarang kejadian.
Tubuh manusia itu kayak software lama, tapi lingkungan dan gaya hidup kita itu kayak OS baru. Meskipun sudah evolusi, tapi secara biologis badan kita masih kayak nenek moyang pemburu-pengumpul. Bedanya, sekarang kita hidup di dunia serba cepat yang digital dan penuh distraksi.
Makanya, nggak heran kalau banyak muncul gangguan tidur. Salah satunya Digital Insomnia, susah tidur karena nggak mau lepas layar HP sampai detik terakhir sebelum merem. Atau Social Jet Lag, di mana weekdays-nya tertib, sedangkan weekend-nya begadang soalnya bisa balas dendam sampai siang. Ada juga Revenge Bedtime Procrastination, begadang gara-gara menikmati me-time tengah malam. Kalau kamu relate, mungkin karena pernah, minimal salah satunya.
Tapi, kalau semua gangguan itu dituduhkan ke teknologi, nggak bisa juga. Soalnya, pilihan tetap di tangan manusianya. Layar HP, aplikasi, atau gawai canggih bisa ngerusak pola tidur kalau dipakai tanpa kontrol. Tapi kalau dipakai dengan bijak, teknologi juga bisa bantu.
Ada aplikasi Sleep tracker yang ngatur alarm di waktu paling ideal, atau filter blue light di HP yang ngurangin paparan cahaya biru. Bahkan Relaxing Music & Rain Sounds yang tadi pun bisa bantu kita lebih rileks kalau mau, biar tidurnya cepet.
Jadi, kita sendiri yang nentuin teknologi mau dipakai buat begadang atau bantu tidur lebih sehat.
Belajar Tidur dari Nenek Moyang
Kalau mau belajar dari nenek moyang, ada beberapa hal simpel tapi krusial yang bisa kita terapkan. Pertama, kualitas tidur itu jauh lebih penting daripada durasinya. Nenek moyang kita tidurnya cuma sebentar, tapi nyenyak. Kedua, mereka konsisten sama pola tidurnya setiap hari. Waktu hari sudah gelap, otomatis siap kalau sebentar lagi waktunya tidur, no excuse. Ketiga, lingkungan tidur juga harus mendukung, jauh dari distraksi, bahkan cahaya lampu.
Terakhir, rutinitas sebelum tidur juga nggak kalah penting. Dulu orang Eropa punya watching time sebelum lanjut tidur shift dua. Versi modernnya? Bisa journaling, baca buku, atau meditasi biar kepala lebih tenang sebelum tidur.
Menariknya, sekarang mulai banyak gerakan yang ngajak kita back to basic soal tidur. Detoks digital sebelum tidur dengan menjauhkan gadget dari kasur, juga makin populer. Bahkan ada orang-orang yang coba biphasic sleep lagi.
Nggak cuma individu, beberapa perusahaan juga mulai sadar pentingnya kualitas tidur karyawan. Mereka bikin kebijakan kerja yang lebih ramah tidur karena udah ngerti, karyawan yang cukup istirahat bisa jauh lebih produktif daripada yang tenaganya diforsir terus-terusan. Tanpa sadar, itu menghormati ritme sirkadian yang sudah jadi warisan biologis manusia sejak ribuan tahun lalu.

