Apanya yang fix? Yang paling jelas, ya fenomenanya.
Sepanjang paruh pertama 2025 ini sudah ada dua so-called tokoh berpengaruh di media sosial lokal, nutup akun X mereka masing-masing. Padahal, mereka yang vokal itu punya pengikut setia yang gemar mengamini setiap pendapat mereka.
Plus yang barusan, sekitar dua hari lalu. Akun representasi fanbase salah satu idol Kpop juga mengumumkan berhenti mencuit. Meski seringnya berlaku layaknya klub penggemar sesuatu, akun itu juga sesekali vokal bersuara soal isu-isu sosial.
Ketiganya tutup akun dengan alasannya yang sama. Menjaga mental dari serangan bertubi-tubi dari ‘warganet’ yang kontra sama aktivitas mereka. Bahkan khusus buat akun fanbase itu, serangannya katanya lebih parah, sampai doxxing dan intimidasi.
Mungkin kalau tren ini lanjut terus, bisa-bisa 2025 bakal dikenang sebagai tahun ‘the great x-odus‘. Akun-akun besar satu per satu berhenti beroperasi di platform milik Elon Musk, bahkan tutup akun.
Cuma ya gitu. Fenomena ini agak ironis. Soalnya akun-akun yang paling lantang malah tumbang duluan.
Nggak Disangka-Sangka
Di tengah kacaunya siklus tidur malam hari, mendadak muncul Instagram Story dengan teksnya, “Guys, gue pamit dari Twitter ya.”
Lah?
Ernest Prakasa, yang follower-nya 2.5 juta, tiba-tiba bikin pengumuman kalau dia mau keluar dari X, 8 Juni 2025. Kejadian itu setelah dia bikin twit kritis soal arloji Rolex buat timnas pas baru menang lawan China di kualifikasi Piala Dunia sepakbola 2026. Dia mempertanyakan sumber anggaran hadiah mewah itu, soalnya katanya negara lagi efisiensi anggaran.
“Turut senang untuk para pemain yang sudah berjuang, tapi sebagai warga negara, sepertinya wajar kalau gua bingung, katanya lagi penghematan, trus ini pakai anggaran apa?” bunyi twitnya yang bikin kontroversi. Spontan, kayak di film-film apokalip, warganet pun berdatang-hamburan kayak zombie.
Terus ada lagi yang baru kejadian, 14 Juni 2025 kemarin. Akun X @nctzenhumanity mengumumkan kalau mereka akan menghentikan seluruh kegiatan mulai 1 Juli 2025. Akun ini dikenal sebagai wadah donasi dan kegiatan sosial berbasis fandom NCT yang aktif sejak 2022.
Keputusan dua-duanya nutup akun X dikaitkan sama kecapekan mental. Ernest yang komika, aktor, dan sutradara itu bilang, “It was fun, but it’s no longer what it used to be.”
Maksudnya, platform X yang dulu buat dia menyenangkan, sekarang sudah nggak kayak gitu lagi. X Sudah kehilangan esensi dan Ernest merasa lelah sama suasana di platform itu. Begitu juga @nctzenhumanity, mereka bahkan ngaku kena banjir hujatan sampai ancaman doxing yang dianggap nggak bisa ditoleransi lagi.
Dua akun ini nambah daftar akun kritis yang dihapus secara mandiri dalam setengah tahun belakangan. Sebelumnya sudah ada Ferry Irwandi, nutup akun pas hebohnya penolakan daring dan luring atas RUU TNI. Pendiri Malaka Project ini juga kena tekanan psikologis dan gangguan produktivitas akibat hujatan dan ancaman akun-akun lain. Begitu juga Raditya Dika, komika senior Ernest yang sudah jauh lebih dulu tutup akun, dia pakai alasan yang sama.
Ternyata Nggak Sekuat Itu
Menjaga kesehatan mental memang penting, sangat. Dan semua orang berhak mengambil jarak demi merawat kewarasan, apalagi kalau tekanan sudah kelewat batas. Tapi, fenomena akun-akun vokal yang tumbang ini tetap bikin kita bertanya-tanya.
Soalnya, akun-akun itu selama ini tampil sebagai representasi keberanian. Suaranya lantang, opininya tajam, kadang menyulut, dan sering dipuji karena konon ‘nggak takut siapa pun’. Tapi begitu kena serangan balik dari kelompok yang kontra pendapatnya, bahkan tujuannya jelas-jelas membungkam, reaksinya bukan melawan tapi mundur. Bukan adu argumen, malah angkat tangan.
Ya, memang kita nggak tahu seberapa powerful si kelompok lawan ini.

