Kamu punya kenalan orang yang selalu merasa paling benar, paling penting, dan susah banget memahami perasaan orang lain? Mungkin saja mereka mengidap Narcissistic Personality Disorder (NPD), atau bahasa bayinya gangguan kepribadian narsistik. Narsis yang too much.
NPD adalah gangguan mental yang pengidapnya merasa dirinya lebih baik dari orang lain, selalu ingin dikagumi dan jadi pusat perhatian.
Di balik tampilan yang terlihat percaya diri, biasanya ada rapuhnya harga diri yang tersembunyi—mudah goyah saat ada kritik atau gagal mendapat pujian.
Nggak heran kalau NPD sering kali jadi masalah, bukan cuma buat diri sendiri, tapi juga buat orang sekitar.
Tapi, nggak semua orang yang terlihat “cinta diri sendiri” itu punya NPD. Sifat-sifat narsistik—seperti terlalu percaya diri atau haus perhatian—memang bisa muncul di fase-fase tertentu, terutama saat remaja, tapi bukan berarti mereka otomatis akan berkembang jadi NPD.
Untuk memastikan apakah seseorang benar-benar memiliki NPD, cuma tenaga profesional yang bisa bikin diagnosis resmi.
Biasanya, mereka akan melihat apakah seseorang menunjukkan gangguan dalam beberapa aspek, seperti pandangan yang terlalu tinggi terhadap diri sendiri dan kesulitan berempati atau membina hubungan akrab dengan orang lain.
Beberapa tes, seperti International Personality Disorder Examination (IPDE) dan Narcissistic Personality Inventory (NPI), sering digunakan buat memperdalam pemahaman soal gejala narsistik ini.
Menurut data dari Institut Kesehatan Mental Nasional, sekitar 9,1% orang dewasa di AS mengalami setidaknya satu jenis gangguan kepribadian tiap tahunnya.
Sekitar 6,2% dari mereka diperkirakan punya NPD, meskipun angka terbaru menunjukkan prevalensinya mungkin lebih rendah dari perkiraan awal.
Dibandingkan gangguan kepribadian lain, seperti gangguan kepribadian ambang atau antisosial, NPD memang tergolong lebih jarang.
NPD Ada Sejarahnya
Sosok narsistik katanya sudah ada sejak zaman Yunani kuno. Dalam mitologi Yunani, ada seorang pemuda tampan bernama Narcissus yang saking sombongnya, sampai jatuh cinta sama bayangannya sendiri di air.
Narcissus begitu terpesona sampai-sampai nggak bisa lepas dari pandangannya. Akhirnya dia meninggal di tepi air karena terlalu asyik mengagumi diri sendiri—dark twist yang jadi asal usul kata narsistik.
Konsep “terlalu kagum sama diri sendiri” ini nggak cuma ada di cerita dongeng. Banyak pemikir zaman dulu sudah ngulik soal narsisme, tapi dengan istilah lain: hubris—sikap sombong yang sering nggak nyambung sama realita. Tapi baru di awal 1900-an, narsisme mulai dilihat sebagai sebuah kondisi psikologis yang serius.
Seorang psikoanalis Austria, Otto Rank, menjadi salah satu yang pertama meneliti narsisme secara ilmiah pada tahun 1911. Rank menghubungkannya dengan rasa kagum yang berlebihan terhadap diri sendiri.
Lalu, tahun 1914, Sigmund Freud, sang “bapak psikoanalisis”, merilis tulisan berjudul On Narcissism: An Introduction.
Di situ, Freud menjelaskan bahwa narsisme erat kaitannya dengan libido, alias energi yang ada dalam diri kita untuk bertahan hidup dan berkembang.
Freud berpendapat bahwa setiap orang punya energi ini, yang bisa diarahkan ke diri sendiri atau ke orang lain.
Bayi, contohnya, mengarahkan semua energinya ke dirinya sendiri, dalam kondisi yang ia sebut narsisme primer.
Menurut Freud, seiring bertambahnya usia, kita belajar mengalihkan energi ini ke orang atau hal lain. Cinta yang kita berikan pada orang lain ini, menurutnya, bisa mengurangi narsisme awal tadi.
Dan sebaliknya, cinta yang kita dapat dari orang lain akan membantu menjaga keseimbangan antara cinta pada diri sendiri.
Freud juga melihat bahwa konsep diri berkembang seiring interaksi dengan dunia luar. Dengan kata lain, saat kita belajar memahami harapan sosial dan norma budaya, kita juga membangun “ego ideal,” atau gambaran diri sempurna yang ingin kita capai.
Selama era 1950-an dan 1960-an, psikoanalis Otto Kernberg dan Heinz Kohut mulai menggali lebih dalam soal narsisme, dan hasil penelitian mereka menarik perhatian dunia psikologi.
Di tahun 1967, Kernberg mengungkapkan konsep “struktur kepribadian narsistik” dan mengidentifikasi tiga tipe utama narsisme: narsisme dewasa normal, narsisme infantil, dan narsisme patologis. Ketiganya menggambarkan spektrum dari narsisme yang sehat hingga narsisme yang sudah berada di taraf gangguan.
Lalu, setahun kemudian, di 1968, Kohut menawarkan perspektif lain soal narsisme. Ia meneliti ulang ide-ide Freud dan menemukan bahwa narsisme sebenarnya adalah aspek perkembangan yang normal dan penting.
Kohut berpendapat bahwa masalah narsistik di usia dewasa sering kali disebabkan oleh kesulitan saat berhubungan dengan “objek diri”.
Kalau sejak kecil seseorang kurang mendapatkan perhatian yang diperlukan untuk membentuk harga diri yang sehat, mereka bisa tumbuh dengan berbagai masalah kepercayaan diri yang berujung pada gangguan narsistik.
Pada tahun 1980, gangguan kepribadian narsistik akhirnya resmi diakui dalam edisi ketiga Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-III) yang diterbitkan American Psychiatric Association (APA). Di sinilah pertama kali kriteria spesifik diagnosis NPD ditetapkan.
Meski DSM-5 sempat menimbulkan perdebatan soal cara mengelompokkan gangguan kepribadian, kriteria diagnosis NPD tetap kurang lebih sama seperti sebelumnya.
Jadi, narsistik bukan cuma karakter yang kita temui di lingkungan sehari-hari, tapi sudah masuk dalam kategori kondisi psikologis yang perlu ditangani dengan serius.
Walaupun penyebab pastinya masih belum ketahuan, para ahli percaya kalau gangguan kepribadian narsistik bisa muncul karena gabungan banyak faktor.
Beberapa di antaranya adalah pengalaman hidup di masa kecil yang kurang menyenangkan, seperti pernah dihina, trauma, atau kurang mendapat dukungan emosional.
Faktor-faktor seperti pujian berlebihan, pengasuhan yang terlalu memanjakan, atau pengasuhan yang nggak konsisten juga bisa berkontribusi. Genetik dan biologi pun dianggap punya pengaruh, walaupun penyebabnya cukup kompleks dan beragam.