Masa depan nggak melulu soal teknologi automasi, robot, atau eksplorasi ruang angkasa yang makin jauh. Sebagian sudah sering muncul di film sci-fi, rata-rata menggambarkan Bumi sebagai planet yang beda jauh dari yang kamu lihat saat ini. Warna langitnya lebih kuning, suhu udaranya terasa lebih panas dan kering, plus minim vegetasi.
Kalau kamu nonton Bladerunner 2049, tone-nya memang lebih dingin. Tapi ciri-ciri, kayak padat dan sumpeknya metropolis, kesenjangan ekonomi, kriminalitas, dan masalah-masalah sosial lainnya, muncul di film itu. Sementara dari sisi teknologi, penggambarannya sudah visioner dengan adanya mobil yang bisa terbang.
Selain itu, visi soal teknologi terdepan juga banyak muncul di Oblivion, I, Robot, Terminator, Judge Dredd, dan lain-lain. Tapi, kebanyakan nggak mencerminkan kalau kemajuan teknologi nggak sukses bikin kehidupan jadi lebih baik. Malah di Mad Max atau Waterworld, suguhannya kondisi Bumi yang carut marut.
Sejauh ini, teknologi maju di film I, Robot memang sudah agak bisa diwujudkan lewat produk-produk baru Tesla. Ironi percintaan di Her juga sedikit banyak bisa dilakukan sendiri, pakai chatGPT. Lalu, gimana dengan prediksi nuansa pascakiamat ala The Book of Eli atau Cloud Atlas? Apakah sudah mulai terbukti?
Bencana yang Menanti
Para ilmuwan dari Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) menemukan bahwa dari tahun 1900-2020, suhu udara permukaan dunia meningkat rata-rata sebesar 1,1° Celsius (hampir 2°F). Itu akibat penggunaan bahan bakar fosil yang melepaskan karbon dioksida dan gas rumah kaca lain ke atmosfer.
Ilmuwan IPCC menggunakan model perhitungan khusus buat memprediksi masa depan. Hasil prediksi mereka bilang bahwa suhu rata-rata global Bumi bisa meningkat sampai 4°C, kalau tingkat gas rumah kaca terus naik dari sekarang. Kalau nggak ada tindakan tepat dan cepat buat mengurangi emisi gas rumah kaca, kayaknya upaya buat menahan suhu global di kisaran 1,5-2,0°C akan mustahil.
Jadi, bukan nggak mungkin kondisi cuaca kayak di Mad Max atau The Book of Eli bakal segera dirasakan penduduk Bumi. Nggak cuma lewat pengalaman nonton film, tapi juga secara nyata di lingkungannya.
Sekarang ini Bumi sudah menunjukkan gejala-gejala awal dari berbagai skenario suram yang sering terlihat di layar lebar. Pemanasan global dan perubahan iklim semakin ril dampaknya. Mulai dari suhu yang tambah panas, mencairnya es di kutub, sampai bencana alam yang makin intens.
Bagi sebagian orang, perubahannya mungkin belum terlalu terasa. Tapi faktanya, naiknya suhu udara ini belum pernah terjadi sepanjang catatan sejarah, selama lebih dari 2000 tahun. Bahkan, kenaikan satu derajat saja bisa menghasilkan banyak efek samping ke Bumi dalam berbagai cara.
Curah Hujan Berubah
Suhu rata-rata global yang lebih hangat menyebabkan air menguap lebih banyak, sehingga berpotensi meningkatkan curah hujan. Diperkirakan curah hujan global akan meningkat sebesar 7%, setiap suhu naik satu derajat.
Itu artinya, manusia menghadapi masa depan yang lebih sering hujan dan salju yang jauh lebih banyak. Di daerah-daerah yang punya risiko banjir, berarti kemungkinan potensi bencana tersebut juga akan meningkat.
Kalau memang suhu global jadi meningkat 2°C, peristiwa hujan lebat diperkirakan menjadi 1,7 kali lebih mungkin dan 14% lebih intens. Tapi ini nggak berlaku di semua wilayah. Ada yang curah hujannya lebih tinggi, ada juga yang akan berkurang.
