Ekspresi seniman memang macam-macam. Ada yang religius ada yang vulgar, ada juga yang kritis dan suka eksplorasi masalah personal. Di dunia permusikan, sudah banyak musisi yang menelurkan karya-karya bertema sosial politik yang kemudian dicap kontroversial.
Lirik-lirik kritis yang tajam, nggak jarang bikin pihak-pihak tertentu jadi ketakutan. Sebagian pihak pun kepanasan, sampai menindaknya dengan cara mencekal, bahkan menghapusnya dari peredaran, seperti beberapa lagu berikut ini.
Strange Fruits – Billie Holiday
Lagu ini hasil adaptasi dari puisi “Bitter Fruit” karya Abel Meeropol, seorang Yahudi anggota Partai Komunis Amerika. Puisinya sendiri pertama dibuat tahun 1937, lalu dibikin jadi lagu oleh Billie Holiday yang merilisnya dua tahun kemudian.
“Strange Fruits” mengungkap brutalnya rasisme di Amerika Serikat masa lalu. Menggambarkan dengan jelas potret mengerikan gantungan massal orang-orang negro dengan tali yang terikat di pohon.
“Southern trees bear a strange fruit. Blood on the leaves and blood at the root. Black bodies swinging in the Southern breeze. Strange fruit hanging from the poplar trees.”
Majalah Time menobatkannya sebagai “Lagu Abad Ini” pada tahun 2011. Sementara di masa-masa dekat perilisannya, beberapa radio di wilayah selatan ogah memutarnya. Pemerintah AS yang konservatif juga mulai menindak tokoh-tokoh dunia hiburan yang dicap komunis.
Harry Anslinger, komisaris Federal Beureau of Narcotics yang rasis secara terbuka, minta Billie Holiday stop membawakan lagu tersebut. Billie menolak, lalu berujung mendekam di penjara dari 1947—1948 akibat tuduhan kasus kepemilikan narkoba.
Tapi, ujungnya “Strange Fruit” malah dapat sukses sendiri. Jadi lagu terlaris Billie Holiday dengan penjualan 1 juta kopi. Rezeki buat Commodor Records, label rekaman jazz independen yang merilisnya, setelah Columbia Records nolak karena nggak berani.
God Save The Queen – Sex Pistols
“Lagu kebangsaan” Inggris versi raw, bahkan pernah dibilang gross alias kotor atau jijik. BBC melarang pemutarannya di semua radio, begitu juga Independent Broadcasting Authority, semacam Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), tapi di Inggris.
“God Save The Queen” menghadirkan singgungan dengan otoritas yang cukup bertubi-tubi. Pertama, judulnya diambil dari lagu kebangsaan Kerajaan Inggris sendiri, negeri yang ditinggali grup band yang membawakankannya. Kedua, liriknya berisi kritik pedas pada monarki. Ketiga, sampul single yang menampilkan foto Ratu Elizabeth II, dengan mata dan mulut tertutup teks “God Save The Queen” dan “Sex Pistols”. Dan keempat, dirilis bertepatan dengan peringatan tahun perak penobatan Elizabeth II sebagai Ratu Britania Raya, tahun 1977.
Kontroversial, tapi single kedua di album tunggal Sex Pistols, Never Mind The Bollock ini justru sangat populer. Meski sejumlah toko rekaman nolak menjualnya, ternyata “God Save The Queen” bisa naik di tangga lagu Inggris, bahkan mencapai posisi ke-2, tepat di bawah “I Don’t Want To Talk About It” dari Rod Stewart.
Waktu pers nanya ke John Lydon a.k.a. Johnny Rotten, dia bilang, “It was expressing my point of view on the Monarchy in general and on anybody that begs your obligation with no thought.”
Killing In The Name – Rage Against The Machine
Debut album yang langsung menggebrak dari Rage Against The Machine, dengan trek ke-9 yang bikin band dari Los Angeles ini dapat popularitas masif. Tapi di waktu bersamaan, Killing In The Name juga kena sensor besar-besaran. Alasannya, karena liriknya dianggap kurang pantas disiarkan buat publik mainstream Amerika Serikat.
Radio-radio di beberapa negara bagian AS melarang penuh lagu itu, sementara sebagian memutar versi yang sudah disensor. Video musiknya juga nggak ditayangkan sama MTV AS. Padahal, lagu itu dibikin buat merespons peristiwa pemukulan pengendara kulit hitam oleh empat polisi LAPD, Maret 1991, yang menuai kecaman publik AS.
