Bayangkan kamu lagi di klub dugem atau festival electronic dance music (EDM). Tapi kali ini, DJ-nya nggak me-remix lagu-lagu populer yang enak buat singalong. Beda. Para “DJ” di panggung yang satu ini jarang kelihatan pakai turntable, tapi ‘cuma’ modal laptop—kira-kira cukup RAM 8GB, beberapa perangkat lunak sumber terbuka, dan atau koneksi internet.
Umumnya, mereka juga nggak banyak gaya, jarang goyang-joget ajojing ria. Seringnya malah kelihatan serius, lagi ngulik baris demi baris kode rumit di layar komputernya. Kayak programmer yang troubleshooting bug di aplikasi, atau dikejar deadline launching di depan mata. Padahal, sebenarnya mereka lagi bikin musik secara live.
Istilah populernya, live coding music, dengan subkulturnya, algorave, gabungan dari ‘algoritma’ dan ‘rave’.
Saya ketemu sama sebuah skena musik elektronik di salah satu kota di Indonesia. Di mana para musisinya menampilkan musik dengan cara ngulik kode program langsung di depan penonton. Bisa berupa intelligent dance music (IDM), ambient, techno, sampai danceable beat.
Proses kreatif yang biasanya disembunyikan di balik layar, di sini justru dipamerin. Layar laptop mereka diduplikat via proyektor, jadi penonton bisa ngintip langsung gimana musik ‘ditulis’ dan berubah secara real-time. Biar semakin imersif, mereka tambahkan elemen visual art yang nyentrik. Ada yang pakai video mapping, animasi generatif, atau pola-pola glitch yang gerakannya selaras dengan irama musik. Visual art ini bukan cuma pemanis, tapi salah satu fitur utama dalam performa mereka.
Kancah musik koding lagi merayap popularitasnya di Indonesia. Memang geliatnya belum terlalu dapat sorotan. Tapi, para pelakunya sudah lama gerak dengan semangat kolektif tanpa peduli eksposur yang berkembang.
Pertemuan dengan Praktisi Live Coding Music Lokal
Di tengah pesta dansa berlatar visual art kontras yang futuristik itu, muncul satu nama yang cukup nonjol, yaitu Algorapture. Itu adalah salah satu tajuk gigs musik koding rutinan yang digelar di Pasar Santa, Jakarta Selatan. Di sebuah tempat sekaligus basis komunitas bernama 97 Kobo Lab. Di balik Algorapture dan 97 Kobo Lab ada Andra Winatama, software developer sekaligus eksperimentalis musik koding.
Aktor utama Algorapture dan 97 Kobo Lab ini jadi orang pertama yang ngasih clue ke saya soal apa yang terjadi di situ. Perjumpaan virtual kami bikin saya tahu apa yang para performer lakukan. Gimana sejarah dan kekinian subkultur ini, baik di luar maupun dalam negeri. Termasuk soal-soal teknis kayak software yang dipakai, spek laptop minimal yang cocok, sampai gimana cara belajarnya. Selain itu, dia juga membagi banyak info tentang alasan dan harapan dia waktu punya inisiatif bikin Algorapture dan 97 Kobo Lab.
Selaku praktisi, Andra di panggung dikenal sebagai andrawkx. Moniker ini mengingatkan ke Andrew W.K. si tukang party. Waktu tampil, Andra sering bawain IDM atau techno pakai software TidalCycles dan TouchDesigner dengan laptopnya, meski dia juga pengguna DJ set yang terampil.
Andra pertama kali kepincut live coding music tahun 2018, pas sempat hidup di Bangkok, Thailand. Alasannya simpel, buat ngilangin stres tanpa harus keluar jauh-jauh dari profesi dia sebagai koder. Dia bisa tetap melatih skill ngulik kode komputer, tapi sambil bikin sesuatu yang beda dan lebih personal dari karya hariannya di tempat kerja.
