Pas lagi doomscrolling, dua-tiga hari belakangan. Entah kenapa perhatian saya fokus ke konten-konten yang bahas soal program makan bergizi gratis. Program populis Mr. Prabski itu cukup banyak dikritik lantaran, salah satunya karena menunya dianggap sad food.
Buat yang belum tahu, sad food, makanan menyedihkan itu kira-kira maksudnya yang kayak gini:
- Makanan yang dijual tapi wujud aslinya nggak sesuai di foto/iklan, atau porsinya nggak sepadan sama harganya.
- Bikinan sendiri pakai bahan-bahan terbatas atau alakadarnya.
- Makanan yang tampilannya nggak estetik, sehingga bikin nggak nafsu makan
- Sebaliknya, wujud aslinya bagus, sesuai foto, dan porsinya pas, tapi rasanya mengkhianati alias jauh di luar ekspektasi.
Kesimpulan itu bisa salah atau benar. Tapi sebenarnya yang mau dibahas di sini bukannya sad food, melainkan gratitude.
Balik ke soal doomscrolling konten makan bergizi gratis. Program ini sebenarnya ditanggapi macam-macam oleh warga +62. Ada yang muji-muji, ada juga yang mengkritisi.
Pujiannya seputar inisiatif pemerintah yang komit kalau mereka mau mengatasi masalah malnutrisi dan stunting. Sementara, kritikannya adalah soal kualitas dan porsi makanan yang dinilai kurang memadai buat mengatasi malnutrisi dan stunting.
Tapi, respons kritis yang kayak gitu direspons beda lagi sama sebagian warga lainnya. Ada perspektif khas Indon ‘religius’ yang menilai kalau hal itu adalah bentuk rasa kurang bersyukur.
Syukur Memang Penting
Memang, semua agama mendorong pemeluknya untuk mengembangkan sikap bersyukur. Bahkan sebelum manusia dapat informasi itu dari ajaran agama, rasa syukur ternyata sudah mengakar dalam sejarah evolusi, otak, DNA, dan berbagai perkembangannya. Dikutip dari paper “The Science of Gratitude” oleh Summer Allen, Ph.D., terbitan Greater Good Science Center, University of California, Berkeley.
Bahkan hewan, kayak ikan, burung, dan kelelawar punya perilaku “altruisme timbal balik”—saling bantu antara sesama spesies, meskipun ada yang perlu dikorbankan dari dirinya sendiri. Ini naluriah, dan alaminya mereka juga tahu kalau kebaikan mereka akan terbalas lain waktu. Menurut ilmuwan, kecenderungan perilaku balas budi para hewan ini adalah ekspresi rasa syukur.
Menurut filsuf Romawi, Cicero, rasa syukur “bukan hanya yang terbesar, tetapi juga induk dari semua kebajikan lainnya yang tersisa.” Sementara Seneca yang sama stoik-nya dengan Cicero, bilang kalau orang yang tidak tahu terima kasih kedudukannya ada di bawah pencuri, pemerkosa, dan pezina.
Sementara pendapat yang lebih modern, David Hume menulis, “Dari semua kejahatan yang dapat dilakukan oleh manusia, yang paling mengerikan dan tidak wajar adalah rasa tidak berterima kasih.” Dan Adam Smith juga percaya bahwa rasa syukur sangat penting untuk mempertahankan masyarakat yang didasarkan pada niat baik.
Manfaat Syukur juga Bagus
Masih dari paper yang sama. Robert Zahn, Jorge Moll, Mirella Paiva, Griselda Garrido, Frank Krueger, Edward D. Huey, dan Jordan Grafman tahun 2009, sempat ngulik tentang gimana situasi otak waktu memproses dan mengungkapkan rasa syukur. Mereka pakai tes mirip MRI, lalu nemu kalau bagian otak yang namanya area mesolimbik dan basal forebrain jadi aktif saat seseorang bersyukur.
Area mesolimbik merupakan jalur dopamin yang memproses rasa penghargaan, seperti puas, syukur, atau bahagia. Sementara basal forebrain mengatur informasi positif dan membentuk ikatan sosial.
Rasa syukur ternyata nggak cuma soal emosi, tapi juga ngasih pengaruh besar ke cara otak kita bekerja, terutama soal memahami orang lain. Penelitian Zahn, Garrido, Moll, dan Grafman (2014) nemuin kalau orang yang sering merasakan syukur punya lebih banyak materi abu-abu di korteks temporal inferior kanan, bagian otak yang bantu seseorang paham niat/maksud orang lain. Jadi, rasa syukur ini bisa meng-upgrade kemampuan manusia saling memahami.
Di penelitian lain, beberapa orang diminta membayangkan dirinya sedang jadi korban holocaust yang dikasih bantuan, kayak makanan atau perlindungan. Hasilnya? Di situasi sulit, orang yang merasa lebih bersyukur nunjukin aktivitas otak lebih tinggi di medial prefrontal cortex (PFC) dan anterior cingulate cortex (ACC). Dua area ini berperan dalam moralitas, empati, juga rasa penghargaan.
Baik Buat Individu Maupun Sosial
Intinya, rasa syukur nggak cuma bikin kita lebih sadar sama niat baik orang lain, tapi juga bikin otak kita lebih “terlatih” dalam memahami moralitas dan empati. Plus, rasa syukur ini kayak punya efek snowball—semakin sering kita merasakannya, semakin kuat pengaruhnya, bahkan ke cara otak kita memproses dunia di sekitar.
Jadi nggak heran, kalau rasa syukur ternyata juga berhubungan sama sifat altruistik, alias kecenderungan buat peduli sama orang lain. Penelitian dari Karns, Moore, dan Mayr (2017) nemu hal menarik.
