Kalau dipikir-pikir, Indonesia belakangan makin dekat dengan digitalisasi. Apa apa serba digital. Pemerintah mulai semangat mengadopsi teknologi buat berbagai layanan publik. Bikin aplikasi kayaknya jadi tren di kementerian dan lembaga negara.
Semua programnya memang terdengar menjanjikan dan keren, tapi pas diterapkan, nggak jarang menciptakan banyak masalah yang bikin rakyat justru repot sendiri. Beberapa aplikasi yang diluncurkan malah terlalu ribet atau nggak benar-benar memahami kebutuhan pengguna.
Jokowi (Presiden ke-7 RI) sempet sadar juga kalau jajaran pemerintahannya hobi bikin aplikasi. Per tahun 2024 saja katanya ada 27 ribu aplikasi pemerintah. Terus, dia minta jajarannya stop bikin aplikasi dulu. “Orientasinya selalu proyek, itu yang kita hentikan dan nggak boleh diterusin lagi,” katanya waktu itu. Huehe..
Bisa jadi, sebetulnya kita—pemerintah juga rakyat—masih belum sepenuhnya siap hidup bersandingan dengan dunia digital. Tahu kan kamu, E-KTP aja masih sering diminta fotokopiannya. Terus fungsinya digital apa?
Pengamat teknologi Evgeny Morozov dalam bukunya To Save Everything, Click Here nyentil cara pikir ini. Intinya, dia bilang kalau teknologi sering dianggap solusi buat semua masalah, padahal kenyataannya nggak gitu. Ada faktor politik, ekonomi, budaya, dan lainnya yang perlu dipikirkan juga.
Pemerintah jelas punya niat baik buat ngikutin perkembangan zaman. Tapi kan rakyat Indonesia ini banyak sekali, dan sebanyak itu nggak semuanya ngerti teknologi. Jadi kalau mau sukses menerapkan transformasi digital, perlu sabar sosialisasi, server-nya dikuatkan, keamanan data dan perangkatnya dijaga baik-baik.
Soalnya, banyak kasus proyek digital pemerintah yang ujung-ujungnya bermasalah. Berikut ini contohnya:
1. Coretax yang Bikin Frustrasi
Masih hangat dan lagi jadi concern banyak pihak. Januari 2025 ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi meluncurkan sistem pelaporan dan pembayaran pajak baru, namanya Coretax.
Sebenernya tujuannya buat menggantikan sistem lama yang dianggap ribet dan nggak efisien. Tapi meski tujuannya mulia, implementasinya malah bikin pusing pengguna.
Pelaporan dan pembayaran pajak di Indonesia sebelumnya sudah rumit. Perusahaan harus pakai empat platform berbeda—Web Efaktur, Aplikasi Efaktur, Web DJP, dan Web e-Nofa—buat lapor pajak. Sudah harus wara-wiri switching, sistem lama itu sering bermasalah. Kadang eror berminggu-minggu.
Makanya, DJP meluncurkan Coretax buat menyederhanakan semuanya dalam satu platform. Niatnya sih begitu. Selain mempermudah wajib pajak, Coretax juga harapannya bisa bantu pemerintah memperluas basis pajak dengan pengelolaan data yang lebih baik, jadi potensi pajak yang belum tergarap bisa teridentifikasi.
Tak disangka, tak dinyana, sejak pertama diluncurkan, sistem Coretax punya banyak masalah. Banyak keluhan proses bikin akun yang sulit, terutama website Coretax sering error dan sangat lemot diakses. Baru bisa di malam hari, atau di hari libur.
Salah satu keluhan utama para pengguna, data lama yang sudah terinput di sistem sebelumnya nggak diakui sama Coretax, jadi semua info harus diinput ulang dari awal. Masih banyak lagi, misalnya, user experience-nya nggak praktis. Meski sistem ini dipakai badan usaha, password buat upload data harus berhubungan sama akun pribadi PIC (person in charge) atau penanggung jawab perusahaan. Berisiko menimbulkan masalah keamanan karena harus dibagikan ke staf.