Eh, ternyata aktivitas ini terus dikembangkan, sampai nemu, kenalan, bahkan kolab sama praktisi-praktisi sebidang di Indonesia. Akhirnya, dia punya inisiatif bikin movement lewat Algorapture dan 97 Kobo Lab, sekitar 2024. Di sini dia sering ajak kolega live coder lainnya, seperti Steadystate, Louis M (tampil di Void/Vision 2025), In Mint Condition, CRSRCRSRRR, dan lain sebagainya.
Sekarang, Andra lagi sibuk menghidupi skena, sambil tetap cari nafkah dan main musik dengan kodingnya. Selain itu, dia juga bikin workshop edukatif rutinan buat orang-orang yang tertarik belajar live coding, baik online maupun offline. Dia sendiri yang kadang jadi mentor, kalau bukan kawan praktisi dan tamu dari lokal atau mancanegara.
Harapannya, apa yang sedang aktif dia lakukan sekarang—baik di Algorapture dan 97 Kobo Lab maupun beberapa proyek lain, kayak Kodeliten, Kalikode, Visualiten, dsb—bisa bikin khalayak umum lebih aware tentang koding. Soalnya, koding masih dan masih akan berperan penting dalam hidup manusia di masa depan.
Sudah Lama, Tapi Baru: Paguyuban Algorave Indonesia
Andra sebenarnya bukan pionir musik koding di Indonesia. Dia cerita bahwa beberapa tahun sebelum mulai ngulik live coding, ternyata ada yang sudah ‘buka praktik’ duluan di Yogyakarta. Mereka punya komunitas juga, namanya Paguyuban Algorave Indonesia (PAI). Komunitas ini berdiri sekitar April 2021, menurut sebuah artikel berjudul “Algorave Music Practice in Indonesia: Paguyuban Algorave” yang dimuat di jurnal Organised Sounds volume 28 (2023) .
Dalam artikel itu disebut juga kalau PAI adalah komunitas turunan dari Lab Kokokoh yang dihuni lima orang pelaku seni musik algoritmis. Mereka adalah Bagas Koro Saputra, Mohammad Ali Azca, Maria Maya Aristya, Muhammad Khoirur Roziqin, dan Rangga Purnama Aji. Kelimanya sudah cukup lama aktif main musik elektronik dan eksperimental.
Komunitas ini digagas Rangga Purnomo Aji, musisi, produser, komposer, sekaligus praktisi musik koding yang aktif. Sarjana Seni Komposisi Musik lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini pertama kali bersinggungan dengan musik koding nonton Jogja Noise Bombing (JNB) Festival edisi 2017. Di situ, ada satu penampil yang eksperimen dengan live-coding di pentas, namanya Patrick Hartono. Dialah penulis artikel tentang PAI di jurnal Organised Sounds terbitan Universitas Cambridge, Inggris yang dikutip di paragraf awal tadi.
Habis nonton Patrick Hartono, Rangga ketemu sama Chris Martin, anggota Darwin Laptop Orchestra (DLOrk), kolektif musik elektronik dari Australia. Baru lewat pertemuan di Yogyakarta ini Rangga sadar kalau si Patrick main musik pakai kode komputer, meskipun konten yang dibawa di JNB waktu itu lebih ke noise daripada rave.
Pertemuan Rangga dengan tokoh-tokoh itu bikin dia makin berminat sama live coding. Apalagi setelah dia juga ketemu sama empat orang kawannya, bikin Kokokoh Lab, lalu intens diskusi bareng sesama seniman dan peneliti lintas disiplin. Umumnya mereka membahas soal pertemuan seni, bunyi, dan teknologi. Baik lewat diskusi, eksperimen, bikin karya maupun tampil di ruang-ruang alternatif.
Pada suatu kesempatan, tiba giliran mereka bikin konser tunggal, Pagelaran Algorave Indonesia #1. Waktu itu tanggal 22 April 2021, yang sekaligus jadi hari lahir PAI. Sejak acara virtual inilah, geliat komunitas live coding mulai kelihatan arahnya. Nggak cuma jadi ajang pamer skill coding dan bikin beat nyentrik, tapi juga jadi ruang belajar dan saling dukung antarpraktisi. PAI pengen jadi wadah yang ramah buat siapa pun yang minat ngulik pengodean kreatif, khususnya buat ranah kesenian.
