Wednesday, May 21, 2025
Kirim tulisan
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
No Result
View All Result
  • Login
  • Register
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
No Result
View All Result
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
Ilustrasi anak militer sedih

Mitos & Fakta, Benarkah Barak Militer Bikin ‘Anak Nakal’ Jadi ‘Jinak’?

by Ovan Obing
10 May 2025
in Isu
A A
0
SHARES
0
VIEWS
Bagikan di WABagikan di TelegramBagi ke FBBagi ke X

Stanley Kubrick dianggap sebagai sosok penting di dunia film. Waktu bikin Full Metal Jacket, yang diadaptasi dari novel karya Gustav Hashford, The Short-Timers, dia ceritakan kembali drama kehidupan di barak militer.

Pelatihan intens, teriakan tanpa henti, hukuman fisik, dan tekanan psikologis jadi menu harian. Di tengah sistem itu, lahirlah sosok kayak Private Pyle. Dia, pemuda kikuk yang perlahan berubah jadi monster pendendam karena ditekan terus-terusan, tanpa diberi ruang untuk berkembang. Gagal jadi prajurit tangguh, malah mentalnya remuk redam.

Bill Murray juga dikenal sebagai seorang aktor esensial, meski nggak pernah menang Oscar. Sebagai salah satu ikon legendaris Hollywood, di film Stripes dia berperan jadi pemuda medioker yang selengean, tapi terpaksa ikut wajib militer karena butuh uang.

Tapi plot twist, meski susah diatur dan seenak udelnya, dia berakhir jadi pahlawan di kesatuan. Bukan karena bootcamp (kamp pelatihan) sukses mengubahnya jadi lebih disiplin dan punya kepribadian lebih baik, tapi karena dia bisa memanfaatkan sistem dengan cerdik.

Dua film itu memang nggak spesifik soal anak-anak ‘nakal’ yang dihukum lewat pelatihan militer di barak buat memperbaiki karakter. Tapi, keduanya menggambarkan aspek yang sama, yaitu militer yang suka coba-coba membentuk karakter seseorang dengan pendekatan seragam, disiplin ketat, aturan keras, dan ruang ekspresi yang nyaris nol.

Terus, kalau orang dewasa saja bisa jadi ‘rusak’ dalam sistem itu, apalagi remaja? Malah mereka masih di fase pencarian jati diri, bakal gimana nanti?

Jadi, kalau dibilang barak militer adalah tempat terbaik buat ‘membentuk’ atau ‘memperbaiki’ karakter anak-anak yang dicap bermasalah, jangan-jangan nggak gitu juga. Siapa tahu kita cuma mengira kalau itu solusi satu-satunya, soalnya malas mikir akibat masalahnya terlalu kompleks? Solusi instan tradisional semacam itu dipupuk dan dilestarikan, dipercaya penuh, meski jelas-nyata nggak terbukti hasilnya positif.

Cap Anak Nakal

Di komunitas terdekat, misalnya keluarga, label nakal seringnya diberikan sembarangan, serampangan. Anak yang membantah dibilang pembangkang atau kurang ajar. Kalau terlalu diam dikira punya niat buruk, yang aktif dibilang pecicilan, yang banyak bertanya dianggap cerewet, dan lain-lain.

Pada tahun 1963, sosiolog Howard S. Becker, nulis Outsiders: Studies in the Sociology of Deviance. Di situ, dia bilang kalau deviance—yang sering dikenal sebagai perilaku menyimpang dari norma atau nilai-nilai sosial—sebenarnya bukan semata-mata tentang tindakan seseorang. Tapi, soal gimana komunitas sosial atau lingkungannya merespons tindakan itu.

Artinya gini, kalau ada seseorang yang disebut ‘nakal’, sebenarnya itu bukan karena dia sepenuhnya keliru atau bikin masalah. Tapi lebih karena orang-orang mutusin kalau tindakan yang dia lakukan itu termasuk kategori ‘nakal’. Reaksi masyarakat itu kemudian menciptakan stigma.

Nah, pendapat ini akhirnya dijadikan pedoman lahirnya teori labelling atau penjulukan/penandaan. Lebih lanjut lagi, jadi stigma. Intinya, si anak nggak otomatis ‘nakal’ karena dia melakukan sesuatu yang salah, tapi karena lingkungannya ngasih label kayak gitu. Dan begitu label itu melekat, dia bisa membentuk identitas sosial yang nempel kuat ke anak.