Sedihnya lagi, implementasi Coretax ini minim sosialisasi. Pengguna nggak dapat pelatihan cukup sebelum sistem diluncurkan. Nggak ada trial-trial versi beta. Kalau tanya ke DJP, pengguna kebanyakan disarankan nonton tutorial di YouTube. Karyawan yang setiap hari harus bergelut dengan pajak jadi frustrasi. Karena mau nggak mau kewajiban pajak tetap berjalan.
Tanggapan DJP soal eror-eror ini cukup klasik, salah satunya tingginya volume akses website secara bersamaan. Apalagi Coretax terhubung dengan 89 entitas lain, termasuk BUMN dan kementerian.
Sementara ini, solusi buat pengguna masih di tahap sabar dulu. Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, menyarankan masa transisi yang ideal kira-kira tiga sampai empat bulan. Luhut juga usul integrasi Coretax dengan layanan digital pemerintah atau govtech selesai pada Agustus 2025.
2. Kisruh E-Materai
Media sosial sempat rame gara-gara kisruh sistem pembelian e-materai yang tiba-tiba mengalami banyak masalah. Rabu, 4 September 2024, topik ini sempat trending di X seharian penuh.
Masalah muncul karena server dari berbagai layanan penyedia jasa penjualan e-materai overload, jadinya susah diakses. Bikin panik karena barengan sama deadline pendaftaran CPNS 2024 yang jatuh pada 6 September 2024.
Nggak cuma aksesnya yang lemot, stok e-materai yang dikeluarkan Perusahaan Umum Percetakan Uang Indonesia (Peruri) ikut habis. Banyak yang udah bayar, tapi materainya nggak kunjung didapat. Kementerian Keuangan bilang kalau masalah distribusi dan pengelolaan sistem juga ikut memperburuk situasi.
Situs penyedia layanan e-materai, yang dikelola DJP dan beberapa penyedia pihak ketiga, sering banget down. Kata DJP, lonjakan permintaan yang nggak biasa bikin server mereka kewalahan. Terus, ada indikasi serangan Distributed Denial of Service (DDoS) yang bikin server banjir trafik nggak sah. Ini salah satu penyebab sistem jadi makin sulit diakses.
Di tengah kekacauan ini, kasus penipuan terkait e-materai ikut merajalela. Penjual abal-abal nawarin e-materai dengan harga murah banget, tapi ternyata palsu. Korban nggak bisa pakai dokumen mereka karena nggak diakui secara resmi.
Situs palsu dan email penipuan yang ngumpulin data pribadi atau info pembayaran dari pengguna. Data ini bisa dipakai buat transaksi ilegal. Rakyat di media sosial ramai mengelih kalau pemerintah belum siap menghadapi digitalisasi.
Soal e-meterai ini, Peruri akhirnya buka suara. Seperti diduga, masalah ini terjadi karena lonjakan pengakses. Akibatnya, website mereka jadi kewalahan dan antrean online makin panjang.
Peruri minta maaf, dan bilang kalau lagi berusaha keras buat mengembalikan layanan. Mereka menawarkan opsi beli e-materai di reseller resmi. Tapi ya nggak ikut-ikut kalau ada masalah lain lagi di platform itu. Risiko ditanggung pembeli.
3. Pusat Data Nasional Kena Hack
Bikin heboh se-Indonesia. Kamis, 20 Juni 2024, layanan publik jadi berantakan gara-gara ransomware yang menyerang salah satu pusat data nasional sementara (PDNS) di Surabaya. Ransomware itu semacam program jahat yang nyandera data komputer pakai enkripsi. Kalau data udah terenkripsi, pengguna nggak bakal bisa buka atau pakai data itu kecuali bayar tebusan ke peretas.
