Ada ungkapan yang mengatakan bahwa “uang adalah akar dari segala kejahatan”. Apa memang begitu kenyataannya?
Waktu ngomong soal uang, ada orang yang cenderung langsung mikir hal-hal negatif. Bisa soal politik dan kekuasaan, korupsi, keserakahan, atau kriminalitas. Tapi, banyak juga di antara kita yang mengira kalau uang bukanlah sumber kebahagiaan, kalau sedikit.
Balik ke soal yang pertama, apa ungkapan “uang adalah akar dari segala kejahatan” itu benar? Apa memang kenyataannya demikian?
Ternyata, bukan cuma soal punya uang atau nggak. Bahkan sekadar membahas soal uang saja bisa mengubah cara orang berpikir dan bertindak. Jadi, ungkapan di awal tulisan tadi ada benarnya.
Pada tahun 2013, empat orang profesor studi perilaku dan organisasi melakukan penelitian tentang hal itu. Mereka adalah Kristin Smith-Crowe bersama koleganya, Arthur P. Brief, Carlos Sousa, dan Maryam Kouchaki. Saat itu, penelitian dinaungi oleh Sekolah Bisnis David Eccles, Universitas Utah, Amerika Serikat.
Perlu diketahui, Kristin Smith-Crowe adalah profesor di Universitas Boston untuk studi perilaku organisasi. Arthur P. Brief juga profesor, sekaligus ketua jurusan etika bisnis di Sekolah Bisnis David Eccles. Lalu Carlos Sousa dari departemen manajemen Sekolah Bisnis David Eccles. Sedangkan Maryam Kouchaki adalah professor di sekolah manajemen Kellog, Universitas Northwestern.
Mikirin Uang Malah Bikin Curang
Penelitian empat orang profesor itu dimuat di Jurnal Organizational Behavior and Human Decision Processes, Mei 2023. Di sini, dibahas tentang bagaimana uang bisa membuat seseorang cenderung bertindak nggak etis.
Mereka meneliti beberapa orang peserta yang dibagi jadi dua kelompok. Kelompok A diberikan paparan tentang uang lewat tulisan atau gambar, sementara kelompok B tidak sama sekali.
Lalu, empat profesor tadi bikin eksperimen untuk semua kelompok peserta. Mereka diminta membaca skenario yang melibatkan perilaku nggak etis, untuk menilai kemungkinan mereka berbuat nggak etis. Berikutnya, mereka juga dilibatkan dalam skenario permainan nyata untuk membuktikan kemungkinan itu.
Hasilnya, ada perbedaan keputusan yang dibuat antara peserta kelompok A dan B. Kelompok B terbukti lebih jujur, sedangkan kelompok A bahkan sudah curang sejak dari niatnya. Jadi, kelompok peserta yang terpapar konsep uang cenderung lebih nggak etis daripada kelompok satunya.
Dari eksperimen-eksperimen itu, peneliti menyimpulkan bahwa paparan konsep uang membuat peserta berpikiran lebih sempit dalam mengambil keputusan. Mereka juga cenderung lebih mementingkan urusan pribadi daripada pertimbangan moral. Akhirnya, terlalu banyak kena asupan soal uang lebih memungkinkan orang berbuat curang.
“Kami menguji hipotesis ini melalui berbagai penelitian dengan sampel berbeda dan bahan yang bervariasi, sehingga kami yakin bahwa efeknya benar-benar ada. Dan ya, kami menemukan ada pengaruh nyata di sini,” kata Kristin Smith-Crowe.
Paparan Uang di Keseharian
Smith-Crowe menjelaskan juga kalau hasil ini punya implikasi yang luas. Termasuk gimana kita bisa terpengaruh dalam kehidupan sehari-hari.
“Mungkin ada banyak hal di sekitar kita yang memengaruhi cara kita berpikir dan bertindak, tetapi kita sering nggak menyadarinya,” katanya.
Mengejutkannya lagi, pemicu pola pikir nggak etis ini bisa sangat sederhana. Cukup dengan membaca kata-kata terkait uang atau melihat gambar uang.
Dan kalau dipikir-pikir, paparan tentang uang memang nggak bisa dihindari dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari iklan bank di TV, promosi kartu kredit, diskon besar-besaran, sampai flexing akun cuan di media sosial, semua itu membuat kita nggak sadar untuk terus mikirin uang.
Penelitian yang itu tadi menunjukkan bahwa sekadar terpapar dengan hal-hal terkait uang saja, udah bisa memengaruhi cara kita mengambil keputusan dan mempersempit fokus kita ke kalkulasi untung-rugi.
Jadi, nggak heran kalau dalam situasi sehari-hari, kita bisa secara nggak sadar terdorong untuk mengutamakan kepentingan pribadi. Sayangnya, kadang kala dengan mengesampingkan nilai-nilai etis.
Itu nunjukin betapa kuatnya pengaruh konsep uang di sekitar kita, bahkan pada hal-hal yang terlihat sepele. Seperti kata Smith-Crowe, “Ini adalah stimulus yang lemah. Namun, bahkan stimulus yang sangat lemah ini punya dampak yang signifikan.”