Ini cerita tentang datangnya hidayah kepada seorang pencuri, dikutip dari kitab Al-Mawaidz wal Majalis karya Imam Ibnul Jauzi. Cerita ini mengambil salah satu riwayat dari hidup Malik bin Dinar, seorang tabiin (ulama yang hidup di era sahabat, pernah berjumpa, dan beriman). Hidup sekitar abad ke-2 Hijriyah, imam bernama asli Abu Yahya al-Basri Malik bin Dinar ini lahir di Irak, lalu hijrah ke India hingga wafat di sana.
Maling Nyolong Hidayah
Suatu malam, seorang pencuri menyelinap ke rumah Malik bin Dinar. Maksudnya, tentu saja untuk menemukan harta yang bisa digondol.
Tapi sial, begitu masuk rumah, harapannya seketika pupus. Rumah itu nggak punya perabot mewah, apalagi harta emas perak yang berserakan. Pencuri cuma melihat seorang pria tua yang lagi khusyuk ibadah.
Sadar ada tamu asing, Malik bin Dinar tetap tenang dan menyelesaikan salatnya. Setelah selesai, ia noleh ke arah si pencuri dan ngomong, “Saudaraku, semoga Allah mengampunimu. Kau datang ke rumahku dengan harapan menemukan sesuatu, tapi kau tak mendapatkan apa-apa. Aku tak ingin kau pergi dengan tangan kosong.”
Malik berdiri, lalu mengambil kendi air dan menawarkannya kepada pencuri.
“Wudhu-lah, lalu salatlah dua rakaat. Jika kau melakukannya, kau akan membawa pulang harta yang jauh lebih berharga daripada yang kau cari,” katanya sambil menyodorkan kendi air.
Si pencuri terdiam, merasa aneh. Ia sama sekali nggak menduga bakal diperlakukan seperti itu. Dan dia merasakan tulusnya ucapan Malik, sesuatu sedang menyentuh hatinya.
Akhirnya, ia menerima tawaran itu. Setelah wudhu, ia salat dua rakaat salat. Selepas dua rakaat, ia noleh ke arah Malik, dan bilang, “Wahai Malik, bolehkah aku tetap tinggal untuk salat dua rakaat lagi?”
Malik tersenyum, “Tinggallah selama Allah menghendakimu untuk beribadah.”
Eh, Malah Ngelunjak
Eh, akhirnya malam itu si pencuri nggak jadi pergi dari rumah Malik. Ia terus beribadah sampai setelah subuh.
Ketika sudah pagi dan Malik berkata, “Sekarang pergilah, dan hiduplah dengan baik.”
Pencuri malah minta extend lagi, “Bolehkah aku tetap di sini? Aku ingin berpuasa hari ini.”
Malik yang dermawan tentunya nggak nolak. Bahkan sampai berhari-hari, sang maling tetap tinggal di rumah itu. Menghabiskan waktu beribadah setiap malam dan puasa setiap siangnya. Sampai suatu hari, ia bilang kepada tuan rumah, “Aku sudah memutuskan untuk bertobat. Aku nggak mau kembali ke kehidupan lamaku.”
Malik cuma senyum. “Itu adalah urusan antara kau dan Allah,” katanya.
Waktu pun berlalu. Singkat cerita, pada suatu hari, pencuri tobat itu ketemu kawan lamanya sesama pencuri. Si teman ini bertanya, “Apakah kau sudah menemukan harta yang kau cari?”
Dan pencuri tobat, dengan mata berbinar menjawab, “Aku menemukan Maalik bin Dinar. Aku datang buat mencuri hartanya, tapi justru dia yang mencuri hatiku. Sekarang aku sudah tobat. Dan aku mau terus-terusan mengetuk pintu rahmat Allah, sampai aku dapat bagian kayak hamba-hamba-Nya yang taat.”
Kebaikan itu Menular
Setiap orang punya perjalanan hidup masing-masing. Memang ada yang kesandung atau tersesat, tapi bukan berarti mereka nggak boleh diberi kesempatan untuk berubah.
Perubahan bisa datang dari mana saja, buat siapa saja, dan kapan saja. Kadang kita cuma butuh seseorang yang sabar dan percaya bahwa kita masih bisa berubah. Kita sendiri pun bisa berperan sebagai si sabar buat orang lain. Bisa jadi, senyuman, kesabaran, atau satu tindakan kecil yang kita lakukan hari ini menjadi awal dari perubahan besar buat seseorang di luar sana.
Makanya, nggak salah kalau ada orang bilang, “Kebaikan itu menular,” bahkan bisa meluluhkan orang yang hatinya keras.
Cerita asli: Al-Mawaa’idz wal-Majaalis: 85/Islamcan.com