Edwin Lemert dalam Social Pathology (1951) bikin kategori deviansi primer dan sekunder. Deviansi primer adalah pelanggaran awal yang mungkin sepele dan nggak berdampak besar. Tapi kalau masyarakat mulai ngasih cap “nakal” ke anak dan memperlakukan dia kayak anak nakal, dia bisa terdorong masuk ke fase deviansi sekunder. Maksudnya, dia mulai meresapi label ‘nakal’ itu dan berperilaku sesuai label yang dikasih ke dia.

Ini kayak teori afirmasi yang sering digemborkan motivator. Waktu orang menyatakan sesuatu yang positif terus-menerus, misalnya “Aku pasti bisa ngatasin masalah ini!” Itu bisa memengaruhi pikiran dan perasaannya secara positif yang harapannya bikin dia beneran bisa.

Cuma masalahnya, afirmasi juga bisa berlaku untuk hal negatif.

Cuplikan Film Stripes (Filmlinc)

Anak ‘Nakal’ Nggak Harus Dikirim ke Barak Militer

Sementara sebutan ‘nakal’ saja masih belum akurat, masyarakat sudah mulai cari solusi buat mengatasinya, padahal juga belum tentu benar. Nyaris nggak ada yang coba neliti sebab perilaku yang dicap ‘nakal’ itu. Tapi, malah berusaha ngoreksi lewat cara yang dianggap paling manjur, misalnya ditegur, dibentak, dihukum, sampai dilatih disiplin ala militer.

Selain buru-buru ngasih label ‘nakal’, secara kolektif masyarakat juga yakin kalau sesuatu yang tertib itu selalu berarti ‘baik’ dan bisa menghapus kenakalan. Budaya menganggap disiplin, khususnya ala militer, sebagai jalan keluar semua masalah.

Kalau ada anak suka tawuran atau nggak nurut omongan guru, reaksinya bukan cari tahu dia sebenarnya kenapa, tapi dicap nakal, lalu diberi solusi berupa pendisiplinan biar ‘kembali ke jalur’. Padahal, ‘jalur’ yang dimaksud belum tentu cocok buat semua anak.

Sudah Ada Contohnya

Pada suatu dekade, Amerika Serikat pernah menjadikan bootcamp koreksional sebagai solusi ulung buat mengatasi kenakalan remaja. Itu sekitar tahun ’80-an, pertama kali dilakukan di negara bagian Oklahoma dan Georgia.

Awalnya, banyak pihak mendukung solusi ini. Selain berharap bisa mengurangi kenakalan remaja dan kemungkinan naiknya angka kriminalitas, bootcamp jadi alternatif lembaga pemasyarakatan yang lebih hemat.

Program itu melatih remaja dan orang dewasa dengan pendekatan dasar-dasar militer. Mereka diajak mengikuti jadwal harian yang ketat, sejak bangun tidur sampai menjelang merem lagi. Dipandu petugas yang lebih pas disebut instruktur latihan—orang yang intens, agresif, dan suka bicara keras—untuk tunduk dan patuh pada perintah tanpa banyak pertanyaan.

Kegiatan sehari-hari mereka juga mirip-mirip taruna tentara. Ada latihan fisik, upacara, baris-berbaris, kerja fisik, atau jam-jam khusus buat mandi, makan, istirahat, dan menerima kunjungan.

Banyak fasilitas bootcamp yang mewajibkan peserta laki-laki menggundul kepalanya. Ada yang ngasih hukuman-hukuman fisik, kayak push-up atau membersihkan toilet buat pelanggaran kecil selama pelatihan. Atau kalau pelanggarannya lebih serius, peserta bisa dikeluarkan dari program.

Setelah melalui pelatihan tentaraistik beberapa lama, harapannya peserta bisa balik lagi ke ‘jalur yang benar’. Maksudnya, jalur yang taat hukum dan nggak nakal lagi di lingkungan sosialnya sendiri.

Cuma ya gitu, belakangan—awal-awal tahun 2000-an—dukungan buat program bootcamp mulai turun. Sorotan lebih banyak ke kasus-kasus peserta yang disiksa, bahkan meninggal dunia di kamp. Plus, ada beberapa penelitian yang nunjukin kalau ternyata program ini nggak ngasih manfaat positif apa-apa, sama saja kayak penjara biasa.

Ilustrasi anak tawuran (Vice)

Bahkan Nggak Cuma Satu-Dua

Negara-negara selain AS juga pernah punya program serupa. Inggris misalnya, tahun ’90-an pernah bikin program Thorn Cross Young Offender Institution, bootcamp ala militer buat pelaku kriminal muda. Lewat pendekatan militer dasar, program ini sukses ngasih keterampilan dasar dan efek jera ke beberapa peserta. Tapi, dia juga gagal mengurangi residivisme (pengulangan tindak pidana), dianggap kurang fleksibel, serta kurang efektif buat jangka panjang, di samping biaya operasionalnya tinggi.