Beberapa tahun terakhir PAI juga sudah ngisi banyak panggung. Dari yang niche spesifik kayak Konser Musik Latency sampai tampil di acara besar, seperti Biennale Jogja dan SUMONAR Festival. Nggak heran kalau komunitas ini sekarang udah punya sekitar 30 anggota aktif, sebagian besar berjejaring via Telegram.
Uniknya, sama dengan kolega di 97 Kobo Lab, performa mereka bukan cuma soal musik. Acara-acara mereka malah jadi semacam pertunjukan audio visual. Kadang dalam bentuk noise eksperimental, ambient, glitch, kadang groove EDM yang enak buat goyang. Masih dengan semangat kolektif dan do it yourself, dari layar laptop ke layar proyektor, sering juga disisipi narasi-narasi politik dan sosial.
Sekilas tentang Live Coding Music
Live coding music berakar dari praktik komputasi kreatif yang muncul akhir 1990-an sampai awal 2000-an. Waktu itu, para programmer yang suka musik mulai mengeksplor cara baru bikin musik. Kalau dulunya pemusik digital main pakai Digital Audio Workstation (DAW) kayak FruityLoops dan Abbleton. Ini mereka maunya pakai bahasa pemrograman, biar kerasa lebih ‘analog’, karena bisa diulik secara real-time.
Di ranah programming, ada istilah back-end dan front-end. Back-end itu bagian yang nggak kelihatan, yaitu susunan logika di balik layar , kayak algoritma dan data, yang dibuat pakai bahasa kode. Kalau front-end, itu bagian yang kelihatan dan bisa langsung interaksi, kayak tampilan visual atau antarmuka buat pengguna. Nah, di live-coding music, malah sisi back-end yang ditampilkan di depan penonton, meski kadang juga dipercantik dengan visual gambar bergerak.
Praktik live coding mulai populer di komunitas musik elektronik dan seni media. Salah satu tonggak pentingnya adalah ketika terbentuk komunitas TOPLAP (Temporary Organisation for the Promotion of Live Algorithm Programming) pada awal 2000-an. Komunitas ini jadi wadah buat para live coder bagi-bagi info dan mengembangkan praktik mereka.
Salah satu tokoh utama yang sering disebut di ranah musik koding adalah Alex McLean. Dia jadi pionir, anggota TOPLAP, sekaligus pengembang program TidalCycles tahun 2009. Bareng mendiang Nick Collins, dia juga ikut merumuskan istilah baru buat nyebut musik dansa algoritmis ini. Iya, mereka berdua yang bikin term algorave tahun 2011. Acara algorave pertama diadakan di London tahun 2012. Sekarang subkultur ini nyebar ke berbagai kota di banyak negara dunia, termasuk ke Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Malang.
Selain popularitasnya meluas, teknologi yang makin canggih juga bikin live coding music dan algorave makin berkembang. Dulu, seenggaknya cuma ada TidalCycles dan saudara tuanya, Supercollider. TidalCycles adalah lingkungan pengodean di mana si programmer bisa ngetik kode secara langsung yang akan diterjemahkan jadi audio. Sebelum diterjemahkan dari audio, kode dikirimkan dulu ke lingkungan koding Supercollider yang bertugas meng-generate bahasa program jadi audio.
Nah, Supercollider sendiri dikembangkan oleh James McCartney tahun ’90-an. Orang ini memang nggak terlibat langsung, tapi karya dia jadi fondasi utama dalam perkembangan algorave. SuperCollider jadi platform utama yang dipakai oleh banyak musisi live-coding sampai sekarang, karena mampu menghasilkan dan memodifikasi suara secara real-time lewat kode. Meski ‘tua’, dua platform ini masih jadi primadona, karena komunitas penggunanya cukup kuat. Apalagi, keduanya juga jadi basis buat pengembangan platform lain yang lebih ‘modern’. Beberapa yang mulai banyak dipakai, misalnya Sonic Pi, Strudel, Cabbage, Overtone, dan banyak lagi. Kalau lagi longgar, boleh dicoba, tuh!

