Apa kegiatanmu tiap hari Minggu? Tidur, bersih-bersih rumah, berkebun, rekreasi, rebahan, recharge energi dan pikiran. Rata-rata paling gitu ya, kita sama.
Iseng aja, kepikiran, kenapa ya Minggu jadi hari libur di banyak negara?
Kalau kamu juga penasaran, ternyata sejarahnya lumayan panjang. Tapi daripada capek browsing, hipmin rangkumkan.
Sebenernya, awalnya Minggu itu dipercaya sebagai hari pertama dalam seminggu. Ini berhubungan sama konsep agama Yahudi-Kristen. Buat umat Kristen, hari Minggu spesial karena jadi peringatan kebangkitan Yesus Kristus (Alkitab bilang kalau Yesus bangkit pada “hari pertama dalam minggu itu”, yang jatuh pada Minggu Paskah).
Menurut Encyclopaedia Britannica (2015), ayat 10 dari bab pertama Kitab Wahyu kepada Yohanes menyebutkan soal “Hari Tuhan” yang kemudian dianggap sebagai referensi ke hari Minggu.
Lalu ada juga Santo Justin Martir (sekitar tahun 100-an Masehi) yang menulis kalau orang Kristen zaman dulu kumpul bareng tiap Minggu buat ibadah, baca Kitab Suci, dengar khotbah, dan Perjamuan Kudus.
Asal usul Minggu jadi Hari Libur
Kalau konsep libur hari Minggu awalnya dari tradisi Sabat, hari istirahat dan ibadah di hari ketujuh dalam seminggu yang dirayakan umat Yahudi dan Kristen.
Sabat bagi Yahudi sebenernya jatuh pada hari Sabtu. Tapi kebanyakan denominasi Kristen pilih Minggu sebagai hari Sabat mereka.
Kekaisaran Romawi juga punya andil penting dalam penetapan libur di hari Minggu. Setelah pindah ke agama Kristen, Kaisar Romawi Konstantinus I bikin undang-undang sipil pertama soal hari Minggu di tahun 321 Masehi. Semua orang harus berhenti kerja di hari itu, kecuali para petani masih boleh ngurus ladang kalau darurat.
Alasannya supaya semua orang punya waktu buat ibadah dengan tenang. Kebiasaan ini menyebar ke berbagai wilayah kekuasaan Romawi, termasuk Belanda. Nah, pas Belanda menjajah Indonesia, mereka bawa budaya libur hari Minggu ini ke sini. Sampai sekarang ini.
Di negara lain seperti New Zealand, sejarah libur di hari Minggu lebih rumit lagi. Suku Maori—penduduk asli New Zealand—sebenarnya sudah mengadopsi Minggu sebagai hari istirahat, buat menghormati kebiasaan orang Pākehā (sebutan untuk pendatang kulit putih di sana).
Beberapa dari mereka kemudian memaknai hari Minggu secara berbeda setelah mengenal agama Kristen. Banyak warga dari Presbyterian, Methodist, dan denominasi gereja Kristen Protestan lainnya yang menjadi penganut Sabbatarian. Hari Minggu kemudian dianggap jadi hari yang super serius.
Mereka punya aturan ketat: nggak boleh kerja, nggak boleh jalan-jalan, bahkan kegiatan santai kayak piknik atau berburu pun dilarang. Anak-anak ke sekolah Minggu, orang dewasa ke gereja, terus habis itu makan malam keluarga besar.
Penganut Sabbatarian garis keras sampai menentang segala bentuk rekreasi yang terang-terangan dilakukan di hari Minggu. Pokoknya hari itu cuma boleh buat berdoa, baca buku keagamaan, istirahat, dan kumpul keluarga. Tahun 1885, kaum Sabbatarian di Dunedin sempat nge-lobi Dewan Kota buat ngelarang band angkatan laut main musik di kebun raya waktu Minggu sore. Mereka juga menolak pembukaan museum dan perpustakaan umum di hari Minggu.
Tapi nggak semua orang ikut aturan saklek ini. Komunitas Katolik dan Anglikan yang lebih santai menganggap Minggu cukup buat ibadah ke gereja aja. Setelah itu ya bebas mau ngapain aja, asal nggak lebay.
