Dunia lagi heboh sama kebijakan tarif impor baru dari Amerika Serikat, alias US Tariff. Kalau nggak salah prediksi, kebijakan ini bakal menggoyang ekonomi global. Dan negeri kita yang Indonesia ini termasuk salah satu negara langganan ekspor ke AS, jadi pasti juga kena imbasnya.
Donald Trump, presiden AS sekarang, punya slogan Make America Great Again (MAGA) di kepemimpinannya kali ini. Slogan itu memang banyak dikritik, tapi yang dukung juga nggak sedikit, makanya Trump bergeming.
Perubahan tarif impor tadi, jadi salah satu kebijakan buat mewujudkan slogan MAGA. Trump naikin persentase biaya buat negara-negara lain yang masukin produk mereka ke AS. Ada tarif dasar 10% untuk semua negara, plus beberapa persen lagi sebagai tarif resiprokal atau timbal balik. Tarif yang kedua ini spesial karena nilainya beda-beda buat setiap negara. Indonesia sendiri kena 32%, jauh mendingan daripada Vietnam yang 46%.
Tarif Impor AS, Efeknya Gimana?
Tarif AS, khususnya yang resiprokal, efeknya bisa cukup membagongkan buat ekonomi Indonesia.
Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) adalah salah satu ekonom populer di Indonesia yang sering jadi rujukan soal isu ekonomi makro. Menurutnya, kebijakan tarif resiprokal Trump bisa memicu resesi ekonomi Indonesia di kuartal IV 2025. Dia bilang, tarif 32% ini bakal bikin ekspor ke AS anjlok, harga komoditas global turun, penerimaan pajak melemah, dan konsumsi rumah tangga loyo.
Bhima nyebut ini sebagai “perfect storm”. Badainya lengkap, soalnya kombinasi dari penurunan ekspor, melemahnya fiskal pemerintah, dan konsumsi yang tertekan. Ada ancaman resesi juga, khususnya karena pertumbuhan ekonomi melambat signifikan selama dua-tiga kuartal berturut-turut.
Tahun 2024, Indonesia ekspor US$26,31 miliar ke AS, itu 10,3% dari total ekspor nasional. Sektor yang nyumbang paling besar adalah industri padat karya, seperti tekstil, alas kaki, elektronik, otomotif, dan furnitur. Industri bakal kena pukulan keras karena tarif 32% bikin harga produk kita di AS jadi melambung. Perusahaan jadi susah cari untung dan bisa-bisa melakukan efisiensi yang dampaknya nanti ke karyawan. Dengan jumlah PHK karyawan yang sudah puluhan ribu orang, bisa-bisa angkanya masih akan nambah lagi.
Urusan tarif-tarifan ini juga bisa ngefek ke nilai tukar mata uang setiap negara. Rupiah belakangan lemah terus, sempat nyungsep ke Rp17,217 per dolar (7 April 2025), meski sekarang naik jadi Rp16609,25. Tapi kalau terus-terusan melemah, beban utang luar negeri bakal lebih berat, karena bayarnya harus pakai dollar. Ujungnya, baik instansi negeri maupun swasta yang punya utang luar negeri, ya lagi-lagi harus efisiensi operasional.
Tapi, Masih Ada Harapan
Tarif 32%—bahkan 47% untuk beberapa sektor— memang ancaman buat ekspor, rupiah, dan lapangan kerja, apalagi dengan risiko “perfect storm” yang dibilang Bhima. Tapi, Indonesia punya peluang ‘menikmati’ badai itu.
Sekarang, Trump sudah menunda penerapan tarif impor selama 90 hari. Penundaan ini berlaku sejak 9 April 2025 kemarin buat 75 negara, kecuali China. Sebelumnya, Indonesia juga sudah nego ke Trump soal besaran tarif, meskipun belum terlalu ngefek. Dan sementara ini, ekonomi global masih di masa-masa nggak jelas sampai beberapa bulan ke depan.
