in ,

Toxic Positivity: Bukannya Termotivasi, Malah Bikin Mental Tambah Down

Ilustrasi. (iStock)
Ilustrasi memberi semangat. (iStock)

Pernah nggak sih pas kamu curhat, temanmu itu seperti memberi semangat dan nasihat positif, tapi ternyata nggak memberimu efek apa-apa? Malah justru kamu tambah kepikiran.

Memang banyak yang menganggap bahwa berpikir positif itu bikin kita gembira dan membuat semua masalah hilang. Tapi tidak melulu begitu, bestie!

Anggapan itu ya mungkin ada benarnya, kalau timing-nya memang lagi tepat. Tapi kadang, ada saat-saat dimana berpikiran positif bisa jadi ‘racun’ yang seolah-olah membuat seseorang lari dari permasalahan yang dihadapi.

Nah kalau yang begitu itu disebutnya Toxic Positivity.

Apa itu toxic positivity?

Dituliskan di laman Psychology Today, toxic positivity memiliki konsep bahwa seseorang hanya berfokus pada hal-hal positif dan menolak apapun yang memicu emosi negatif.

Menghindari emosi negatif justru bikin masalah menjadi lebih besar. Hal tersebut secara tidak langsung membuatmu merasa tidak perlu memedulikan masalah yang ada.

Bahkan, psikolog Mary Hoang mengatakan bahwa kata-kata penyemangat yang dianggap positif sering membuat seseorang menjadi lebih buruk.

Contohnya kalimat seperti “Semangat ya, harusnya kamu bersyukur, banyak yang masalahnya lebih besar dari kamu”. Ah itu ternyata tidak sepenuhnya membantu orang yang sedang mengalami masalah.

Jika seseorang menghindari emosi negatif, malah justru bisa membuat emosi tersebut menjadi lebih besar.

Ingat ya, manusia tidak bisa memprogram dirinya sendiri untuk selalu bahagia dan mengesampingkan perasaan sedih.

Emosi negatif itu juga kadang-kadang dibutuhkan. Misalnya untuk lebih waspada terhadap lingkungan sekitar.

Menghindari emosi negatif bakal membuat seseorang kehilangan kesempatan belajar mengontrol emosi. Sebaliknya, menerima emosi negatif membantu kamu untuk mengatasi atau mengontrol masalah yang dihadapi.

Emosi merupakan informasi yang memberikan gambaran tentang apa yang terjadi. Tetapi tidak memberi tahu apa respons yang harus dilakukan.

Bayangkan sekarang kamu lagi di hutan terus melihat seekor harimau, kamu punya opsi buat menghindar dan cari jalan lain. Berarti kamu melihat harimau sebagai ancaman potensial. Itulah cara emosi bekerja.

Jika seseorang telah mengidentifikasi emosi itu, maka ia akan memutuskan menghadapi atau menghindari ketakutannya.

Toxic positivity ini adalah respons alami seseorang terhadap orang lain yang mengalami masalah. Hal itu karena mereka merasa nggak nyaman saat berhadapan dengan penderitaan orang lain.

Gimana cara menghindari toxic positivity?

Ada beberapa cara biar kamu sendiri nggak jadi orang yang toxic positivity.

Kalau kamu lagi berhadapan dengan orang yang memiliki masalah, kamu nggak perlu menambah bebannya dengan membandingkan dengan pengalaman pribadi atau orang lain.

Tanggapan yang lebih bermanfaat adalah dengan mendengarkan dan memahami beliau. Coba juga memberinya validasi. Biarkan saja orang yang memiliki masalah itu merasakan apapun yang ia rasakan. Mungkin marah, sakit, atau kecewa.

Dikutip dari journal.sociolla.com, validasi ialah perilaku untuk memberi tahu seseorang bahwa yang ia rasakan nyata adanya dan bisa dipahami.

Bukan berarti menyetujui perasaan itu, tetapi lebih cenderung empati dan memahami bahwa kamu juga paham kenapa dia bisa merasakan atau mengalami hal itu.

Saat perasaan itu tervalidasi, orang akan merasa dipahami dan didukung untuk lebih menerima perasaan tersebut.

Perlu diingat, bisa bahaya kalau toxic positivity ini dihadapkan pada orang yang kondisi mentalnya kurang stabil. Nanti bisa bikin dia makin frustasi, merasa tidak aman mengekspresikan emosi negatif, dan membahayakan mentalnya.

Seseorang perlu ruang untuk bercerita dan mengalirkan perasaan yang dialami dari masalah yang dihadapi. Ya intinya, beri dia ruang buat curhat sebelum memberi nasihat.