Es dan Salju Meleleh
Iklim lebih hangat menyebabkan salju dan es meleleh. Tingkat pelelehan di musim panas akan lebih cepat daripada pembentukan es baru selama musim dingin. Jadi, di masa depan jumlah salju dan lapisan es di muka Bumi akan turun drastis.
Selama 100 tahun terakhir, gletser gunung di seluruh dunia sudah menyusut. Begitu pula es di kutub, Greenland, dan Antartika. Bahkan ketebalan es laut musim panas di Arktik saat ini sudah berkurang daripada tahun 1950. Es laut Arktik meleleh lebih cepat daripada es laut Antartika.
Melelehnya es bisa menyebabkan perubahan dalam sirkulasi laut. Meskipun jumlah lelehannya masih belum bisa dipastikan, musim panas di Laut Arktik kemungkinan besar akan bebas es di akhir abad ini.
Kenaikan Permukaan Laut
Kenaikan permukaan laut disebabkan dua faktor. Pertama karena gletser dan lembaran es leleh, sehingga volume air laut nambah dan permukaannya naik. Kedua, karena air laut membesar saat kena suhu panas, meningkatkan volumenya, sehingga menaikkan permukaan laut.
Sejak tahun 1880, permukaan laut telah naik sekitar 10 sampai 20cm, tergantung lokasinya. Suhu panas dan es yang leleh, masing-masing menyumbang sekitar setengah dari kenaikan itu, meskipun masih belum bisa dipastikan akurasinya.
Pada tahun 2050, model prediksi ilmuwan memperkirakan permukaan laut akan naik 25 sampai 30cm lagi. Kalau pemanasan global terus terjadi, kayaknya akan naik jadi 1,1 meter pada tahun 2100. Bahkan kalaupun manusia mencoba langkah-langkah mengurangi emisi karbon dengan cepat, kondisi yang ada sekarang bakal tetap bikin muka air laut naik sekitar 60cm pada tahun 2100. Situasi yang mengancam daerah dataran rendah, terutama komunitas di pesisir.
Laut Berubah Sifat
Laut bisa jadi akan bertindak sebagai penghambat laju perubahan iklim dengan menyerap sebagian panas dan karbon dioksida dari atmosfer. Tapi, itu ada efek sampingnya dalam jangka panjang.
Kombinasi air laut dengan karbon dioksida membentuk asam karbonat yang lemah. Tapi meskipun lemah, tetap saja lama-lama air laut akan punya sifat asam yang semakin tinggi. Kalau pH laut sudah naik jadi sekitar 0,1 pH sejak zaman pra-industri, kira-kira tahun 2100 bisa mencapai 0,14 hingga 0,35 pH. Ini bakal jadi masalah buat terumbu karang dan organisme laut lainnya.
Selain itu, kalau kamu tahunya air laut itu diam kayak di ember, sebenarnya nggak juga. Air laut punya arus, mengalir, dan bersirkulasi dalam skala besar. Istilahnya termohalin, digerakkan oleh suhu udara dan perbedaan salinitas (tingkat garam).
Di suhu global yang lebih hangat, pastinya arus termohalin juga ikut terganggu. Curah hujan meningkat dan banyak es yang meleleh bikin air tawar masuk lebih banyak, sehingga kadar garam laut berubah. juga mungkin terganggu saat iklim menjadi lebih hangat. Gangguan pada arus termohalin berpengaruh besar pada perubahan iklim.
Perubahan Cuaca Ekstrem
Pemanasan global nggak cuma bikin suhu naik, tapi juga memengaruhi cuaca ekstrem. Lautan yang makin hangat jadi bahan bakar buat badai besar, kayak topan dan siklon tropis. Di masa depan, badai-badai ini diprediksi bakal jadi lebih kuat dan jumlahnya bisa bertambah, meski nggak signifikan.
Sejauh ini, sedikitnya ada 3 badai terbesar yang tercatat selama periode pasca-industri, yaitu Topan Tip yang pertama terjadi tahun 1979. Lalu Badai Olga (pertama kali tahun 2001), dan Badai Sandy yang terjadi pada tahun 2012. Selain badai, perubahan cuaca lain, seperti hujan ekstrem, gelombang tinggi, hingga gelombang panas juga akan lebih sering terjadi.