Nah, PDNS Surabaya kena serangan ransomware Brain Cipher, varian Lockbit 3.0, yang bikin data di sana lumpuh total. Gara-gara serangan ini, lebih dari 200 layanan pemerintah terdampak. Layanan imigrasi jadi salah satu yang paling kacau. Pengurusan paspor dan visa lumpuh total, sampai layanan di bandara harus manual, yang ujung-ujungnya bikin antrean penumpang panjang. Nggak cuma itu, pendaftaran sekolah alias PPDB di beberapa daerah juga ikut terganggu.
Empat hari berselang, masalah ini masih nggak kelar juga. Pemerintah akhirnya buka suara ke publik lewat konferensi pers bareng Kominfo, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dan PT Telkom sebagai penyedia layanan cloud PDNS.
Katanya, BSSN mencium gelagat aneh sejak 17 Juni 2024. Tepat jam 11 malam, fitur keamanan Windows Defender tiba-tiba dinonaktifkan. Menkominfo Budi Arie Setiadi juga bilang kalau hacker PDNS minta tebusan USD 8 juta atau sekitar Rp 131 miliar buat buka akses data yang dikunci.
Ide bikin PDNS ini sebenarnya maksudnya baik, buat menyatukan 2.700 pusat data instansi pemerintah, dari pusat sampai daerah, biar lebih efisien dan terhubung dalam sistem satu data. Kominfo sebelumnya sempat yakin banget kalau PDNS bakal berstandar internasional yang minim down dan punya backup data kuat.
Kejadian peretasan ini sudah pasti bikin repot banyak pihak. Gemesnya, pemerintah malah kayak salah-salahan. DPR marah-marah, pengamat publik ngasih kritik, Kominfo dan vendornya balapan membela diri.
Waktu rapat kerja dengan Komisi I DPR, 27 Juni 2024, baru ketahuan ternyata proses backup data di PDNS nggak otomatis. Tenant (instansi pengguna) harus minta dulu lewat sistem tiket buat nyimpen cadangan. Pas ada masalah peretasan, dari total 282 tenant, cuma 44 yang mengajukan backup. Jadi ya cuma 2% data yang bisa dipulihkan.
Endingnya, 2 Juli 2024, terduga kelompok hacker PDNS, tiba2 muncul ke publik dan bilang kalau mereka bakal ngasih kunci data yang diretas. Katanya, mereka emang sengaja ngasih pelajaran pemerintah biar lebih waspada dan punya SDM yang layak di sektor teknologi, hehe..
Nggak lama, 4 Juli 2024, Semuel Abrijani Pangerapan, Dirjen Aplikasi Informatika Kominfo, mengundurkan diri. Katanya, keputusannya adalah bentuk tanggung jawab moral atas insiden yang bikin kacau layanan publik itu.
4. Wajib Install PeduliLindungi!
Ingat nggak kamu, waktu pandemi COVID-19 lagi menyerang Indonesia tahun 2021 dulu, kita disarankan buat menginstall sebuah aplikasi bikinan pemerintah, biar kegiatan sehari-hari aman terkendali. Namanya PeduliLindungi.
Lagi-lagi, sudah pasti tujuannya baik. Untuk pelacakan dan skrining status COVID-19, juga menyediakan berbagai informasi terkait virus itu di satu aplikasi. Tapi pas makin banyak yang install, banyak juga masalah yang datang menyertai.
PeduliLindungi mengumpulkan berbagai informasi pengguna, seperti nama, nomor KTP, status vaksinasi, lokasi, dan durasi berada di suatu tempat, yang disimpan di server mereka.
Waktu itu, buat masuk ke ruang publik, pengguna perlu scan kode QR lewat aplikasi ini, atau ngasih tunjuk sertifikat vaksinasi manual. Kalau nggak, bakal sulit dapat pelayanan baik.
Forum Tata Kelola Internet Indonesia (ID-IGF) juga mencatat 15 isu besar soal keamanan aplikasi ini. Di antaranya aplikasi ini kurang bisa menjamin akses layanan yang stabil, datanya kurang akurat dan aman. Sering hang karena banyak yang akses, dan masalah teknis lain kayak kegagalan OTP, kesalahan data penerima vaksin, dan lama penerbitan sertifikat vaksin. Pengguna juga sering diminta untuk login ulang dan memasukkan NIK setiap kali menggunakan aplikasi. Repot.
