Ada banyak konten yang membahas soal konten, daripada konten konvensional itu sendiri. Contohnya game streaming, video reaksi, teori bikin konten, analisis, dan banyak lagi. Semua itu adalah konten yang bahasannya tentang konten, atau istilahnya para-konten.
4 Desember 2023, Rockstar Games merilis trailer Grand Theft Auto VI yang sangat ditunggu-tunggu para fans. Dalam 24 jam, video yang tayang di youtube resmi mereka ditonton lebih dari 93 juta kali. Tapi dalam waktu 24 yang sama, para-konten tentang konten video trailer GTA 6 itu ditonton 2x lipat lebih banyak daripada konten aslinya, jumlahnya sampai 192 juta views.
Para-Konten Bukan Hal Baru
Para-konten ini sebenarnya bukan hal baru. Sudah dari dulu manusia terbiasa bikin interpretasi atas sebuah karya, contohnya di agama. Satu konten ayat kitab suci bisa dibahas tuntas sampai jadi buku ratusan lembar. Itupun kadang masih disanggah oleh interpretasi lain yang juga diterbitkan dalam bentuk buku yang berbeda.
Kumpulan interpretasi turunan dari warga non-penerima nubuat itu umumnya berisi penjelasan. Isinya ngasih perspektif baru, wawasan dan pemahaman lebih dalam, serta tentunya bahan diskusi. Dan faktanya, nggak cuma satu-dua cendekiawan yang ngulik ayat suci sampai bikin pembahasan tersendiri. Jumlahnya ratusan, bahkan mungkin ribuan.
Sementara itu, berapa jumlah ayat di kitab suci? Pastinya setiap kitab punya angka yang berbeda. Tapi kalau satu ayat saja bisa dibahas sama 100 orang, gimana seribu ayat? Belum lagi pembahasan turunan, sanggahan, sampai ulasannya. Inipun baru satu agama, belum semua yang konon jumlahnya sampai 4 ribu-an itu.
Sebuah perusahaan media dan berita yang dulunya fokus di ranah visual cetak dan daring, mencoba kancah baru dalam produksi konten. Mereka mengembangkan jenis konten baru, yakni video perbincangan berdurasi kurang dari satu jam. Di mana, video itu membahas konten berita mereka sendiri, baik yang sudah terbit secara cetak maupun website.
Belakangan, siniar bertema politik itu terbilang sukses, kontennya terasa lebih seru daripada baca tulisan. Ngasih analisis dan bocoran informasi tambahan, spekulasi atau tafsir soal peristiwa dibahas. Ini bikin penonton dapat konteks dan sudut pandang tertentu yang mungkin nggak diperoleh dari konten asli yang bentuknya tulisan. Jadi, kalau nurut konsep Horizon of Expectation dari cendekiawan Jerman, Hans Robert Jauss, konten siniar itu bikin audiens lebih terbantu dalam memahami isu-isu politik.
Para-Konten yang Fenomenal
Tahun 2024, tim Youtube Culture & Trends kerjasama dengan Fandom Institute dan SmithGeiger. Mereka bikin studi soal gimana gaya ngefans seseorang sekarang sudah berubah. Kalau dulu fans cuma jadi objek pemasaran, sekarang mereka juga bisa jadi pemasar dengan cara bikin konten atau jadi konten kreator.
Dalam laporannya, mereka nulis, “Dalam beberapa tahun terakhir, pergeseran teknologi dalam pembuatan video berdurasi pendek dan AI generatif telah memberi penggemar lebih banyak cara – dan semakin kreatif – untuk berpartisipasi dalam fandom mereka. Partisipasi tersebut, dengan berbagai tingkat komitmen dan keterlibatan, telah menyebabkan stratifikasi fandom. Penggemar biasa mungkin hanya mengonsumsi media, tetapi penggemar berat secara rutin membuat media tentang objek fandom mereka, dan sering kali menghabiskan uang untuk itu. Singkatnya, semakin besar penggemar, semakin banyak konten yang mungkin mereka konsumsi dan buat.”
Kreator di Youtube, kayak @AllySheehan punya channel yang dia dedikasikan khusus buat Taylor Swift. Baik bahas soal lirik, cerita si idola, esai video, sampai tutorial gelang persahabatan Swiftie (sebutan buat fans Taylor Swift). Ally Sheehan ini pasti seorang penggemar berat, sehingga tahu konten apa yang ingin ditonton para fans. Dengan niche spesifik semacam ini, Ally boleh disebut sebagai promotor layer kedua dari Taylor Swift. Konten-kontennya bisa bikin orang awam mulai tertarik sama Taylor Swift, atau bikin fans baru naik kelas jadi fans berat.
Fenomena ini nunjukin kalau sekarang adalah eranya para-konten. Konten tentang konten sudah jadi bagian dari budaya digital saat ini. Bahkan dari data YouTube Fandom Survey 2024, kita bisa tahu kalau 66% Gen Z di Amerika Serikat lebih sering nonton konten yang membahas sesuatu dibandingkan menikmati kontennya langsung.
Contoh Sukses Para-Konten
Selain di ranah fandom, fenomena yang sama juga lagi hype di kultur pop secara lebih luas. Para-konten, kayak video reaksi, analisis dan teori dari fans bikin orang awam dapat perspektif baru tentang sesuatu. Misalnya di kancah permusikan Indonesia, waktu kreator instagram, @itsjmaine bikin video perbandingan dua lagu, yakni “Bul Bul Efendi”-nya Benyamin Sueb dan “Gimme! Gimme! Gimme!”-nya ABBA.
Dua lagu yang punya elemen mirip itu secara sukses ngasih konteks baru buat pemirsa yang memicu diskusi.
