Sejak pertama kali mengenal internet sekitar tahun 2003, saya nggak nyangka bakal memakainya seintens ini. Dari awalnya yang cuma alat buat ngisi kegiatan di waktu senggang, sekarang malah jadi salah satu faktor penunjang penghidupan.
Internet bisa diakses buat masyarakat umum pada April 1993. Sejak itu, penggunaannya semakin masif, sampai lingkungan saya ikut terpapar setelah sepuluh tahun kemudian. Jumlah penggunanya terus-menerus naik, hingga mencapai 5,16 miliar orang pada awal 2023, itu sekitar 64% dari populasi dunia, menurut Datareportal. Tapi masih ada juga kesenjangannya, di mana 78,3% dari penduduk perkotaan sudah terhubung ke internet, sementara di pedesaan cuma 45,8%.
Nggak cuma pengguna, jumlah perangkat yang terkoneksi internet pun ikut meledak. Saat ini, orang bisa mobile sambil menenteng dua sampai tiga smartphone, berikut laptop atau tablet di dalam tasnya. Sementara di rumah ada komputer desktop, televisi pintar, dan perangkat keamanan yang semuanya terhubung ke internet.
Statista mencatat, jumlah perangkat yang terkoneksi ke internet sebesar 22 miliar pada tahun 2018. Angka itu diprediksi melonjak drastis, mencapai 38,6 miliar pada 2025. Itu tujuh kali lipat lebih banyak dari jumlah pengguna internet global menurut catatan Datareportal dua tahun lalu.
Di sisi lain, pola penggunaan internet juga berubah. Rata-rata pengguna menghabiskan 6 jam 37 menit sehari untuk berselancar di dunia maya. Meskipun enam jam masih terbilang panjang, angka ini justru turun 4,8% (-20 menit) kalau dibandingkan tahun sebelumnya.
Sementara itu, mayoritas akses internet dilakukan lewat perangkat mobile (92,3% pengguna), sementara penggunaan komputer atau tablet menurun menjadi 65,6%. Sedangkan jumlah pengguna media sosial aktif meningkat 137 juta sepanjang 2022-2023, dengan pertumbuhan tahunan sebesar 3,0%.
Pengguna Internet Terbesar Bukan Manusia
Data-data itu menunjukkan kalau internet, ponsel pintar, dan media sosial sudah semakin dominan di kehidupan manusia global. Tapi, meskipun angka 5 miliar pengguna dan 38 miliar smartphone terdengar banyak, ada fakta unik yang perlu kamu tahu.
Sebuah perusahaan layanan keamanan siber, Barracuda, 2021 lalu pernah bikin penelitian. Mereka mengamati lalu lintas di internet buat melacak sumbernya, siapa dan dari mana, juga gimana pola-pola selancar mereka.
Dalam studi selama Januari—Juni 2021 itu, mereka nemu beberapa fakta menarik. Bahwa sebenarnya nggak semua aktivitas di dunia maya dilakukan oleh manusia. Bahkan kalau ngomongin trafik, 5 miliar manusia pengguna internet adalah minoritas, cuma nyumbang 36% dari total lalu lintas.
Lalu siapa yang nyumbang mayoritasnya?
Sebanyak 64% trafik bersumber dari aktivitas bot, yang sebenarnya juga masih bikinan manusia juga, sih. Dari 64% itu, 39% di antaranya berasal dari bot jahat, sedangkan 25% sisanya adalah bot baik.
Statistik yang mirip dengan hasil penelitian Barracuda, juga pernah disampaikan oleh World of Statistics di X. Cuitan tanggal 3 Juni 2022 itu bunyinya, “Humans now only make up 38.5% of internet traffic. The other 61.5% is non-human (bots, hacking tools, etc).”
Memang, twit World of Statistics nggak melampirkan data asli atau tautan ke laman riset yang dimaksud. Tapi, di internet kamu bisa nemu jumlah yang mirip, yakni 38,5% trafik manusia dan 61,5% nonmanusia. Itu adalah hasil riset perusahaan cyber security yang lain, Incapsula tahun 2013.