Lalu Australia, yang bahkan punya beberapa bootcamp buat remaja bermasalah, terutama di wilayah seperti Queensland dan Australia Barat, tahun 1990-an dan awal 2000-an. Australian Institute of Criminology (2003) bilang kalau program ini nggak lebih baik dari rehabilitasi berbasis komunitas. Sekarang, beberapa program sudah dihentikan karena dianggap nggak manusiawi dan nggak efektif.

Selain Inggris dan Australia, remaja-remaja bermasalah di Korea Selatan juga wajib ikut wajib militer. Atau bisa juga program koreksional ala pelatihan militer, meskipun namanya nggak selalu bootcamp. Program ini biasanya dijalankan oleh lembaga pemerintah atau organisasi swasta untuk remaja dengan masalah perilaku.

Program ‘bootcamp‘ di Korsel dianggap berhasil, dalam hal menanamkan disiplin dan tanggung jawab. Tapi, perlu dicatat bahwa budaya di Korsel memang menghargai hierarki dan kerja keras. Selain itu, beberapa program bisa membantu peserta mengembangkan keterampilan hidup, soalnya diselipi dengan kegiatan konseling dan pendidikan.

Cuma ya gitu. Tujuan utama program ini, yaitu buat ngoreksi perilaku remaja bermasalah secara umum, malah nggak kesampaian. Program ini terbatas buat kelompok tertentu, nggak menjangkau semua remaja yang membutuhkan. Banyak peserta balik ke kebiasaan lama setelah selesai ikut program. Plus, pendekatan militer kadang bikin peserta yang punya masalah kesehatan mental kena tekanan psikologis.

Program Koreksi Sikap juga Perlu Dikoreksi

Selain Full Metal Jacket (1987) dan Stripes (1981), ada dua judul film lagi tentang ‘anak nakal’ dan kamp pelatihan atau rehabilitasi. Meski nggak ada barak dan loreng tentara, tapi ada sipir berseragam dan pendekatan militeristik.

Pertama, Sleepers (1996), dibintangi Kevin Bacon, Robert de Niro, Brad Pitt, dan Dustin Hoffman. Menceritakan ‘berandal’ dadakan yang balas dendam ke sipir bootcamp cabulnya. Kedua, Dog Pound (2010), masih soal model koreksional bootcamp yang gagal ‘memperbaiki’ atau ‘menjinakkan’ sikap para berandal.

Empat judul film, ditambah contoh nyata di empat negara yang pernah menerapkan sistem itu di dunia nyata. Semuanya nunjukin kecenderungan yang sama. Baik fiksi maupun nyata, bootcamp dan atau koreksi sikap dengan cara-cara keras khas militer, semuanya gagal meraih tujuan utama.

Adegan di film Dog Pound (Letterboxd)

Kalau Anak ‘Nakal’ Dikirim ke Barak Militer

Memang ada perubahan dalam jangka pendek, keterampilan yang dipelajari, dan rasa percaya diri yang lebih baik setelah program. Tapi, pendekatan yang kaku dan nggak sensitif justru berdampak kurang oke buat jangka panjang. Menurut American Psychological Association (APA), anak mungkin kelihatan patuh di permukaan, tapi di balik itu bisa menyimpan kemarahan, trauma, atau malah jadi tambah parah setelah keluar dari barak militer.

Selain itu, cara-cara militer di barak mengabaikan fakta bahwa setiap individu punya latar belakang, masalah, dan kebutuhan yang beda, juga kondisi psikologis dengan penanganan spesifiknya masing-masing. Seorang anak dicap ‘nakal’, bisa saja karena susah kontrol emosi, kena kekerasan di rumah, atau butuh dukungan kesehatan mental. Alih-alih ditangani dengan pendekatan suportif, mereka malah dituntut bisa ‘beres’ lewat sistem otoriter yang nggak fleksibel.

Laporan dari The Annie E. Casey Foundation—organisasi independen yang neliti sistem peradilan anak di AS—nyebut bahwa pendidikan yang terlalu fokus pada kepatuhan, hukuman, dan hierarki malah bikin anak makin sulit berkembang secara sosial-emosional. Dia belajar nurut karena takut, bukan karena paham kenapa aturan itu penting.