Setelah banyak huru-hara dan pandemi mulai mereda, pemerintah akhirnya mengganti aplikasi PeduliLindungi dengan aplikasi baru bernama Satu Sehat Mobile, yang diluncurkan pada Rabu, 1 Maret 2023.
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono bilang kalau Satu Sehat Mobile bisa bikin pelaporan kesehatan lebih efisien. Aplikasi baru ini juga untuk mengintegrasikan semua data rekam medis pasien dari berbagai fasilitas kesehatan dalam satu platform, Indonesia Health Services.
5. Samsat (Eror) Digital
Signal (Samsat Digital Nasional), satu dari sekian banyak digitalisasi pelayanan publik. Dirilis bulan Agustus 2021 untuk memudahkan masyarakat mengurus pengesahan STNK tahunan, pembayaran pajak kendaraan bermotor (PKB), dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ) secara online, nggak perlu antre panjang di kantor Samsat.
Signal adalah hasil kolaborasi Polri, Kementerian Dalam Negeri, PT Jasa Raharja, dan PT Beta Pasifik Indonesia sebagai pengembang. Rasanya menyenangkan dan nggak buang-buang waktu kalau bisa mengurus perpanjangan STNK secara digital.
Tapi, beberapa bulan setelah diluncurkan, mulai muncul masalah yang bikin pengguna gelisah. Banyak yang gagal registrasi atau menyelesaikan proses pengesahan STNK.
Data dari Korlantas Polri sendiri di tahun itu, ada 36.531 orang yang mengunduh Signal selama masa pengujian. Sayangnya, nggak semua berhasil melakukan transaksi dengan mulus. Ada masalah di beberapa tahapan penting, contohnya verifikasi e-KTP yang gagal, penambahan kendaraan gagal, dan pengesahan STNK gagal. Yang berhasil banyak juga sih, tapi mereka siap evaluasi.
Kombes Pol M. Taslim Chairuddin dari Ditregident Korlantas Polri bilang kalau kegagalan transaksi ini bukan karena sistemnya lemah. Menurutnya, banyak faktor lain seperti salah prosedur saat pakai aplikasi atau mencoba transaksi sebelum jatuh tempo. Ada juga yang akhirnya berhasil setelah coba berkali-kali.
“Setelah dipelajari, banyak kegagalan itu bukan berarti sistemnya error, tapi karena pengguna yang nggak paham cara pakainya,” kata Taslim.
Oktober 2021, Signal juga sempat hilang dari Play Store. Aplikasi yang terkoneksi langsung dengan Polri, Bapenda, dan Dukcapil ini mendadak nggak bisa diunduh. Tapi katanya, masalah itu karena ada lonjakan pengunduh yang mencapai lebih dari 140 ribu dalam waktu empat, Google jadi curiga.
Lama berselang, belakangan pengguna Signal dibuat pusing lagi. Sejak akhir Desember 2024 sampai awal Januari 2025, aplikasi ini sering error. Di laman Facebook resmi Signal, Samsat Digital, banyak warganet curhat soal kegagalan akses. Padahal masa penutupan layanan resmi yang diumumkan sudah lewat. Sebelumnya, Signal sempat memberi tahu kalau layanan akan tutup pada 30 Desember 2024 sampai 2 Januari 2025 untuk DKI Jakarta. Di daerah lain, penutupan sampai 5 Januari 2025.
Tapi selama layanan digital macet, Samsat konvensional justru berjalan normal. Antrean di Samsat dengan berkas fotokopi dan tulis tangan manual masih menumpuk. Jadi pengguna tinggal pilih: akses aplikasi di rumah tapi sabar menghadapi eror, atau datang ke Samsat tapi sabar antre.