Pada suatu hari di tahun 2017, enam peneliti dari Universitas Stanford, California, merilis publikasi lewat Nature.com. Publikasi akademis itu berisi hasil studi tentang kesenjangan aktivitas fisik penduduk antarnegara, dan hubungannya dengan tingkat obesitas di setiap negara tersebut.
Belakangan, penelitian oleh Tim Althoff Rok Sosič, Jennifer L. Hicks, Abby C. Raja, Scott L. Delp, dan Jure Leskovec ini ramai dikutip di dalam negeri. Tapi, dengan fokus yang agak beda dari keseluruhan isi paper-nya.
Hasil riset yang paling disorot adalah soal kebiasaan jalan kaki di antara warga-warga negara di dunia. Di mana, Indonesia jadi yang paling rendah jumlah langkahnya, kalau dibandingkan sama penduduk negara lain yang dicatat.
Penelitiannya sendiri dilakukan dengan memanfaatkan sensor pelacak gerak di smartphone yang meng-install aplikasi Azumio Argus. Buat yang belum tahu, Azumio Argus—sekarang Argus saja—itu aplikasi kebugaran kayak Strava yang bisa melacak pergerakan dan menghitung pembakaran kalori. Jadi, para peneliti mempelajari data-data pengguna Argus, yaitu 717.527 orang dari 111 negara di seluruh dunia.
Kalau menilik laman peringkat hasil riset itu di Statista, ada 15 negara yang masuk daftar. Posisi pertama diduduki China, lalu disusul Jepang, Russia, Korea Selatan, dan Inggris. Sementara, Indonesia ada di posisi ke-15, di bawah India, Brazil, Afrika Selatan, dan Arab Saudi.
Sebenarnya Kurang Pas Kalau Disebut Malas
Sebenarnya risetnya nggak bermasalah apa-apa, begitu juga hasilnya. Lagian, studi akademis kayak gini pastinya dilakukan secara hati-hati dan nggak sembarangan, baik waktu menentukan prosedur pelaksanaan maupun pas bikin kesimpulannya.
Tapi, ya gitu. Media-media yang mengutip hasil penelitian tersebut, headline-nya agak-agak menggiring opini, bikin kesimpulan yang terlalu sederhana. Ya, gimana, wong aslinya penelitian Universitas Stanford ini menyoal isu kesehatan yang lebih luas, yaitu hubungan antara tingkat obesitas dan kebiasaan fisik penduduk di suatu negara.
Jalan kaki cuma salah satu dari beberapa jenis aktivitas fisik yang diteliti. Tapi itu digarisbawahi, cuma fokus ke jumlah langkah rata-rata dan mengesampingkan konteks lain. Akibatnya, narasi yang berkembang kayak lebih menyalahkan individu atau budaya. Ini nggak adil, padahal penelitiannya sendiri membahas masalah kesehatan yang lebih luas.
Dan asal tahu aja, di studi juga nggak ada istilah ‘malas’ kayak yang disebutkan di berita-berita—termasuk di tulisan ini. Sementara istilah ‘malas’ punya konotasi negatif menurut sebagian besar umat manusia. Jadinya, ada kesan jelek pada negara yang ranking-nya terendah berdasarkan jumlah langkah kaki hariannya, dalam hal ini Indonesia.
Misalnya memang malas pun, itu bukan semata-mata karena faktor internal individu. Ada faktor eksternal yang bisa menyebabkan orang malas jalan kaki. Kayak kondisi infrastruktur pejalan yang buruk, transportasi umum kurang memadai, sampai kondisi geografis wilayah tempat tinggalnya, semua itu bisa memengaruhi tingkat kemalasan jalan kaki.
Datanya juga Kurang Mewakili
Studi berbasis data digital dari Universitas Stanford itu memang punya keunggulan. Skala datanya luas, dengan 717.527 partisipan (pengguna Argus) dari 111 negara. Tapi, karena jumlah langkah harian dihitung dari data pengguna Argus, itu bisa bikin datanya jadi bias.
Argus cuma bisa dipasang di jenis smartphone dengan spek tertentu. Artinya, nggak semua orang meng-install aplikasi ini di ponselnya, pun nggak semua orang Indonesia punya smartphone. Otomatis golongan orang-orang tersebut nggak masuk hitungan.
Maka, bisa jadi jumlah rata-rata langkah harian itu lebih mencerminkan kebiasaan pengguna Argus. Berarti juga, bahkan kesimpulan malas jalan kaki itu tadi nggak merepresentasikan semua pengguna smartphone, apalagi penduduk Indonesia secara keseluruhan.
Lagian, penelitian ini melibatkan 717.527 partisipan dari 111 negara. Dalam hitungan kasar, berarti rata-rata setiap negara diwakili sekitar 7.000 orang.