Dilarang di negara sendiri, justru populer di luar negeri, khususnya Eropa. BBC dan MTV Inggris sering memutarnya, meski cuma versi yang sudah disensor. Di AS, larangan itu pun berangsur-angsur melonggar. Tapi cuma sampai 9/11, waktu lagu ini dan seluruh diskografi RATM dimasukkan daftar hitam oleh Clear Channel Communication, perusahaan penyiaran terbesar di AS.
Uniknya, “Killing In The Name” yang politis itu malah jadi pemuncak tangga lagu saat Natal, pada 17 tahun setelah rilis, tahun 2009. Terjual laris dalam format digital sebanyak 500 ribu kopi lebih, masuk Buku Rekor Guinness kategori Lagu Digital Terlaris di Inggris.
F* The Police – N.W.A.
Baca judulnya saja, kamu akan tahu kalau lagu ini mengkritik habis institusi keamanan dan penegak hukum. Hampir sama dengan trek RATM yang tadi, grup rap N.W.A. bikin “F* The Police” buat memprotes brutalitas polisi dan diskriminasi ras yang sering dialami warga kulit hitam AS.
Lagu ini jadi bagian dari album Straight Outta Compton rilisan tahun 1989. Sampai sekarang, judulnya jadi slogan perlawanan di mana-mana, diadaptasi jadi karya seni, cetakan t-shirt, spanduk demo, dan lain sebagainya.
Tentu saja frasa segamblang itu kurang bisa diterima industri penyiaran. Tapi, Ice Cube, salah satu personel N.W.A. bilang meskipun lagunya nggak dapat eksposur dari radio, rekamannya itu masih bisa laku keras, sampai 1,7 juta kopi.
Kontroversi “F* The Police” cukup bikin heboh waktu itu. Lagu itu memang nggak boleh diputar di radio-radio dan TV, serta didenda 25 ribu dollar kalau N.W.A. menyanyikannya di konser. Tapi itu bikin mereka naik daun, sering nempel di koran, bahkan sampai dikirimi surat aduan oleh FBI.
Namun, sensor lebih ketat justru terjadi di luar negeri. Australian Broadcaster Corporation (ABC), atas desakan politisi dan kepolisian Australia Barat, melarang lagu itu diputar, yang direspons dengan mogok massal karyawan stasiun radio. Itu semua terjadi waktu radio muda-mudi, Tripple J, nyetel “F* The Police” terus-menerus selama 6 bulan sebelumnya, sampai 80 kali sehari.
Another Brick In The Wall (Part II) – Pink Floyd
Waktu menuliskannya, Roger Waters memang maksudnya kritis ke dunia pendidikan, tapi khusus yang kaku, kayak boarding school atau sekolah asrama. Dan pas dirilis sebagai single album fenomenal The Wall tahun 1979, “Another Brick In The Wall” memang langsung dapat kecaman. Otoritas pendidikan Inggris menyebutnya “memalukan”, sedang Perdana Menter Margaret Thatcher dikatakan benci banget sama lagu itu.
“We don’t need no, education. We don’t need no tought control.”
Penggalan lirik paling terkenal dari lagu ini, dianggap menggambarkan pemberontakan terhadap sekolah dan sistem pendidikan secara umum. Meski kontroversial dan bikin beberapa pihak tersinggung, “Another Brick In The Wall” nggak sampai di-banned di negara asalnya. Bahkan lagu ini jadi lagu pertama Pink Floyd yang bisa masuk chart di Inggris dan AS.
Larangan baru muncul waktu salah satu lagu Pink Floyd paling easy listening ini sampai ke Benua Afrika. Pada tahun 1980, “Another Brick In The Wall” berhasil menduduki puncak chart selama sekitar tiga bulan berturut-turut di Afrika Selatan, lebih lama daripada di Inggris atau AS.
Lagu ini seketika jadi anthem protes anak-anak sekolah dalam aksi boikot terhadap rezim apartheid yang berkuasa di Afsel waktu itu. Tentu saja, pemerintah setempat langsung. Pada Mei 1980, stasiun radio seluruh negeri dilarang memutar “Another Brick In The Wall”. Larangan itu berakhir sekitar 14 tahun kemudian, setelah rezim apartheid runtuh yang ditandai terpilihnya Nelson Mandela jadi presiden Afsel.
Chinese Democracy – Guns N’ Roses
Guns N’ Roses sudah nggak sepopuler tahun ’90-an waktu rilis Chinese Democracy. Lagian, itu sudah 17 tahun sejak mereka terakhir kali bikin album dobel, User Your Illusion I dan Use Your Illusion II tahun 1991. Tapi nggak nyangka, Axl Rose, yang waktu itu jadi personel asli GNR terakhir yang belum hengkang, bisa seambisius itu dengan merilis album kritis.