Tapi, seengaknya penundaan ini bikin pemerintah bisa siap-siap kalau misalnya kebijakan tarif tadi beneran jadi. Negara saingan Indonesia, kayak Vietnam dan China kena tarif lebih tinggi, jadi Indonesia berpeluang merebut pasar AS. Pemerintah bisa berusaha narik investor biar mereka mindah pabriknya dari negara dengan tarif tinggi.
Direktur Eksekutif Institute of Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti Soeryaningrum Agustin bilang. Barang dari Vietnam atau China akan jadi lebih mahal di AS. Maka, perusahaan dan pembeli di AS akan mulai nyari negara lain yang bisa menyuplai barang serupa dengan harga lebih bersaing.
Tahun 2019 lalu Vietnam memanfaatkan situasi kayak gini dengan baik. Karena produk ekspor Vietnam mirip punya China, jadi mereka bisa langsung menggantikan posisi China memasok produk ke AS. Apalagi, Vietnam sudah lama punya perjanjian dagang menguntungkan dengan AS, bikin barang mereka bisa masuk AS lebih murah dan mudah.
Beberapa produk China diproduksi ulang atau cuma diganti label jadi made in Vietnam, lalu dijual ke AS. Lokasi yang berdekatan juga bikin banyak perusahaan AS pindah pabrik dari China ke Vietnam, karena lebih hemat biaya dan proses izinnya cepat. Contohnya, Apple, Intel, Coca Cola, dan Nike.
Indonesia juga bisa memanfaatkan kesempatan kayak Vietnam, karena AS masih butuh barang lain, kayak mineral dan logam. Seperti semua tahu, Indonesia punya banyak produk tambang, plus sawit. Selain itu, dunia lagi lomba beralih ke teknologi ramah lingkungan. Ini juga peluang besar buat Indonesia, karena punya banyak bahan mentahnya.
Caranya?
Bhima Yudhistira bilang kalau Indonesia punya peluang besar buat narik investor asing. Tapi biar investor tertarik, Indonesia harus melakukan terobosan buat memperbaiki beberapa hal.
Dia nyebut bahwa aturan hukum di Indonesia harus jelas dan konsisten, serta birokrasi buat usaha yang nggak ribet. Juga stabilitas politik dan keamanan yang terjamin, jadi nggak ada gonjang-ganjing di masyarakat. Selain itu, Bhima juga menyoroti perlunya pemerintah serius meningkatkan infrastruktur buat industri, punya energi yang cukup dan ramah lingkungan, serta sumber daya manusia yang kompeten.
Sambil berusaha memperbaiki kondisi di dalam negeri, pemerintah sebaiknya juga mulai nyari alternatif tujuan ekspor lainnya. Kalau di AS sudah seret, mungkin bisa ke negara Asia lainnya, kayak negara-negara Timur Tengah, misalnya. Apalagi sekarang Indonesia sudah masuk BRICS, jadi peluang kerjasama dengan negara anggota lainnya bisa lebih dioptimalkan lagi.
Ekonom dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Didin S. Damanhuri, ngasih saran agar pemerintah lebih fokus ke sektor UMKM dan pertanian. Dua sektor ini sudah terbukti tangguh pas kita kena krisis ekonomi besar, kayak tahun 1998 dan 2008. Jadi, perlu dijadikan tulang punggung dalam strategi menghadapi ekonomi global yang nggak jelas. Menurut dia, program-program ekonomi yang nggak berdampak langsung sebaiknya ditinjau ulang. Anggaran yang nggak mendesak, misalnya yang dipakai buat MBG, bisa dialihkan buat sektor-sektor itu.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani, lebih menekankan pentingnya diplomasi dagang Indonesia-AS. Dia mendorong pemerintah bikin perjanjian dagang baru yang bisa menghindarkan produk kita dari tarif tinggi. Dia yakin kalau kerja sama semacam ini bisa ngasih peluang ekspor baru dan bikin posisi Indonesia lebih kuat di perdagangan global.