Untuk negara dengan populasi lebih dari 250 juta jiwa kayak Indonesia, jumlah ini tentu terlalu kecil untuk benar-benar mencerminkan kebiasaan masyarakat secara keseluruhan. Apalagi, semua tahu bahwa gaya hidup, akses, dan wawasan masyarakat Indonesia sangat beragam, tergantung faktor lokasi, ekonomi, sampai budaya setempat.
Mungkin Malas, Tapi Itu Bukan Satu-satunya Alasan
Nggak ada masalah dengan Riset Universitas Stanford tadi, cuma kesimpulannya mungkin agak terburu-buru. Tapi misalnya pun memang benar bahwa orang Indonesia malas jalan kaki, bahkan jadi yang paling sedikit langkah hariannya sedunia. Ada sesuatu yang perlu dipertanyakan, yaitu alasan atau penyebabnya.
Linda Gilmore dan Gilian Boulton-Lewis dari Queensland University of Technology. Pada tahun 2005 pernah meneliti 100-an anak sekolah Australia usia 7-9 tahun, mereka adalah kelompok siswa yang kurang motivasi belajar.
Temuannya, beberapa siswa yang terlihat atau dinilai sebagai pemalas, ternyata penyebabnya cukup kompleks. Contohnya siswi bernama Katya yang sebenarnya tergolong pintar, tapi jadi malas dan kehilangan motivasi mengerjakan PR. Katya yang dideskripsikan perfeksionis, sensitif, dan agak-agak suka cemas, jadi malas karena nggak dapat perhatian dari gurunya. Soalnya, guru-guru kelihatannya lebih memperhatikan anak-anak bandel.
Beda lagi dengan Joseph, menurut guru-guru sikapnya baik, tapi belajarnya lamban, PR-nya jarang selesai. Waktu ditelusuri, memang di keluarganya ada sesuatu yang bikin Joseph kesulitan mengerjakan PR. Bahkan, kesulitan yang sama juga pernah dialami beberapa pendahulu Joseph di keluarganya.
Menurut Thomas Madsen dari Universitas Kopenhagen dalam jurnalnya The Conception of Laziness and the Characterisation of Others as Lazy (2018). Kemalasan didefinisikan sebagai kurangnya usaha seseorang dalam melakukan sesuatu yang sebenarnya mampu ia lakukan.
Tapi kenyataannya, seseorang bisa seenaknya saja dibilang malas. Tanpa ada pertimbangan sebelumnya bahwa kemungkinan malasnya itu disebabkan faktor konstruksi sosial, seperti kondisi lingkungan dan tekanan sosial. Penyebab seseorang kelihatan malas nggak selalu berasal dari dia sendiri. Menurut Madsen, kemalasan juga sering terkait dengan kurangnya motivasi, stres, serta kondisi lingkungan yang kurang mendukung.
Malas Jalan Kaki, Soalnya Lingkungan Kurang Mendukung
Pola hidup masyarakat Indonesia beda dengan negara lain yang jumlah langkahnya lebih tinggi, seperti China, Jepang, atau negara-negara Eropa. Kondisi lingkungan, kayak iklim dan cuaca, bisa berpengaruh ke malas-nggaknya seseorang jalan kaki.
Di Indonesia yang tropis, jalan kaki di cuaca yang terik dan lembap bikin badan lebih cepat berkeringat dan bau. Orang yang perlu selalu rapi dan wangi, wajib berusaha lebih keras untuk menjaga penampilannya, kalau ingin sekaligus menjaga jumlah langkah hariannya.
Di kota-kota seperti Hong Kong dan Tokyo, dengan infrastruktur transportasi umum yang efisien, trotoar yang nyaman, dan suhu yang lebih bersahabat. Jalan kaki akan terasa lebih nyaman, sehingga jadi bagian hidup sehari-hari orang sana. Sebaliknya, di sini trotoar nggak selalu ada, misal pun ada, nggak sedikit yang bikin pejalan kaki kurang nyaman. Cuma kota besar yang punya transportasi umum memadai. Itu pun nggak merata optimalnya.
Selain itu, banyak kota memang didesain lebih pas buat kendaraan daripada pejalan kaki. Tempat-tempat penting, kayak kantor, administrasi pemerintahan, pusat belanja, dan tempat hiburan lebih mudah diakses dengan kendaraan bermotor daripada jalan kaki.
Melihat aneka situasi yang kayak gitu, bisa dibilang wajar kalau orang sini lebih milih naik kendaraan daripada jalan kaki, karena lebih praktis dan nyaman. Apalagi untuk jarak yang butuh ditempuh dalam waktu di atas 15 menit, misalnya.
Soal penyebab orang sini malas jalan kaki, karena kurang motivasi atau bukan, kayaknya sudah nggak penting lagi. Lebih penting mikir gimana caranya hidup sehat. Kalau aktivitas fisik bisa bikin kita lebih sehat, gimana cara melakukannya? Apa dengan menciptakan lingkungan yang kondusif biar semua orang bisa aktif bergerak, salah satunya fasilitas yang ramah buat pejalan kaki?