Incapsula mengamati kunjungan ke 20 ribu situs milik klien mereka selama 90 hari, di mana sebagian pengunjungnya adalah bot, sebanyak 1,45 miliar, yang kalau dipersentasekan jadi 61,5%.
Meski begitu, studi ini sebenarnya dinilai kurang akurat sama ahli keamanan siber dari Universitas Oxford, Dr. Ian Brown. Soalnya dari 20.000 situs yang diamati, ada kemungkinan sebagian di antaranya adalah situs berbahaya. Di mana pengunjung yang aslinya manusia, pakai bot buat mengurangi risiko kunjungan mereka.
Bots
Kalau belum tahu, bot itu adalah program otomatis yang menjalankan tugas tertentu di internet. Bot ada yang baik dan jahat, good bots dan bad bots. Dikategorikan begitu, karena tugasnya ada yang membantu dan mempermudah, sebaliknya ada juga yang mengganggu, merusak, mencuri, hingga menipu.
Bot baik dirancang buat membantu pengguna dan meningkatkan pengalaman digital. Contohnya bot dari mesin pencari, kayak perayap Internet Archive atau Googlebot. Bot-bot ini tugasnya jalan-jalan dari satu situs ke situs lainnya, buat mendata dan mendaftar laman-lamannya, biar nanti diindeks dan dimasukkan ke indeks mereka. Waktu kamu nyari sesuatu di Google dan muncul hasilnya, itu karena situs-situs yang ditampilkan sudah diindeks sama Googlebot.
Sebaliknya, bot yang jahat dibikin dengan tujuan merugikan. Bisa jadi dia punya tugas yang sama seperti Googlebot, berkunjung ke situs-situs web yang sudah ditargetkan. Tapi di situ, si bot nggak cuma mencatat atau mendata. Bisa saja si bot ditugasi mengambil data sensitif atau informasi pribadi di situs yang dikunjungi, tanpa seizin pemiliknya.
Contoh bot jahat, kayak yang biasa dipakai bobol akun, dengan mencoba ribuan kombinasi username dan password. Atau scraper bot yang merampok data di situs e-commerce, dipakai buat referensi atau copy-paste-an pedagang kompetitor.
Contoh nyata serangan bot jahat dilakukan oleh Mirai pada tahun 2016. Ini memanfaatkan perangkat IoT (Internet of Things) yang kurang terlindungi untuk melancarkan serangan DDoS (Distributed Denial-of-Service), atau kunjungan super masif ke situs tertentu. Hasilnya, beberapa layanan internet besar seperti Twitter, Netflix, dan Reddit lumpuh selama beberapa jam.
Selain scraper bot, ada juga scalper bot, yang sering dipakai buat memborong flash sale, tiket konser, atau barang edisi terbatas. Contohnya terjadi saat PlayStation 5 rilis tahun 2020. Waktu itu stok habis secara kilat karena dibeli bot, sebagian ditemukan dijual kembali di pasar gelap.
Manusia vs Bot
Data terbaru dari Statista mencatat kalau jumlah pengguna internet global sudah naik jadi 5,56 miliar pada Februari 2025, sekitar 67,9% dari populasi dunia. Catatan Statista juga bilang kalau aktivitas bot juga menunjukkan tren peningkatan.
Beda dengan rilisan Barracuda, data terbaru Statista mengungkapkan bahwa pada tahun 2023 bot jahat menyumbang 57,2% dari lalu lintas web di sektor gaming. Sementara di sektor komersil, bot jahat hanya menyumbang 16,5% dari lalu lintas. Perlu diwaspadai adalah sektor hiburan, hukum dan pemerintahan. Di mana lalu lintas bot jahat dari aplikasi yang canggih sudah mencapai lebih dari 78%. Ini bisa jadi salah satu indikator pentingnya keamanan siber berlapis, terutama terkait platform pemerintah.
