“Pertemanan Lebih dari 7 Tahun Akan Bertahan Selamanya.”
Frasa itu dipercaya banyak orang. Konon yang bilang seorang psikolog, tapi nggak ada yang tahu pasti siapa orangnya. Jadi maksudnya, kalau kamu bisa membina hubungan pertemanan dengan seseorang sampai lebih dari tujuh tahun, artinya kemungkinan besar dia bakal jadi temanmu selamanya.
Cuma, ya gitu. Hipmin gagal menemukan sumber valid buat memperkuat argumen itu. Waktu kami googling, hasil paling atas yang AI generated bilang begini:
“According to a common belief often circulating online, “psychologists say” that if a friendship lasts longer than seven years, it is likely to last a lifetime, suggesting that a friendship that endures for that length of time is a strong and enduring bond; however, this is not a widely accepted psychological fact and there is no definitive research to support it fully.”
Paham maksudnya, kan?
Kira-kira begini maksudnya: “Menurut kepercayaan netizen, “para psikolog mengatakan” kalau ada sebuah persahabatan yang bisa bertahan lebih dari tujuh tahun, kemungkinan besar persahabatan itu akan bertahan seumur hidup. Nunjukin kalau persahabatan selama tujuh tahun itu adalah ikatan yang kuat dan abadi. Tapi, ini bukanlah fakta psikologis yang diterima secara luas, dan nggak ada penelitian pasti yang mendukung sepenuhnya.”
Nah, jadi begitu.
Tapi Hipmin nggak mau nyerah, dan tetap nyari sumber valid, berupa studi atau penelitian dengan kata kunci “pertemanan”, “persahabatan”, dan “7 tahun”. Hasilnya, ketemu. Ada studi valid yang memuat tiga kueri (kata kunci) yang Hipmin cari tadi.
Cuma, ya gitu. Studi valid ini kesimpulannya agak lain dari kalimat psikolog yang dipercaya netizen tadi.
Meskipun begitu, ada kemungkinan kalau hasil studi inilah yang dipakai orang-orang buat mendukung ide, “Pertemanan Lebih dari 7 Tahun Akan Bertahan Selamanya.”
Lah, memangnya gimana studinya?
Studi tentang Pertemanan 7 Tahun
Tujuh tahun bukan waktu yang singkat, apalagi di era hustle kayak sekarang, sangat banyak hal bisa berubah.
Di sini, dalam waktu 7 tahun, orang yang dulunya hobi masuk gorong-gorong bisa berubah jadi mirip diktator. Gretha Thunberg baru SMP waktu pertama kali School Strike 6 tahun lalu, tapi sekarang udah boleh beli rokok dan minuman beralkohol di negaranya. Douyin yang awalnya dikira mainan, cuma butuh 7 tahun untuk menjelma jadi platform raksasa yang bahkan bisa bikin banyak pemerintahan gonjang-ganjing.
Banyak kejadian dalam kurun waktu 7 tahun. Begitu juga di hidup kita, lingkungan, dan sirkel pertemanan.
Gerald Mollenhorst atau Gerrit Willem Mollenhorst adalah seorang sosiolog, kini jadi Asisten Profesor di Department of Human Geography and Spatial Planning, Univeritas Utrecht, Belanda.
Tahun 2009, ia bikin studi tentang pertemanan yang kemudian diterbitkan dalam paper berjudul “NETWORK IN CONTEXTS: How meeting opportunities affect personal relationships”.
Studi itu berangkat dari pertanyaan, bagaimana kesempatan bertemu bisa memengaruhi hubungan seseorang. Semacam, apakah kamu yakin bisa bersahabat sama si A, kalau kalian nggak pernah duduk sebangku waktu SMA dulu? Atau, kalau kamu nggak diajak ngafe temen-temen sekantor, mungkin nggak, kamu bisa jadian sama pacarmu sekarang?
Merujuk Survey 7 Tahun Sebelumnya
Nah, demi menjawab pertanyaan-pertanyaan macam itu, Mollenhorst ngulik lagi data-data lama. Dia nemu sebuah hasil survey dari The Survey of the Social Networks of the Dutch pada 1999/2000. Survey itu melibatkan 1007 responden berumur antara 18—65 tahun, berasal dari 161 wilayah pemukiman di seluruh penjuru Belanda.
Para responden ini diwawancara satu per satu. Diberi sejumlah pertanyaan vital tentang hubungan pertemanan, semacam, “Dengan siapa Anda membahas hal-hal pribadi yang penting selama enam bulan terakhir?”
Atau, “Jika Anda melakukan pekerjaan sambilan di rumah dan Anda butuh seseorang untuk membantu, misalnya, untuk membawa perabotan, atau untuk memegang tangga, kepada siapa Anda meminta bantuan?”
Dan, “Banyak orang mengunjungi orang lain di waktu senggang mereka. Siapa yang Anda kunjungi?”