Sementara, Professor Laurence Steinberg, pakar perkembangan remaja, dalam bukunya Age of Opportunity (2014). Dia bilang bahwa waktu remaja, otak kita ada di masa-masa paling plastis sejak usia dini. Ini, maksudnya kemampuan otak untuk berubah dan adaptasi terhadap segala hal, termasuk pengalaman, pembelajaran, memori, dan cedera, lagi berada di puncak-puncaknya. Makanya, masa remaja jadi waktu yang krusial buat belajar.

Kalau pelajaran yang diterima bentuknya hukuman, kekerasan, dan rasa takut, khawatirnya itu bikin perkembangannya negatif. Sistem yang keras dan menakutkan juga bisa bikin dia merasa nggak berdaya. Lalu berkembang jadi sangat penurut dan nggak pede, atau sebaliknya, jadi pemberontak pas sudah lepas dari pengawasan tentara.

Terus kalau sudah banyak bukti bilang gagal, masih bangga juga bikin gebrakan yang sama?

Padahal, Ada Pendekatan yang Lebih ‘Jinak’

Kalau anak ‘nakal’ dikirim ke barak militer biar tunduk, diam, dan patuh tanpa syarat, itu kayaknya yang bermasalah bukan si anak. Barak militer memang solusi instan dan legendaris. Tapi, selayaknya mi instan, dia cuma ngisi perut tanpa ngasih nutrisi bagus.

Sementara masa kini, sudah banyak pula bukti bahwa rehabilitasi yang efektif harus fokus pada kebutuhan individu, lingkungan sosial, dan perkembangan jangka panjang. Salah satu contoh sukses adalah Multisystemic Therapy (MST) yang dikembangkan di Amerika Serikat. Menurut penelitian Scott W. Henggeler (2009), MST bisa ngurangi tingkat residivisme hingga 50% pada remaja pelaku kejahatan ringan, jauh lebih efektif daripada bootcamp atau penjara tradisional.

Pendekatannya melibatkan komunitas dan keluarga, memperbaiki support system, mengatasi risiko dari pola asuh yang buruk, pengaruh teman sebaya, atau lingkungan yang nggak mendukung. Dengan melibatkan komunitas, remaja merasa lebih diterima dan punya peluang lebih besar untuk ‘back on the right track‘.

Contoh lagi, Functional Family Therapy (FFT) yang fokus mengelola emosi dan membentuk keterampilan hidup, buat membantu menghindari perilaku impulsif atau destruktif. Penelitian Alexander (2000) nunjukin bahwa peserta FFT perilaku kriminalnya berkurang hingga 40%.

Di Selandia Baru, Family Group Conferences (FCG) mengumpulkan remaja kriminal, keluarga mereka, dan korban buat nyari solusi bersama. Menurut Maxwell dan Morris (2006), pendekatan ini mengurangi tingkat residivisme sampai 30% dan membantu remaja membangun empati serta tanggung jawab.

Program lainnya, kayak YouthBuild di AS malah menggabungkan pendidikan, pelatihan kerja, dan mentorship. Peserta belajar keterampilan praktis sambil tetap sekolah formal. Selain mengurangi perilaku kriminal, program ini juga meningkatkan peluang nyari kerja.

Solusi ini jauh beda dengan pendekatan militer. Soalnya lebih manusiawi, menyesuaikan kebutuhan setiap individu, menyentuh dan mengatasi akar masalah, dan didukung penelitian yang nunjukin hasil nyata. Bukan gebrakan tanpa alasan yang terkesan asal njeplak dan terbelakang.

SendShareShareTweet

Tulisan Lainnya

Isu

Plastik Itu Susah Didaur Ulang, Ngapain Masih Dipakai?

18 May 2025
Isu

Makan Gratis Sukses, Keracunan Cuma Bonus Statistik

9 May 2025
Isu

Vasektomi Dulu, Baru Dibantu?

5 May 2025
Isu

Masih Soal Ijazah, Tapi Kali Ini Milik Karyawan RI Nomor Satu yang Ke-7

28 April 2025
Next Post

Music Video: “Me vs the Killing Comfort” dari Enitine, Bertema Hubungan Toksik

Pameran: Void/Vision 2025, Kolaborasi Seni Digital Audio Visual

Single: “Bertahan” – Inveigh, Keluh Kesah Pekerja yang Sedang Jenuh

Bakteri E. Coli dan Salmonella, Si Kecil yang Bisa Bikin Perutmu Kacau

Please login to join discussion

© 2025 hipKultur.com

Opsi Lainnya

  • About
  • Contact

Ikuti

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
  • Login
  • Sign Up
Kirim Tulisan
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
No Result
View All Result

© 2025 hipKultur.com