Kelompok Lawan
Mereka bukan netizen biasa yang iseng debat atau sekadar beda pendapat. Serangan datang dari akun-akun yang ciri-cirinya sudah nggak asing. Anonim, umurnya relatif baru, banyak following tapi follower-nya dikit, posting-nya mirip-mirip, munculnya barengan, dan agresif luar biasa dalam menyerang narasi lawan mereka. Ada dugaan kalau sebagian dari mereka terorganisir, dari jaringan buzzer atau simpatisan ideologis tertentu. Niat mereka memang bukan mau diskusi, tapi bikin capek dan bungkam.
Data nunjukin kalau aktivitas buzzer di Indonesia naik drastis sejak 2020. Platform monitoring kayak Drone Emprit mencatat bahwa volume tweet dengan karakteristik buzzer (posting berulang, timing koordinasi, bahasa yang sama) naik hampir 300% dalam lima tahun terakhir.
Mereka kayak hantu digital, dioperasikan oleh agen-agen yang nggak kelihatan, bikin orang capek, bahkan takut. Tapi yang jelas mereka efektif. Karena agresifnya serangan, yang awalnya cuma beda pendapat bisa berubah jadi hujatan massal, doxing, sampai ancaman. Bikin orang merasa nggak lagi debat publik, tapi kayak diincar.
Warganet yang tadinya netral jadi terbelah, kadang sampai bingung mau bela siapa. Yang bimbang, bisa kena pengaruh dan membebek narasi para pendengung ini. Dan hasilnya kelihatan, satu per satu akun besar tumbang.
Terus yang lebih ironis lagi, fenomena ini justru nunjukin gimana persona digital dan realita watak seseorang benar-benar jauh beda. Ternyata, keberanian di dunia maya bisa jadi cuma personal branding saja. Yang dikira kuat, mungkin memang aslinya nggak sekuat itu. Yang dikira vokalis legendaris, ternyata cuma mentok di satu wave yang mampir sekelebat.
Akamsi Digital
Ada yang salah dengan soal itu, atau saya overthinking?
Ernest Prakasa suka satir dan kritis, apalagi ke politisi dan isu sosial. Ferry Irwandi jago bernarasi soal sistem negara bobrok sampai bikin kita ikut tergerak. Raditya Dika biasa santai julid ke berbagai fenomena sosial tanpa mikir dua kali.

Lepas dari X, mereka masih aktif di platform lain. Bedanya, tema dan gaya kontennya berubah.
Ferry Irwandi yang secara terbuka bilang hidupnya jadi lebih tenang dan produktif setelah keluar dari X. Dia fokus ke YouTube-nya yang dinilai lebih cuan dibanding medsos lain. Di sana, ia kembali vokal, tapi beda gaya. Ada ruang diskusi panjang, bukan sekadar ribut-ribut nggak jelas.
Ernest Prakasa juga. Meski hapus X dan Thread dengan alasan mau lebih banyak baca dan ngurangi skrol-skrol, dia masih eksis di Instagram. Sementara si Raditya Dika malah lebih dulu bikin podcast.
Intinya, mereka tetap vokal, tapi menghindari pendengung kilat. Mereka cuma pindah ke arena yang lebih aman, nyaman, dan terkendali. Meski kayak jago kandang dan kelakuannya khas akamsi (anak kampung sini), itu nggak apa-apa, banget.
Kemungkinan dan Kepentingan
Mungkin yang mereka lakukan adalah perlawanan strategis, losing a battle to win the war, selain tentunya buat menjaga kewarasan. Sementara yang terpenting buat kita adalah, para influencer yang dianggap nggak terkalahkan ini sama biasanya dengan manusia lainnya. Meski populer dan banyak follower, mereka punya kelebihan kekurangan yang sejauh ini sudah sama-sama kita tonton bareng-bareng.
Lebih penting lagi, kita nggak bisa berharap mereka tetap bertahan buat melawan narasi konyol dari pembenci dan pendengung. Itu bukan tugas, apalagi tanggung jawab mereka saja, tapi semua yang merasa sadar bahwa ada sistem yang perlu diperbaiki.
Dan yang nggak kalah penting juga, dunia digital ini terus berubah, kadang cepat. Platform yang sudah nggak asyik pasti bakal ditinggalkan, penggunanya berkurang, lalu mati pelan-pelan. Prosesnya tetap natural, meski ranahnya di digital.
The Great X-odus mungkin berbuah hikmah. Buat generasi yang tumbuh bareng budaya internet, ini saatnya beralih jadi konsumen aktif. Sekarang waktunya berhenti jadi penonton dan mulai ikut main. Fix!

