“Asli, gue beneran ga tau ada lagu itu, tapi setelah dibungkam jadi tau.” – netizen X.
Alkisah di suatu negeri yang katanya demokrasi, bebas berpendapat dan bersuara, sepasang musisi tiba-tiba bikin video klarifikasi, mau menghapus mahakaryanya karena disebut terlalu mengkritik polisi.
Kejadian itu bikin netizen marah. Lagunya justru malah disebarluaskan. Dinyanyikan di demo-demo, langsung di depan aparat kepolisian. Dalam satu malam, musisi itu dibanjiri dukungan. Yang nggak tahu, jadi tahu. Yang berusaha menutupi, jadi kena hujat sendiri.
Fenomena ini contoh real dari Streisand Effect. Ketika usaha menyensor, menyembunyikan, atau mengalihkan perhatian dari sesuatu justru bikin orang makin penasaran dan menyebarluaskannya. Alih-alih tenggelam, informasi yang mau ditutup-tutupi malah makin viral.
Asal Muasal Streisand Effect
Efek Streisand muncul dari kasus legend yang melibatkan penyanyi dan aktris Barbra Streisand. Ceritanya, tahun 2003, seorang fotografer bernama Kenneth Adelman mengunggah ribuan foto garis pantai California sebagai bagian dari proyek dokumentasi lingkungan. Dari belasan ribu foto itu, salah satunya menampilkan rumah mewah Streisand di tepi pantai.
Streisand yang udah punya pengalaman nggak enak dengan penguntit merasa foto itu bisa membahayakan privasinya. Jadi, dia langsung menggugat Adelman 50 juta dolar AS, menuduhnya melanggar privasi dengan menyebarkan foto rumahnya.
Tapi, sebelum gugatan itu, foto rumahnya cuma diunduh enam kali—dua di antaranya malah oleh pengacaranya sendiri.
Setelah kasus ini mencuat, media langsung heboh, netizen kepo, dan akhirnya foto itu malah dilihat lebih dari 400.000 kali dalam sebulan. Bahkan, makin banyak orang yang reupload di berbagai situs.
Usaha Streisand buat menghapus foto itu malah bikin seluruh dunia tahu soal keberadaan rumahnya. Streisand akhirnya kalah di pengadilan dan harus bayar biaya hukum Adelman. Sementara fotonya masih bisa diakses dengan bebas di internet sampai sekarang.
Istilah ini baru benar-benar dipopulerkan dua tahun setelah kasus Barbra Streisand, tepatnya pada 2005, lewat sebuah postingan blog di Techdirt oleh Mike Masnick.
Waktu itu, sebuah hotel di Florida, Marco Beach Ocean Resort, berusaha menghapus postingan di sebuah situs bernama Urinal.net. Hotel itu nggak mau urinoir mereka jadi bahan obrolan online.
Tapi begitu mereka melayangkan peringatan hukum, netizen malah jadi penasaran dan bikin info tentang urinoir itu makin menyebar. Di akhir tulisannya, Masnick nyeletuk “Berapa lama sampai para pengacara sadar kalau usaha mereka buat menekan sesuatu di internet malah bikin hal itu makin tersebar? Sebut saja ini Efek Streisand.”
Sejak saat itu, istilah ini jadi populer buat menggambarkan fenomena di mana usaha untuk menutupi sesuatu malah bikin hal itu makin tersebar luas.
Sebenarnya, fenomena kayak gini udah ada jauh sebelum kasus Barbra Streisand muncul. Bahkan, dalam budaya Tiongkok ada ungkapan yù gài mí zhāng, yang kalau diterjemahin secara bebas artinya kurang lebih, “Makin ditutup-tutupi, makin kelihatan jelas.”
Tapi, era internet bikin efek ini jadi makin sering kejadian. Cara R. Stewart, CEO Altalunas International, bilang kalau kekhawatiran yang ditangani dengan cara salah malah akan jadi bumerang.
Dampaknya juga bisa lebih serius. Menurut Carly Dober, psikolog sekaligus pendiri Enriching Lives Psychology, upaya penyensoran yang ketahuan publik bisa bikin orang kehilangan kepercayaan pada institusi atau otoritas yang melakukan sensor.
“Ketika orang tahu ada sesuatu yang sengaja disembunyikan, mereka jadi curiga dan mulai mencari sumber lain. Masalahnya, nggak semua sumber alternatif itu bisa diandalkan atau akurat,” katanya.
Para ahli mencatat kalau sensor sering kali berujung sebaliknya. Terutama kalau publik melihat ada pihak berkuasa yang menekan kebebasan berekspresi. Responsnya akan berujung kemarahan, solidaritas, dan rasa ingin tahu.