Bagian otak, ventromedial prefrontal cortex (VMPFC) lebih aktif, pada partisipan yang bersyukur pas berdonasi dan tahu kalau donasi mereka bakal membantu orang lain.VMPFC ini semacam “pusat pengambilan keputusan emosional”, jadi wajar kalau aktif pas ada momen yang bikin hati tersentuh.
Aktivitas di VMPFC malah lebih kuat lagi pada partisipan yang punya kebiasaan sederhana, mencatat hal-hal yang disyukuri selama tiga minggu berturut-turut. Langkah simpel semacam itu ternyata bisa “melatih” otak untuk lebih menikmati kebahagiaan orang lain, dan akhirnya bikin kita jadi lebih prososial sekaligus dermawan.
Ungkapan Syukur
Anak kecil biasanya nunjukin rasa syukur secara konkret, misalnya dengan ngasih hadiah ke orang sudah baik sama mereka. Sementara anak yang lebih tua lebih sering lewat kata-kata, “terima kasih” (Baumgarten-Tramer, 1938). Tapi itu nggak fix, karena ada faktor lain yang juga bisa memengaruhi ekspresi dan syukur, kayak peran orang tua dan budaya sekitar. (Wang, Wang, & Tudge, 2015).
Anak-anak mulai ngerti rasa syukur sekitar usia lima tahun, meskipun pemahamannya masih sesimpel, senang ketika dikasih jajan oleh temannya. Anak usia 3-4 tahun yang sudah paham emosi atau niat orang lain, bisanya lebih cepat mengerti maksudnya konsep syukur (Nelson, 2023). Tapi, pastinya hal itu juga berkembang seiring pertambahan usia.
Meskipun rasa syukur udah muncul sejak kecil, bentuk dan intensitasnya dipengaruhi banyak hal. Dari perkembangan otak, interaksi sosial, sampai ajaran tentang syukur yang diberikan. Rasa syukur dan ekspresinya emang muncul dan berkembang dengan sendirinya. Tapi seiring tambah usia, gimana cara kita menanam dan merawatnya juga nggak kalah penting.
Menurut studi Graham (1988), anak kecil mungkin nggak terlalu peduli sama niat orang yang baik ke mereka, beda dengan anak yang lebih tua. Kalau anak sudah punya pemahaman lebih, mereka bisa merasa kurang bersyukur kalau tahu ada maksud tersembunyi di balik kebaikan yang sudah diperoleh.
Itu baru anak-anak, sebelum kena asupan nilai, pengetahuan, dan pemahaman baru seiring tambah dewasa, yang bisa mengubah pandangan hidup mereka. Nah, gimana kalau pada dewasa, plus diterapkan ke situasi yang lebih kompleks.
Misalnya, Soal Sadfood Tadi
Sekarang kita juga sudah bisa lihat gimana masyarakat merespons program makan gratis yang dinilai nggak sesuai ekspektasi. Karena nggak sesuai ekspektasi, maka muncul nada-nada kritis.
Tapi, “Sudah bagus dikasih makan gratis. Bukannya bersyukur malah ngeluh.”
Kritik soal kualitas makanan itu sebenarnya wajar banget. Soalnya ini tentang program pemerintah yang tujuannya sangat mulia, sehingga harapan masyarakat pun meninggi. Lha, kalau menunya saja dinilai kurang memadai, bahkan cenderung sad food, apa benar bakal bisa memperbaiki gizi?
Mmm. Tapi kak, mengkritik dan bersyukur itu bukan hal yang bertentangan, sih. Orang kritis belum tentu kurang syukur, dan sebaliknya yang nggak kritis pun belum tentu bersyukur juga. Lagian, yang kritis rata-rata juga orang dewasa, masyarakat yang nggak nerima manfaat program secara langsung, kecuali mungkin buat anak-anak terdekat mereka.
Kalaupun ada anak penerima makan gratis sampai bilang, “Rasanya aneh,” nggak mau makan, atau makan nggak sampai habis. Lalu dicap: kurang bersyukur, perlu diajari bersyukur, orang tuanya tidak membiasakan bersyukur, dan lain-lain yang senada. Kok, kayaknya itu terlalu dini dan kurang bijak.
Padahal, reaksi jujur dari anak-anak harusnya bisa jadi masukan valid buat meningkatan kinerja program. Kritikan harusnya juga bisa dinilai sebagai bentuk masyarakat mau terlibat, demi memastikan program berjalan lebih baik.
Gampangnya kayak atap rumah kena hujan deras dan bocor. Penyebabnya bisa genteng retak atau melorot, saluran air mampet, atau rangka atapnya yang lapuk. Kalau ternyata masalahnya ketemu, yaitu misalnya karena genteng kurang berkualitas sehingga gampang pecah. Kok, ya nggak nyambung kalau dibilang kurang bersyukur.
Masalahnya kalau cap “kurang bersyukur” ini memang cuma jadi ujaran buat mentahin pendapat orang lain, nutup ruang diskusi yang sehat. Kritik yang maksudnya membangun malah dianggap sebuah serangan, ajakan debat. Akhirnya, nggak ada yang ngomongin kualitas program, padahal intinya di situ.
Lagian meski sudah bersyukur pun, bukan berarti program itu nggak butuh evaluasi.
Kritis dan syukur bisa jalan bareng, kok. Anak-anak—mungkin orang tuanya juga—masih bisa diajari bersyukur dan menghargai pemberian, sambil tetap membuka peluang perbaikan soal kualitas makanan. Soalnya, ini program kan tujuannya buat perbaikan gizi dan mengatasi stunting. Jadi, akan lebih baik kalau pelaksanaannya dipastikan bagus di lapangan, bukan cuma di atas kertas.