Hujan ekstrem bisa memicu banjir bandang yang menghancurkan infrastruktur dan merugikan ekonomi. Di daerah perkotaan yang drainasenya buruk, banjir sudah jadi ancaman setiap tahun. Tapi, gimana kalau lebih sering dan lebih besar lagi?
Gelombang panas juga nggak kalah berbahaya. Suhu panas yang nggak bisa ditoleransi manusia, bisa meningkatkan risiko penyakit, kayak heatstroke. Juga bikin kondisi kesehatan memburuk, terutama bagi kelompok rentan seperti anak-anak dan lansia.
Pola cuaca yang nggak menentu memengaruhi sektor pertanian. Curah hujan yang nggak terduga bisa mengganggu musim tanam. Sementara itu, kekeringan yang makin sering dan panjang memperburuk produksi pangan. Dampaknya nggak cuma dirasakan petani, tapi juga masyarakat luas.
Risiko Buat Makhluk Hidup
Korban paling rugi dari pemanasan global, ya makhluk hidup. Ancamannya besar buat semua jenis makhluk hidup, baik yang di laut maupun di darat.
Di laut, suhu permukaan yang semakin hangat memaksa banyak ikan migrasi ke perairan yang lebih dingin di dekat kutub. Sayangnya nggak semua ikan punya kemampuan pindah-pindah, contohnya terumbu karang.
Akibatnya, sekitar seperempat dari seluruh terumbu karang dunia sudah mati dalam beberapa dekade terakhir, terutama karena pemutihan—proses rusaknya karang akibat panasnya air laut. Otomatis, rusaknya terumbu karang juga berdampak pada ekosistem laut yang bergantung padanya.
Sementara di darat, ancaman pemanasan global juga nggak kalah serius. Hewan dan tumbuhan darat juga terpaksa cari-cari habitat baru sesuai kebutuhan mereka, karena suhu dan pola cuacanya sudah beda. Kalau mereka nggak menemukan tempat yang cocok, risiko kepunahan jadi sangat besar.
Contohnya, kenaikan suhu global sebesar 2°C bisa bikin 18% serangga, 16% tanaman, dan 8% hewan vertebrata kehilangan lebih dari setengah habitatnya. Tapi, kalau umat manusia bisa menghentikan kenaikan suhu di angka 1,5°C, ancaman ini bisa berkurang sampai separuhnya.
Di sisi lain, perubahan iklim juga bikin sejumlah spesies yang dulunya hidup di satu tempat, jadi menyebar ke wilayah lebih luas. Contohnya, nyamuk pembawa penyakit yang justru berisiko buat kesehatan manusia.
Belum lagi gelombang panas, kekeringan, dan kebakaran hutan yang makin sering terjadi. Semuanya nggak cuma mengganggu produksi pangan, tapi juga mengancam kehidupan manusia secara langsung.
Kalau gitu, bisa dibilang bahwa akhirnya banyak skenario ngeri di film sci-fi yang dulunya terasa mustahil, kini sudah mulai terbukti nyata.
Memang, manusia bisa bangga dengan kecanggihan teknologi bikinannya yang mempermudah kehidupan. Di sisi lain, ada konsekuensi sosial dan lingkungan yang nggak terduga.
Elon Musk boleh jadi representasi nyata dari Tony Stark. Sama kayak Sophia, si robot AI bikinan Hanson Robotics Hong Kong, yang digadang jadi versi real-nya Ava di Ex-Machina.
Tapi, begitu juga, ancaman perubahan iklim, kenaikan suhu global, dan kerusakan lingkungan menunjukkan kalau skenario pascakiamat seperti di The Road atau The Rover Mad, bukan cuma khayalan orang-orang Hollywood.
Cuma ya gitu, kenyataan juga bisa nggak se-ngeri gambaran masa depan di film sci-fi. Interstellar dan Star Trek bisa jadi pengingat buat manusia, kalau masih ada harapan.
Bumi di masa depan masih bisa layak huni. Asalkan semua manusia bisa kolaborasi dan bertindak cepat buat melakukan perbaikan. Pertanyaannya, apa kita siap?