Contoh kasus Streisand Effect lainnya ada banyak. Waktu Super Bowl 2013, Beyoncé tampil luar biasa di halftime show. Tapi ada beberapa foto yang, menurut humasnya, kurang menarik. Mereka lalu minta Buzzfeed buat hapus foto-foto itu. Tapi alih-alih hilang, Buzzfeed malah nulis artikel baru berjudul “Foto-Foto Tidak Menarik yang Tidak Diinginkan Humas Beyoncé untuk Anda Lihat”. Wkwkwk akhirnya foto-foto itu malah jadi meme dan berseliweran di internet selama berbulan-bulan.
Tahun 2012, Pengadilan Tinggi Inggris nyuruh lima penyedia layanan internet buat memblokir The Pirate Bay, situs yang dikenal buat download bajakan. Gara-gara berita pemblokiran ini ramai di media, situs ini justru kebanjiran lebih dari 12 juta pengunjung baru. Jadi makin terkenal.
Terus di 2013, badan intelijen Prancis, DCRI, kepanasan gara-gara ada artikel Wikipedia soal pangkalan militer Pierre-sur-Haute yang dianggap terlalu rahasia. Mereka minta artikel itu dihapus, tapi Wikimedia Foundation menolak karena gak ada bukti jelas. Nyerah? Enggak.
DCRI malah nge-pressure salah satu editor Wikipedia buat ngapus artikel itu atau bakal kena penangkapan. Ya artikel itu justru diunggah lagi oleh relawan lain dan malah jadi salah satu yang paling banyak dikunjungi di Wikipedia Prancis.
Lagi, tahun 2024, Yayasan Departemen Kepolisian Los Angeles (LAPD) tiba-tiba kepikiran buat ngeklaim hak cipta atas tulisan “LAPD” setelah ada kaus dari Cola Corporation bertuliskan “F** the LAPD”* yang dijual bebas. Sayangnya, klaim itu gagal total. Nggak jadi dihentikan, kaus itu akhirnya laris manis dan langsung sold out. See.. Efek Streisand itu nyata.
Kenapa Streisand Effect Bisa Terjadi?
Efek Streisand nggak muncul karena kebetulan. Ada faktor psikologis yang bikin fenomena ini terus berulang.
Pertama, pada dasarnya manusia itu kepo. Begitu tahu ada sesuatu yang disembunyikan atau dilarang, apalagi kalau yang melarang itu sosok terkenal atau berkuasa, orang langsung penasaran.
Ini adalah naluri dasar manusia buat cari tahu hal yang dianggap terlarang atau dibatasi. Justru karena nggak boleh, jadi makin pengin tahu.
Kedua, ada reaksi psikologis. Ketika akses informasi tiba-tiba ditutup, otak otomatis ngerasa perlu melawan dan menegaskan hak buat tahu.
Semakin orang merasa informasi itu ditahan dari mereka, semakin besar keinginan mereka buat mendapatkannya. Ini semacam dorongan pembangkangan alami, buat memulihkan kebebasan memilih.
Nah, di era kayak sekarang, faktor utama Efek Streisand ya karena solidaritas internet. Begitu orang sadar ada upaya buat membungkam sesuatu, mereka langsung gercep menyebarkan info itu sebagai bentuk perlawanan. Ada perasaan kolektif bahwa menentang pembungkaman itu penting, dan internet bikin orang cepet beraksi bareng-bareng.
Efek Streisand Effect
Buat individu, ini bisa jadi bencana reputasi. Bayangkan bertahun-tahun membangun citra baik, lalu dalam sekejap semua orang malah fokus ke satu hal yang coba kamu tutupi. Fenomena ini bisa bikin seseorang kehilangan kepercayaan publik.
Sementara buat organisasi atau brand, Efek Streisand bisa bikin kepercayaan pelanggan dan investor goyah. Intinya, semakin keras berusaha menyembunyikan sesuatu, semakin banyak orang yang ingin tahu. Dan kalau sudah terlanjur viral, malah butuh waktu lama lagi buat memulihkan reputasi.
Secara sosial, fenomena ini justru memperkuat kebebasan berbicara. Upaya sensor yang gagal malah membuka diskusi lebih luas soal isu-isu penting.
“Fenomena ini bisa jadi pemicu kesadaran publik dan menumbuhkan nilai-nilai demokrasi,” kata Carly Dober.
Artinya, meskipun niat awalnya mau meredam suatu informasi, yang terjadi justru kebalikannya: orang jadi makin sadar dan peduli.
Internet dan media sosial nggak pernah tidur ya sobat. Informasi yang coba ditutup-tutupi justru bisa menyebar lebih cepat dari dugaan.
Daripada menghapus jejak, kayaknya better bersikap terbuka dan mengakui kesalahan. Karena pada akhirnya, di era digital, transparansi lebih dihargai ketimbang drama penyensoran, pembungkaman, pembredelan, dan apalah itu istilahnya yang malah bikin penasaran.