in

Pentingnya Nggak Ngapa-ngapain Demi Hidup Seimbang & Bahagia

Pentingnya Nggak Ngapa-ngapain Demi Hidup Seimbang & Bahagia

Ngomong soal kaum rebahan, mereka ini sering dianggap sebagai kelompok masyarakat paling nggak produktif di dunia. Pandangan itu bisa benar, agak benar, atau sama sekali keliru, tergantung konteks dan siapa yang membicarakannya.

Rebahan itu Buruk

Kalau merujuk artikel di situs Kementerian Keuangan yang -entah kenapa mendadak membahasnya- melansir kolega di Departemen Kesehatan, kaum rebahan akan terlihat amat negatif.

Mereka disebut mengadopsi gaya hidup sedentary, berkaitan dengan aktivitas di luar jam tidur yang miskin pembakaran kalori. Contohnya, seperti berbaring, duduk, membaca, menonton TV, dan bekerja di depan komputer.

Sedentary lifestyle dibagi jadi 3 level berdasarkan durasinya, yaitu:

  1. Level rendah, durasi di bawah 2 jam
  2. Level menengah atau sedang, durasi 2 – 5 jam
  3. Level tinggi, durasi lebih dari 5 jam

Tentu saja, jika kamu rebahan seharian, baik di kasur, sofa, lantai, maupun lapangan, itu akan mengganggu kesehatan. Tubuhmu kurang aktif bergerak karena terlalu banyak berbaring. Sedikit sekali mengeluarkan keringat, sehingga memungkinkan timbulnya gangguan kesehatan. Biasanya kalau nggak obesitas, diabetes, penyakit jantung, dan lain-lain.

Apalagi jika rebahan dilakukan di tengah jalan raya provinsi, pasti akan membahayakan lalu lintas dan bahkan nyawamu sendiri.

Produktivitas Tinggi dan Dampaknya

Kebalikan dari rebahan adalah produktif. Di masa kini, produktif identik dengan berkarya, khususnya yang menghasilkan uang. 

Masyarakat modern seringkali terlalu intens dalam berkarya. Tentu kamu mengenal istilah hustle culture, di mana masyarakat memberi penghargaaan lebih untuk pekerja keras, atau mereka yang terus menerus produktif dan meraih prestasi-prestasi tertentu secara konstan, sehingga naik kelas sosial.

Namun, penghargaan itu nggak menakar soal keseimbangan hidup, seperti kesehatan mental dan kualitas hubungan domestik. Juga nggak mikirin soal gimana orang itu bisa memperoleh dan mempertahankan kesuksesannya. Mau culas atau nggak, bukan masalah, yang penting sukses!

Sebuah artikel berjudul How Millennials Became The Burnout Generation ditulis oleh Anne Helen Petersen, jurnalis BuzzFeed. Ini membahas soal tuntutan bekerja keras tanpa henti yang membuat kelelahan, cemas, hingga rasa tidak puas yang berlebihan.

Anne Helen Petersen melihat banyak milenial mengalami burnout atau kelelahan nggak tertahankan, yang akhirnya memengaruhi berbagai aspek kehidupan mereka. Nggak cuma urusan pekerjaan, tetapi juga merambah hubungan, keuangan, serta kesehatan fisik dan mental.

Menurut Petersen, ada beberapa faktor yang memicu burnout. Salah satunya tekanan ekonomi yang tinggi, sementara pekerjaan yang dilakoni sekarang kurang menjamin stabilitas keuangan.

Gaji mepet, cuma cukup untuk bayar tagihan plus biaya hidup bulanan, tanpa ada tunjangan kesehatan dan kebijakan cuti yang memadai. Juga tuntutan bos pelit yang ingin karyawannya lebih produktif tanpa insentif, fee lembur, atau bonus. Apalagi di tengah tren kerja modern berbasis teknologi, ketika ada tuntutan untuk selalu siap merespons WAG kantor atau email dari klien, meski di luar jam kerja.

Ini juga diperparah dengan konsumsi konten-konten media sosial yang hiper-realistis, setidaknya menurut kalangan medioker. Menampilkan flexing kesuksesan mendapat gaji selangit, kemampuan menikmati liburan di lokasi di luar jangkauan, makan di restoran glamor, kecantikan, dan atau hubungan domestik yang sempurna. Ini malah membuat orang-orang jadi nggak puas dengan kehidupan pribadinya.

Produktif vs Hidup Seimbang

Melihat buruknya dampak budaya hustle, Anne Helen Petersen akhirnya mengungkapkan gagasan agar orang-orang lebih memprioritaskan hidup seimbang. Berlawanan dengan produktivitas tinggi, ia perlawanan terhadap burnout dengan cara mengatur pekerjaan dengan seimbang, mengambil cuti, dan merawat kesehatan mental.

Lebih lanjut, Arianna Huffington pendiri The Huffington Post, menulis buku Thrive: The Third Metric to Redefining Success and Creating a Life of Well-Being, Wisdom, and Wonder. Ia mempromosikan konsep sukses yang -menurutnya- baru, lebih dari sekadar keberhasilan karir dan kemapanan finansial.

Arianna Huffington memperkenalkan The Third Metric, tiga unsur sukses yang utama selain karir dan keuangan, yakni kesehatan, hidup seimbang, dan kebahagiaan. Ia melihat bahwa ukuran sukses yang sejati adalah kualitas kehidupan sehari-hari, bukan cuma soal pencapaian eksternal.

