Ada seorang pria soleh yang hidupnya menyendiri. Hari-harinya dengan beribadah, berdoa, zikir, puasa. Nggak ada yang mengganggu ketenangan batinnya. Nggak tergoda dunia, selalu optimis dan mikir positif. Ia merasa sudah mencapai titik spiritual yang tinggi.
Suatu malam dia mimpi. Dalam mimpinya, ia diperlihatkan seorang pedagang di kota yang ternyata punya spiritualitas yang lebih unggul darinya. Maka, ia diminta belajar tentang makna sejati kehidupan rohani dari pedagang itu.
Penasaran, esoknya si pria soleh itu berangkat mencari sang pedagang. Ketemu, ia melihatnya lagi sibuk melayani pelanggan, menjual barang, menerima uang, dan tersenyum ramah.
Pria soleh duduk di pojok toko, mengamati dengan saksama. “Tidak ada tanda-tanda kehidupan spiritual di sini,” pikirnya. Mungkin mimpinya cuma bunga tidur.
Tapi kemudian, ia melihat pedagang itu meninggalkan toko sebentar untuk salat. Begitu selesai, ia kembali bekerja seolah nggak ada apa-apa.
Si pedagang akhirnya menyadari kehadiran pria soleh di pojok toko. “Assalamu’alaikum, saudaraku. Mau beli sesuatu?” tanyanya dengan ramah.
“Wa’alaikumussalam. Oh, tidak! Aku ke sini bukan mau belanja, tapi bertanya sesuatu.” Pria soleh itu lalu cerita mimpinya.
“Ah, itu mudah dijelaskan,” kata si pedagang. “Tapi sebelum aku jawab pertanyaan itu, aku punya satu tugas kecil buat kamu.”
“Apa pun akan kulakukan!” jawab lelaki soleh dengan penuh semangat.
“Baiklah. Ini piring kecil berisi air raksa. Bawalah ke ujung jalan sana dan kembali dalam waktu setengah jam. Kalau ada yang tumpah barang cuma setetes, kamu nggak akan dapat jawabanku. Silakan mulai.”
Lelaki saleh itu membawa piring dan mulai berlari. Air raksa di dalamnya bergetar, hampir tumpah. Panik, lalu ia memperlambat langkahnya. Tapi, seketika sadar kalau waktunya terbatas, jadi langkahnya dipercepat lagi.
Sampai di toko, sambil terengah-engah, ia berkata, “Ini air raksamu, nggak tumpah setetes pun. Sekarang jelaskan maksud mimpiku!”
Pedagang itu tersenyum dan bertanya, “Baik, saudaraku. Berapa kali kamu ingat Allah selama perjalanan tadi?”
Si pria soleh langsung terdiam seketika. “Mengingat Allah? Sama sekali nggak! Aku terlalu sibuk menjaga air raksa biar nggak tumpah,” jawabnya.
Pedagang itu tersenyum bijak. “Aku juga selalu bawa ‘air raksa’ selama hidup. Tapi bedanya, aku nggak pernah lupa mengingat Allah di setiap langkahku. Aku berbisnis dengan jujur, memperlakukan pelanggan dengan baik, dan selalu ingat bahwa setiap tindakan adalah bentuk ibadah.”
Petikan Hikmah
Allah berfirman:
رِجَالٌ لَّا تُلْهِيْهِمْ تِجَارَةٌ وَّلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِ وَاِقَامِ الصَّلٰوةِ وَاِيْتَاۤءِ الزَّكٰوةِۙ يَخَافُوْنَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيْهِ الْقُلُوْبُ وَالْاَبْصَارُۙ ٣٧
“Orang-orang yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan jual beli dari mengingat Allah, mendirikan salat, dan menunaikan zakat. Mereka takut kepada hari ketika hati dan penglihatan menjadi guncang (karena dahsyatnya azab).” (QS. An-Nur: 37)
Dari kisah di atas, spiritualitas itu bukan cuma mengasingkan diri dari dunia, tapi gimana kita hidup dengan penuh kesadaran akan nilai-nilai ibadah. Ibadah nggak cuma di masjid atau di ruang sunyi, tapi juga di tengah kesibukan sehari-hari. Malah pas lagi sibuk-sibuknya, justru di situ kita diuji apakah masih bisa mengingat-Nya.
Seorang pedagang yang jujur dalam berbisnis, memperlakukan pelanggan dengan baik, dan tetap menjalankan kewajibannya, sesungguhnya lagi menjalankan ibadah. Kerja dengan ikhlas juga suatu bentuk penghambaan yang nggak kalah mulia daripada doa dan puasa.
Dunia dan akhirat bukan dua hal berlawanan, apalagi harus dipertentangkan. Mengingat Allah bukan berarti meninggalkan dunia, tetapi justru menghadirkan-Nya dalam setiap aktivitas yang kita lakukan. Pertanyaannya, sudahkah kita menemukan keseimbangannya dalam hidup kita hari ini?