Banyak yang penasaran dan mulai bertanya-tanya, “Lagu mana yang duluan rilis?” atau bahkan “Apa ada unsur plagiarisme?” Ditambah dengan sentimen nasionalisme khas netizen Indonesia yang selalu haus kebanggaan lokal, video ini pun semakin viral. Uniknya, para-content semacam ini seringnya nggak berhenti di satu video saja.
Dalam beberapa waktu ke depan, diskusi yang muncul dari video tersebut melahirkan berbagai konten turunan, baik berupa reaksi, analisis lebih dalam, sampai debat di media sosial. Itu salah satu contoh gimana para-konten (konten video perbandingan @itsjmaine) bisa lebih populer dari konten aslinya (lagu Benyamin Sueb & ABBA).”
Di ranah hip hop, video reaksi mendengarkan lagu baru juga sering jadi penentu, apakah sebuah lagu akan sukses atau tenggelam. YouTuber yang bereaksi dengan ekspresi heboh berperan sebagai “pemandu” buat pemirsa dalam menilai, bagian mana yang paling menarik dari sebuah lagu.
Misalnya waktu momen “Mustard” dalam lagu “TV Off” milik Kendrick Lamar dapat banyak reaksi di TikTok. Seakan ngasih validasi bahwa bagian itulah yang jadi momen penting dalam trek ke-7 dari album GNX yang rilis 2024 lalu.
Konten Kreator = Pembawa Konteks
Dulu, peran ini dimainkan oleh radio DJ. Salah satu contohnya waktu DJ Funk Flex dari Radio New York City’s Hot 97, pertama kali mutar “Otis” dari JAY-Z dan Kanye West pada 2011. Dengan efek suara, teriakan, dan hype lebay, Funk Flex sebenarnya lagi menginterpretasi lagu itu, yang bisa jadi bahan buat pendengar sebelum mulai menikmatinya.
Di konteks lokal, peran yang sama dulu pernah dimainkan DJ radio dan VJ MTV. Mereka sering ngasih hype di lagu-lagu tertentu dengan cara mereka sendiri. Entah lewat komentar lucu, trivia, atau sekadar ekspresi kegembiraan yang nggak sadar menular ke pemirsa.
Salah satu contoh yang mirip dengan Funk Flex adalah waktu sekitar 200 radio di Indonesia mutar “Separuh Aku” dari Noah di hari perilisannya, 3 Agustus 2012. Selain sebarannya yang masif, single ini disetel dengan energi tambahan, berupa aneka komentar antusias dan ekspresi dari para penyiar. Ini secara nggak langsung ngasih persepsi ke pendengar bahwa lagu di album pertama Noah itu adalah sesuatu yang besar dan layak disimak.
Lain dulu lain sekarang. Kini, peran semacam itu bergeser ke para konten kreator di media sosial. Selain bikin konten, mereka juga jadi pemberi konteks alias “contextualizers“. Misalnya, @haloterong, baik secara personal maupun di @indomusikgram. Konten kreator Instagram ini sering mengulas lagu baru, aksi panggung, teknis, sampai soal-soal lain yang berkaitan sama musik, yang kemudian jadi rujukan. Misal ada orang yang nggak tahu si kreator ini lagi bahas lagu apa, dia mulai tertarik mencari dan mendengarkannya, biar tahu konteksnya.
Memang Membantu, Tapi…
Fenomena para-konten yang menjamur ini cukup jadi bukti bahwa reception theory-nya Stuart Hall memang benar relevan. Makna sebuah lagu, film, buku, atau peristiwa nggak lagi cuma bisa ditentukan sama pembuatnya, tapi juga gimana audiens menerimanya.
Ini juga nggak baru-baru amat, di awal tulisan ini sudah disebutkan contoh masa lalunya di kitab agama. Dari dulu, baik itu kitab suci, sastra, maupun karya seni—sudah ditafsirkan sama institusi dengan otoritas tertentu, kayak cendekiawan, pemuka agama, kritikus, media, atau DJ radio, yang kemudian ngasih cara pandang baru bagi audiens yang mengonsumsinya.
Cuma bedanya, kalau dulu orang lebih dulu nyari konten asli sebelum nyari ulasan, sekarang fenomenanya jadi kebalik. Orang sekarang banyak yang lebih dulu nemu video reaksi sebelum tahu konten aslinya, baru mutusin apakah mereka akan ngulik konten aslinya itu atau nggak.
Bedanya lagi, kalau dulu ada pengendali makna (institusi yang punya otoritas), sekarang jadi lebih bebas karena adanya media sosial. Sekarang, setiap orang yang mau jadi konten kreator bisa ikutan jadi pengendali interpretasi. Penonton yang pasif jadi punya lebih banyak perspektif, soalnya dapat asupan makna dari banyak kreator, sesuai konteksnya masing-masing.
Cuma ya gitu, kebebasan ini juga bisa bikin orang cenderung kurang berani mandiri dalam menafsir sesuatu. Butuh validasi terlebih dulu sebelum menentukan interpretasi sendiri. Setelah mencari-cari validasi dan nemu pendapat mayoritas yang lebih dominan, bisa jadi malah meragukan pandangannya sendiri, bahkan menghapusnya, sehingga jadinya nggak mandiri lagi.
Tapi untungnya, tulisan ini masih relatif independen. Meskipun idenya diadaptasi dari tulisan Ruby Justice Thelot, yang versi aslinya bisa dibaca di laman Substack berikut ini.
Cuma ya gitu, kalau para-konten itu konten yang bahas tentang konten. Lalu apa istilah buat konten yang bahas konten tentang para-konten? Para-para-konten?