Ya, bot jahat memang patut diwaspadai. Di ranah media sosial, ada fenomena bot baru yang sebenarnya belum jelas baik atau jahat, cuma ini dipakai buat menggiring opini.
Bot Sosial
Pada 3 September 2017, debat Pemilu Jerman antara Kanselir Jerman Angela Merkel dan Martin Schulz dianggap kurang menarik. Tapi debat sengit justru terjadi di media sosial. Tagar #verräterduell atau “duel pengkhianat” jadi trending. Konon, dipakai oleh partai sayap kanan Alternative für Deutschland buat nuduh kedua kandidat telah “berkhianat” pada negara.
Para peneliti menduga kalau pengusung masif tagar itu berasal dari bot, bukan user Jerman yang marah. Pada Oktober 2016, Merkel minta semua partai agar nggak pakai bot sosial. Semua partai setuju kecuali Alternative für Deutschland.
Jelang pemilu Jerman 24 September 2017, para ahli meneliti dampak bot di media sosial, khususnya X. Menurut riset Emilio Ferrara, ilmuwan komputer dari University of Southern California, sekitar 15% akun Twitter (50 juta-an) adalah bot yang mayoritas aktif di politik. Mereka dipakai buat memperkuat isu tertentu, membunuh karakter atau merusak reputasi seseorang dengan nyebar berita palsu. Cuma ya gitu, sejauh ini dampaknya ke pemilu masih diperdebatkan.
Lisa-Maria Neudert dari University of Oxford melacak bot pakai metode sederhana. Akun yang nge-twit di atas 50 kali sehari dengan tagar politik dianggap bot. Meski nggak sempurna, metode ini cukup efektif. Tapi lama-lama bot semakin canggih, sehingga peneliti kini juga pakai pembelajaran mesin buat mengidentifikasi mereka.
Ferrara juga nemu fakta bahwa bot yang aktif di pemilu AS kembali dipakai di Pemilu Prancis. Kalau di AS Donald Trump yang sayap kanan menang di 2017, bot Prancis terlihat mendukung Marine Le Pen yang hampir sama ideologinya. Selain itu, Ferrara juga lagi menyelidiki, apakah yang dipakai di Jerman adalah bot yang sama. Kalau iya, bisa jadi ada upaya terorganisir buat memengaruhi pemilu di berbagai negara. Pertanyaannya, siapa yang mengendalikan?
Di Indonesia, dugaan operasi bot sosial muncul dari hasil temuan jurnalis investigasi BBC, Benjamin Stick. Tahun 2020, waktu ada demonstrasi di Papua, tagar #FreeWestPapua muncul. Tapi, trending karena ada dugaan usaha propaganda atas pelanggaran HAM terhadap demonstran oleh aparat keamanan Indonesia.
Devi Rahma Fatmala, Amanda Amelia, dan Fitri Agustina Trianingsih dari Universitas Airlangga pernah nulis artikel berjudul “Penggunaan Akun Bot Media Sosial untuk Mempengaruhi Opini Publik: Sebuah Tinjauan Hukum Di Indonesia”. Tulisan mereka dimuat di AJUDIKASI: Jurnal Ilmu Hukum, Volume 4Nomor 1, Juni 2020.
Menurut mereka, dugaan adu pengaruh pakai bot sosial juga muncul saat perebutan kursi Pilkada DKI Jakarta 2012. Kala itu, JASMEV (Jokowi Ahok Social Media Volunteers) gelut virtual melawan kelompok muslim konservatif. Lalu di Pilpres 2014, antara pendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla versus pendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, dengan profil organisasi yang hampir sama seperti Pilkada Jakarta 2012.
Melihat fenomena kayak gitu, pastinya kita harus hati-hati. Pasalnya bot nggak cuma sudah mendominasi trafik internet, tapi juga bisa menggiring opini. Walaupun bot sosial bisa meningkatkan penyebaran informasi, tapi kalau informasi yang disebarkan nggak valid, bahkan hoaks, tentu bikin kuatir, apalagi kalau kamu penggemar berat demokrasi.