Bisa dibilang, orang Madura adalah perantau ulung. Mereka terkenal punya jiwa bisnis yang ulet sejak zaman dulu. Kondisi tanah Karapan Sapi yang tandus dan kurang cocok untuk pertanian, memaksa mereka cari penghidupan di kampung orang.
Tapi, kepiawaian membaca peluang, bikin mereka bertahan dan sukses. Coba sebutkan saja usaha orang Madura di sekitarmu, banyak. Dagang sate, bubur, bebek dan penyetan, tukang cukur, tukang gigi, sampai—yang paling banyak—usaha toko kelontong atau nama bekennya warung Madura.
Katanya, warung Madura ini mulai muncul tahun 1990an. Awalnya mereka banyak buka di Jakarta. Aktivitas masyarakat ibu kota yang mulai padat, serba cepat, dan nonstop dimanfaatkan dengan baik oleh para perantau dari Madura.
Demi tetap bertahan dan berkembang, utamanya di tengah persaingan Minimarket, mereka menawarkan konsep buka 24 jam.
Meski tempatnya minimalis, dagangan yang disajikan jauh lebih variatif. Mulai dari sembako, token listrik, pulsa, jajanan, sampai bensin eceran. Jadi penyelamat warga yang butuh belanja mendadak, utamanya saat tengah malam.
Seiring waktu, warung Madura lalu berekspansi ke kota-kota besar lain yang pattern aktivitas masyarakatnya sama. Brand warung Madura pun semakin kuat di mana-mana. Sampai muncul ungkapan: warung Madura tutup kalau hari kiamat, tapi masih buka setengah hari.
Hipmin dkk pernah tanya-tanya ke beberapa pengelola warung Madura di Kota Malang. Soalnya penasaran, gimana sistem kerja mereka? Nggak capek buka terus?
Katanya, rata-rata pemilik warung Madura yang buka di Malang adalah warga Sumenep. Ada yang masih satu saudara juga. Bisa jadi semacam bisnis keluarga.
Terus kalau kamu jeli memperhatikan, warung Madura punya ciri khas tatanan barang dagangan yang rapi di rak hijau kotak-kotak. Kelihatan seperti waralaba terorganisir. Tapi ternyata nggak juga.
Salah satu pengelola, Pak Ade, bilang kalau penataan semacam itu cuma ngikutin tren saja. “Kita sih ikut-ikutan aja, yang penting barangnya lengkap dan rapi,” kata beliau.
Tapi btw, penataan itu terbukti berhasil membangun brand image warung Madura.
Dari segi marketing, pemilik warung Madura pilih ambil untung tipis, biar harganya lebih murah dari toko sekitar. Kalau sudah begitu kan langganan makin banyak.
“Sebisa mungkin kita lebih murah. Tapi ya lihat-lihat dulu. Kalau tipis banget takut rugi, kalau kemahalan nanti nggak laku,” kata Bu Nia, pengelola warung Madura lainnya.
Walaupun labanya tipis, omzet yang dihasilkan nggak main-main. Karena sanggup buka 24 jam, omzet per hari bisa menyentuh angka Rp3 juta. Apalagi kalau bukanya di kawasan padat penduduk atau mahasiswa.
Kalau konsisten begitu, dalam sebulan berarti kira-kira Rp90 juta bisa masuk ke kantong mereka. Itu baru yang di Malang.
Worth it sekali memang kerja kerasnya. Kalau sudah pensiun dan pulang ke kampung halaman nantinya, mereka tinggal menikmati hidup. Bu Nia bilang “Banyak yang sampai jadi sultan pas pulang. Apalagi yang bukanya langsung di Jakarta, Depok, Tangerang.”
Ada Susahnya Juga
Tapi namanya kerja, nggak ada yang melulu seneng dan gampang. Bagi para perintis warung Madura yang belum punya banyak karyawan, jualan 24 jam sudah pasti melelahkan.
Mereka nggak punya waktu libur, harus standby terus di depan etalase, melayani macam-macam pembeli yang rewel. Jenuh dan stress mungkin sudah jadi camilan sehari-hari. Maklumi saja kalau kamu ketemu penjaga warung Madura yang kadang jutek, lagi telepon, atau sambil main Hp.
Hipmin juga ketemu sama pasutri yang baru dua tahun buka warung Madura di Malang. Mbak Siska* dan suaminya dulu mulai usaha warung Madura dengan modal Rp80 juta. Dikelola berdua tanpa karyawan. Tempat tinggal mereka juga jadi satu dengan warung itu.
Sistem jaganya pakai shift. Giliran Siska istirahat, suami yang bertugas. Pas suami lagi restock barang, Siska yang mencatat. Pokoknya hari-hari mereka disibukkan berjualan. Ya sambil makan, momong anak, masak, dan kegiatan domestik lainnya. “Capek.”
Sedihnya lagi, jarang ada waktu buat santai dan bermesraan sama suami. “Cari celah aja. Kalau nggak ada orang, sepi, baru bisa. Tapi itu susah,” katanya.
Mereka juga harus rela urusan ranjang dikesampingkan. Buat bercinta saja, mereka perlu menunggu di jam-jam sepi pembeli. Antara jam 3-4 pagi. Tapi itu juga masih perlu kompromi, karena mereka harus berjaga lagi sampai pagi.
“Pernah lagi enak-enaknya (bercinta) ada pembeli. Ya mau nggak mau langsung dilayani. Tinggal deh suami. Balik-balik sudah nggak nafsu lagi,” celetuk Siska.
Sebelum merantau ke Malang dan mulai bisnis warung Madura, suami Siska bekerja sebagai guru. Tapi penghasilan sebagai pengajar di sana belum cukup buat memenuhi kebutuhan keluarga. “Di Madura cukup buat makan aja, jadi harus berani merantau supaya bisa hidup lebih layak,” cerita dia.
Mereka tertarik juga membuka usaha warung Madura karena sudah banyak contoh sukses di kampung halamannya. Kata dia, pemilik warung yang sudah 10 tahun lebih berjualan dan balik kampung bisa beli mobil, naik haji, buka cabang, sampai bangun rumah.
Meski cuma berdua, pengelolaan bisnis ini juga nggak sembarangan. Barang-barang yang dijual di warung Siska banyak dipasok distributor besar.
Biar up to date, Siska juga sering study banding ke warung Madura lain. Supaya seragam, layanan lengkap, dan menarik lebih banyak pelanggan.
Siska dan suami juga harus beware masalah keamanan. Mereka pernah punya pengalaman disatroni maling.
Gara-gara suatu malam sang suami sakit tak bisa berjaga, sementara Siska sudah capek sampai ketiduran. Rokok yang dipajang di etalase amblas digondol pencuri. Ruginya lumayan besar.
Tapi ketekunan mereka terbalaskan dengan omzet memuaskan. Sehari, mereka bisa dapat Rp4-5 juta. Bahkan bisa Rp9-10 juta kalau pas ramai.
Info yang mungkin nggak penting, sebenarnya buka warung Madura nggak harus dari Madura kok. Sekarang sudah banyak toko kelontong yang mengadaptasi konsep serupa. Asal kuat dan betah saja. Tertarik buat coba?
*nama disamarkan buat jaga privasi narasumbernya.