Selain itu, ia pun menekankan perlunya waktu prioritas untuk keluarga, teman, rekreasi, dan istirahat, serta menghindari budaya kerja yang terlalu terkoneksi teknologi secara terus-menerus.

Sebenarnya, budaya produktivitas tinggi itu baru ngetren belakangan ini saja. Masyarakat pra-teknologi informasi tidak mengenal kultur hustle. Mungkin karena sebelumnya nggak terlalu banyak paparan tentang normalisasi hedon-glamor, yang belakangan dinilai serampangan jadi standar kualitas hidup ideal.

Tidak Produktif demi Hidup Seimbang

Kebalikan dari rebahan yang dinilai negatif, dianggap malas-malasan, pasif, atau nggak produktif. Orang Belanda dan beberapa negara Eropa lainnya, punya pemikiran unik untuk menjustifikasi aktivitas rebahan.

Secara khusus, warga Negeri Oranje menemukan teknik niksen, suatu pendekatan yang amat bertentangan dengan semangat produktivitas masa kini. Pendekatan itu adalah, tidak melakukan apa-apa.

Kalau diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, niksen berarti “melakukan tidak ada” atau “berada di sana saja”. Makna harfiahnya adalah menghabiskan waktu atau terlibat dalam kegiatan yang bertujuan untuk tidak meningkatkan produktivitas.

Bentuknya bisa bermacam-macam, termasuk rebahan, duduk diam, melihat pemandangan, mendengarkan musik semata-mata untuk menikmatinya, jalan-jalan, menggambar dan mewarnai, atau aktivitas lain yang tujuannya nggak jelas.

Tapi perlu diingat! Diamnya orang Belanda saat menerapkan teknik niksen bukan semata-mata untuk menghindari tanggung jawab. Mereka melakukannya karena memandang bahwa hidup sebaiknya seimbang.

Santai, Tapi Nggak Kontraproduktif

Praktik niksen bertujuan untuk meredakan stres, mengurangi cemas, dan menstabilkan mental. Dalam konteks pekerjaan, memanfaatkan jam istirahat dengan bersantai, diam, refreshing, melakukan sesuatu yang nggak guna, atau mungkin rebahan sambil scroll-swipe konten TikTok Instagram. Dan ketika jam istirahat sudah usai, mental sudah kembali pulih, fresh dan siap kembali bertugas dan tanggung jawab yang sudah dimandatkan.

Kalau di Belanda ada niksen, di Denmark ada istilah hygge, dan di Swedia ada lagom. Tiga-tiganya punya dasar pemikiran yang sama, nggak ngotot dan buru-buru.

Hygge adalah kata dalam bahasa Denmark yang artinya suasana senang, ramah, dan nyaman. Orang Denmark memandang hygge adalah dasar hidup yang baik. Mengacu pada sikap mensyukuri hal-hal kecil, menciptakan suasana hangat dan menikmatinya bersama orang-orang terdekat.

Lalu ada lagom, bagian dari budaya masyarakat Swedia. Orang Swedia memegang teguh prinsip lagom dalam hidupnya. Mereka memperlakukan segala hal secara proporsional dan secukupnya, tidak kurang dan tidak lebih. Itu berlaku di segala hal, baik pilihan menu makan minum, cara berpakaian, perilaku kerja, maupun di aspek hidup lainnya. Prinsip lagom lekat dengan kesederhanaan, sebagai cara agar hidup seimbang dan bahagia.

Falsafah Hidup Seimbang

Konon orang Indonesia punya banyak cara untuk hidup bahagia. Orang sini dikatakan murah senyum, sehingga para pendatang merasa disambut dengan ramah. Tapi kalau kamu cermat, sebenarnya bahagia dan murah senyum itu dua hal berbeda. Keduanya berhubungan, tetapi relasinya bukan sebab akibat.

Besar kemungkinan, orang Indonesia murah senyum karena mereka kagum dengan tampilan fisik para pendatang. Karena, sependek pengetahuan hipmin, senyuman ramah itu diobral murah khusus untuk pendatang berupa bule kaukasia. Kalau ketemu nigga Afrika, seringkali para Indon ini punya sikap berbeda.

Soal kebahagiaan, ada satu falsafah hidup orang sini yang sebenarnya nggak kalah bagusnya dengan niksen, hygge, atau lagom.

Urip sak madya. Bagi orang Jawa yang masih mengenal tradisinya, istilah ini pasti amat melekat dalam kehidupan. Urip adalah hidup, sak madya bisa berarti sederhana, sewajarnya, seadanya, secukupnya, atau sepantasnya.

Urip sak madya menekankan pentingnya bersyukur atas segala karunia, sekaligus menjadi dasar etika dalam hidup bermasyarakat. Hidup seimbang, kita diharapkan bisa memperlakukan segala hal dengan sewajarnya. Bekerja giat, tanpa melupakan pentingnya istirahat. Menikmati hasil kerja, dengan tetap berempati kepada mereka yang kesusahan. Atau sebaliknya rebahan dan bersantai, mengingat ada tanggung jawab yang harus selesai.

Dalam praktiknya, urip sak madya menjadi panduan untuk menjalani kehidupan yang tenang, damai, sekaligus bermakna. Berusaha untuk mencapai keseimbangan antara tanggung jawab pribadi, hubungan sosial, dan spiritual.