Sekitar tahun 1860-an, orang-orang mulai nggak peduli sama segala protes kaum Sabbatarian soal liburan di hari Minggu. Perusahaan transportasi akhirnya menyediakan feri wisata khusus hari Minggu. Setahun kemudian, kereta wisata mulai beroperasi juga.
Masuk awal abad ke-20, hiburan hari Minggu makin seru. Konser dan film mulai jadi agenda tetap. Tapi buat menghindari konflik sama kaum Sabbatarian, promotor konser sering bikin acara dengan embel-embel “konser sakral” atau muterin film keluarga yang punya pesan moral.
Di tahun 1920-an dan 1930-an, waktu kepemilikan mobil makin marak, bikin Minggu berubah jadi hari yang perfect buat liburan bareng keluarga. Larangan-larangan soal rekreasi perlahan mereda sendirinya.
Ada juga yang libur Sabtu-Minggu
Kalau di Inggris, dulu para tukang terampil punya ritme kerja unik. Mereka sering banget sewa bengkel sendiri buat produksi barang pesenan yang kudu rampung tiap minggu. Kerjaannya intens banget dari Selasa sampai Sabtu malam.
Biar hidup lebih balance, mereka bikin konsep libur nggak resmi yang disebut Saint Monday alias Hari Suci Senin. Tapi ini nggak ada hubungannya sama agama, kok. Istilahnya cuma buat dapetin alasan libur lebih panjang: Minggu libur, Senin juga bisa lebih santai soalnya kerjaan sudah full tuntas di Sabtu malam.
Pertengahan abad ke-19, Saint Monday jadi nge-trend di Inggris. Banyak tempat hiburan yang bikin acara di hari libur nggak resmi ini. Tapi, para pemilik pabrik nggak happy sama kebiasaan itu. Mereka takut produktivitas turun kalau buruh pada ambil libur seenaknya.
Lama-kelamaan, sekitar tahun 1870-an dan 1880-an, mulai muncul dorongan buat menjadikan Sabtu sore dan Minggu sebagai waktu istirahat. Meski alasannya nggak sama, pemilik hiburan, kelompok agama, sampai serikat buruh akhirnya sepakat kalau Sabtu sore itu lebih baik istirahat aja, nggak usah ngoyo.
Tahun 1930-an, para pengusaha akhirnya sadar kalau ngasih libur dua hari penuh (Sabtu dan Minggu) justru bikin pekerja lebih sehat, nggak sering bolos, dan kerja lebih produktif.
Mungkin itu juga kenapa PNS di sini ikut libur Sabtu-Minggu. Hehe..
Oh iya, kenapa hari libur warnanya merah?
Konsep menandai hari Minggu atau hari libur di kalender dengan warna merah, lagi-lagi sudah ada sejak zaman Republik Romawi (509–27 SM).
Di kalender Romawi, hari-hari sakral atau peristiwa penting ditulis pakai tinta merah biar gampang kelihatan. Tradisi ini masih dipakai sampai Abad Pertengahan, terus menyebar ke Eropa.
Fun fact lainnya, di zaman manuskrip kuno, rubrik (huruf kapital di awal dan kata-kata khusus) ditulis pakai tinta merah. Karena dianggap penting dan paling disorot. Tradisi menjadikan warna merah sebagai penanda hal penting ikut diadaptasi ke penulisan kalender.
Kalender pertama yang resmi mencetak hari-hari penting pakai warna merah dirilis tahun 1549 dalam seri pertama “Book of Prayer”.
Di Inggris Raya, nggak cuma acara keagamaan aja yang tanggal merah, tanggal penting sipil juga dicat merah di kalender. Para hakim bahkan punya tradisi pakai jubah merah khusus buat acara resmi yang disebut “hari merah.” Di beberapa universitas Inggris, dosen juga boleh pakai gaun pesta merah pada hari-hari penting.
Praktik ini kemudian nyebar ke berbagai negara, termasuk Norwegia, Swedia, Amerika Latin, Korea Selatan, dan negara kita tercinta Indonesia. Makanya, sampai sekarang kita masih nyebut hari libur sebagai tanggal merah.