Album Chinese Democracy dirilis lewat Geffen Records tahun 2008. Sejak awal, baik artis maupun label sudah yakin kalau album ini nggak mungkin diterima di negara yang tertulis di judulnya. Axl Rose sendiri malah sempat bilang kalau album ini, “Menyebalkan buat pemerintah China.”
Ya memang begitu, isinya bikin Pemerintah Tiongkok tersinggung. Waktu tahu kalau ada album berjudul Chinese Democracy, Pemerintah China langsung melarang album itu beredar, baik secara fisik maupun digital. Otoritas setempat malah bilang, “Sejauh yang saya ketahui, banyak orang tidak menyukai jenis musik ini. Terlalu berisik dan gaduh,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China Qin Gang dalam jumpa pers. (Reuters)
Pemerintah China menilai album ini mengancam dengan kritikan pedasnya ke pemerintah dan Partai Komunis China. Memang, lagu-lagu seperti “Chinese Democracy” menyinggung isu-isu sensitif, seperti pelanggaran HAM, sensor media yang berlebihan, dan otoritarianisme. Cuma anehnya, Use Your Illusion I dan II yang penuh konten kekerasan, umpatan, dan seksualitas, justru lolos pencekalan dan bebas beredar.
Glory To Hong Kong – Thomas DGX and The Hong Kong People
Lagu ini ditulis oleh musisi yang pakai nama samaran, dengan bantuan kolektif warganet Hong Kong dalam situs LIHKG yang kayak Reddit. Judul aslinya, 願榮光歸香港 dalam bahasa Hanzi, atau Yuhn Wihnggwong Gwai Heunggong dalam bahasa Yale Kanton. Kira-kira artinya, “semoga kejayaan kembali ke Hong Kong”.
“Glory To Hong Kong” pertama kali keluar pada 31 Agustus 2019 pas di sana lagi ada demo besar-besaran menuntut pembatalan RUU Ekstradisi warga Hong Kong ke China Daratan. Lagu ini langsung jadi anthem para demonstran, dinyanyikan di setiap aksi demo. Bahkan pada suatu momen, disetel dalam acara olahraga internasional, sebagai pengganti lagu kebangsaan China.
Makanya, nggak heran kalau popularitasnya bikin pemerintah setempat kegerahan. Akhirnya, pemerintah China dan otoritas Hong Kong secara resmi melarang “Glory To Hong Kong” lewat putusan pengadilan. Lagu itu nggak boleh diputar, ditampilkan, dan dinyanyikan, juga akan diusahakan agar dihapus dari internet dan berbagai platform digital.
Larangan ini baru terbit pada Juni 2024 lalu. Setelah tuntutan Pemerintah China kalah di sidang pertama, lalu banding dan berhasil menang. Tapi, sampai artikel ini ditulis, “Glory To Hong Kong” masih bisa dengan mudah ditemukan di platform streaming dan berbagi lagu, semacam Youtube, Spotify, dan Bandcamp.
Bonus: Ini Bukan Lagunya, Tapi Negaranya yang Kontroversial
Musik dilarang biasanya terjadi karena muatan ideologi, politik, atau moral. Tapi di Republik Chechnya, lagu-lagu religi yang isinya anjuran berbudi luhur pun bisa dilarang beredar. Di sana, aturan sensornya sangat teknis, yaitu soal tempo lagu.
Sejak tahun 2023, pemerintah menetapkan semua lagu yang boleh diputar di sana temponya harus antara 80 hingga 116 beats per minute (BPM). Alasannya, biar nilai-nilai budaya dan tradisi Chechnya terjaga.
Menteri Kebudayaan Chechnya, Musa Dadayev bilang bahwa musik yang temponya di luar batas itu, bisa “mengganggu keseimbangan emosi masyarakat” dan “nggak sesuai dengan tradisi musik Chechnya”.
Kedengarannya memang absurd, tapi regulasi kayak gini jelas berpengaruh besar ke industri musik lokal Chechnya secara keseluruhan. Lembaga penyiaran harus selektif, musisi pun harus lebih kreatif bikin siasat biar nggak melanggar aturan. Jadi, mungkin akan susah nemu musik trance atau eurobeats, juga beberapa subgenre musik ekstrem, macam trash, blackmetal, atau death metal, di negara yang jadi bagian dari Republik Federasi Russia itu. Lha wong, yang nge-pop kayak “Shake It Off”-nya Taylor Swift saja nggak boleh.