Hasil survey ini juga jadi rujukan banyak penelitian, termasuk oleh Mollenhorst. Di paper-nya, dia menyebut rujukan ini sebagai Survey Gelombang Pertama.
Survey Gelombang Kedua
Tujuh tahun kemudian, Mollenhorst menjalankan Survey Gelombang Kedua. Ia melacak data alamat 1007 responden Survey Gelombang Pertama, tapi cuma berhasil mendapatkan 863 orang. Dari 800-an responden itu, lebih dari 70% bersedia diwawancara ulang sama Mollenhorst dan tim.
Kalau ditotal, jumlah responden yang jadi sampel sebanyak 604 orang. Pas tahun 2007 itu, umur mereka otomatis sudah bertambah. Kalau sebelumnya antara 18—65 tahun, sekarang jadi 26—72 tahun.
Di survey kedua ini, pertanyaan interview dari Mollenhorst tetap sama, soal hubungan pertemanan. Poin-poin yang ditanyakan dan tujuan pengumpulan datanya juga masih sama. Tapi, kali ini ada yang nggak sama, yaitu jawaban para responden.
Contohnya waktu ditanya, “Banyak orang mengunjungi orang lain di waktu senggang mereka. Siapa yang Anda kunjungi?”
Kalau tahun 2000 responden A menjawab nama si B, sekarang nama itu sudah nggak muncul lagi. Responden A sudah jarang bertamu ke rumah si B, tapi mengunjungi si C yang orang baru. Bahkan, secara umum nama si B sudah jarang muncul di jawaban responden A.
Dari hasil penelitian Gerald Mollenhorst ini, maka kesimpulannya adalah bahwa hubungan sosial sifatnya dinamis. Orang yang tujuh tahun lalu penting buatmu, belum tentu sekarang kamu perhitungkan eksistensinya. Tapi, jumlah relasi seseorang cenderung stabil dalam tujuh tahun, meski orang-orangnya sudah nggak lagi sama.
Alasannya bisa macam-macam. Paling gampang, ya karena kalian nggak lagi satu konteks. Misalnya karena salah satu dari kalian pindah kerja, pindah rumah, ganti hobi, gaya hidup, dan macam-macam.
Menurut Mollenhorst, aktivitas meet up punya peran besar dalam membangun dan mempertahankan hubungan. Kalau intensitasnya menyusut, ikatan hubungan bisa semakin lemah, bahkan tergantikan.
Intinya, perubahan adalah bagian alami dari kehidupan sosial manusia. Meskipun pertemanan iu sangat berharga, sering kali bergantung pada konteks, kesempatan, dan prioritas masing-masing individu yang terus berubah.
Jadi Apa Benar Pertemanan Lebih dari 7 Tahun Akan Bertahan Selamanya?
Masih dari studi Gerald Mollenhorst tadi, cuma ada 30% relasi seseorang yang masih bertahan dalam kurun waktu 7 tahun. Artinya, ada lebih banyak orang yang keluar dari sirkel kehidupan kita. Entah karena perubahan jarak, prioritas, gaya hidup, atau kurangnya interaksi. Banyak hubungan pertemanan gagal melewati batas waktu tujuh tahun, karena faktor-faktor itu.
Tapi kalau ada hubungan yang mampu bertahan lebih dari tujuh tahun, ini membuktikan adanya tingkat keakraban, komitmen, dan kecocokan yang lebih dalam.
Misalnya kamu punya teman yang sejak SMA sudah sama-sama suka dengan band The Cure. Setelah lulus SMA, kalian kuliah beda kampus, lalu kerja, sampai menikah, dan tetap berhubungan dengan intensitas yang selalu disempat-sempatkan.
Kalian selalu punya konteks untuk nyambung lagi, misalnya punya band favorit yang sama. Waktu mereka rilis materi musik baru, kalian langsung sadar dan ingat, siapa orang pertama yang perlu tahu kabar gembira ini.
Relasi pertemanan kalian yang melampaui batas 7 tahun itu bisa bertahan karena ada konteks yang terus menjaga koneksi kalian. Meski mungkin kalian sama-sama sibuk, pernah nggak sependapat dan berkonflik, atau kena macam-macam ujian hubungan lainnya.
Jadi, meski pernyataan “pertemanan lebih dari 7 tahun akan bertahan selamanya” kedengarannya romantis, ternyata faktanya lebih kompleks. Hubungan yang lebih dari 7 tahun memang punya fondasi kuat, tapi nggak ada jaminan mutlak bahwa mereka akan bertahan selamanya.
Nyatanya, Studi Mollenhorst lebih mengingatkan kita kalau hubungan manusia selalu dinamis. Semua tergantung gimana usaha kalian untuk bikin hubungan itu bisa bertahan lama, bahkan lebih dari 7 tahun.