Ceritanya ada seorang pemuda kekar yang lagi cari kerja sebagai penebang kayu. Pada suatu hari yang beruntung, dia nemu gudang penjual kayu. Dengan pede dan penuh harapan, dia minta kerjaan ke pemiliknya. Nggak nyangka, pemilik gudang bersedia mempekerjakannya.
Si pemuda tentu gembira luar biasa. Apalagi si bos janji ngasih gaji lumayan dan tempat kerja yang nyaman.
Makanya, dia bertekad akan membayar kebaikan si bos dengan kerja keras.
Hari pertama, si bos nge-brief jobdesc si pemuda. Ya, pastinya nebang pohon. Bos nunjuk area kebun miliknya, di situlah lokasi kerja penebang pohon setiap harinya.
Setelah semua beres dan siap, si pemuda dengan semangat membara langsung kerja keras di hari pertama. Saking semangatnya, dari pagi sampai sore hari ia sukses menumbangkan 20 pohon. Dan dengan bangga, dia lapor hasil kerjanya.
“Luar biasa! Teruskan!” si bos memuji.
Tentu saja pujian itu bikin semangat si pemuda semakin berapi-api.
Besoknya ia kerja lebih keras lagi. Tapi sayang, ternyata pendapatannya hari itu nggak sebanyak kemarin, cuma membalak 17 pohon. Penasaran, dia berniat ingin membalas “kekalahan” di hari kedua itu besok.
Hari ketiga, api semangatnya menyala-nyala. Dia kerja lebih keras lagi, mengerahkan seluruh tenaganya yang nggak habis-habis. Tapi, hasilnya justru lebih buruk, cuma dapat 15 pohon.
Begitu juga besoknya, batang pohon yang dipangkasnya berkurang lagi di hari keempat.
Sampai hari keenam, ternyata jumlah pohon yang bisa ditebang si pemuda tambah menurun. Dia pun resah dan bertanya-tanya, agak takut bakal dirumahkan.
“Apa aku mulai kehilangan kekuatan?” pikirnya.
Akhirnya, setelah kerjaan beres, ia mendatangi si bos.
“Saya minta maaf, bos. Beberapa hari terakhir jumlah pohon tebangan makin sedikit. Saya juga tidak mengerti. Sudah bekerja sekeras mungkin, tapi hasilnya malah semakin berkurang,” keluhnya.
Mendengar pengakuan itu, si bos merespons dengan balik bertanya, “Memangnya, kapan terakhir kali kamu mengasah kapakmu?”
Pemuda penebang kayu diam sebentar. Lalu berkata, “Mengasah kapak? Saya tidak punya waktu karena harus menebang pohon.”
Terlalu Sibuk Sampai Lupa Berkembang
Ternyata penyebab si penebang kayu gagal naik produktivitasnya, adalah karena kapak yang dipakai lama-lama jadi nggak tajam. Si penebang lupa soal itu, sehingga nggak sadar kalau kapaknya harus rutin diasah.
Itu sama kayak pensil. Makin sering dipakai bakal jadi tumpul, nggak oke kalau dipakai nulis.
Kalau dihubungkan dengan persoalan umum, penebang kayu dan kapaknya bisa menggambarkan kita yang terlalu sibuk kerja, sampai lupa meningkatkan kemampuan diri. Memang bisa bekerja sambil belajar. Cuma ya gitu, target kerjaan biasanya lebih menuntut, sehingga akhirnya lupa kalau harus belajar.
Jangan cuma forsir tenaga untuk mengayunkan kapak dengan harapan batang pohon lekas tumbang. Tapi cek juga apa mata kapaknya sudah benar tajam. Kalau belum, tenaga yang dikeluarkan malah bisa terbuang sia-sia. Kerja keras tanpa strategi jitu cuma bisa bikin capek tanpa hasil maksimal.
Kerja keras memang baik, tetapi kerja cerdas lebih penting. Istirahat bukan berarti malas. Belajar lagi biar keterampilan meningkat, refleksi diri, atau mengambil jeda justru bisa meningkatkan produktivitas. Kalau mau dapa hasil lebih baik, kadang kita perlu berhenti sebentar, evaluasi, dan melakukan perbaikan.
Cerita asli: The Story of The Woodcutter | Islamcan.com