Selamat datang di dunia kerja Indonesia, di mana kamu bisa kehilangan sesuatu yang paling kamu banggakan: ijazah hasil jungkir balik bertahun-tahun, yang akhirnya malah disandera oleh perusahaan tempat kamu bekerja. Bukan karena berbuat kriminal, tapi karena kamu berani resign.
Begitulah kira-kira nasib puluhan orang yang jadi korban penahanan ijazah oleh perusahaan UD Sentosa Seal di Surabaya.
Kasus ini udah kayak drama kejar tayang. Dimulai dari laporan yang masuk ke Wakil Wali Kota Surabaya, Armuji atau Cak Ji soal penahanan ijazah SMA mantan pekerja.
Nggak lama setelah itu, Cak Ji langsung sidak ke perusahaan yang alamatnya di Pergudangan Margomulyo Suri Mulia Permai Blok H-14. Tapi, beliau nggak dibukakan pintu, malah dituduh sebagai penipu. Pemilik perusahaan, Jan Hwa Diana, tau-tau ngelaporin Cak Ji ke polisi atas tuduhan pencemaran nama baik.
Pemerintah yang geregetan akhirnya ngajak audiensi. Akhirnya Diana minta maaf ke Cak Ji. Tapi masih ngeyel nggak mau ngaku kalau menahan ijazah mantan karyawannya. Audiensi berkali-kali nggak mempan. Padahal korban yang melapor sudah puluhan. Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer sampai turun tangan. Tapi Diana tetap kalem, santai, dan nggak ngaku salah.
Pemkot Surabaya akhirnya menyegel gudang Diana. Kasusnya sekarang lagi diselidiki Polda Jatim. Masih panjang dan belum tuntas.
Habis kasus itu viral, muncul banyak episode lain di berbagai kota. Akhirnya banyak karyawan yang ngadu ijazah mereka ditahan juga.
Emang boleh perusahaan tahan ijazah karyawan?

Ijazah itu dokumen resmi yang diberikan kepada lulusan pendidikan akademik atau vokasi sebagai pengakuan atas prestasi belajar mereka. (Permendikbudristek No. 6 Tahun 2022)
Kalau di dunia kerja Indonesia, dokumen penting ini sering berubah fungsi jadi jaminan biar karyawan nggak kabur sebelum kontraknya habis.
Di beberapa perusahaan (biasanya di bidang sales, logistik, manufaktur kecil, dan ekspedisi), praktik ini masih jalan.
Ijazah ditahan atas dasar kepercayaan. Alasan biasanya, kalau ijazah di tangan perusahaan, maka si karyawan akan berpikir dua kali sebelum resign mendadak. Apalagi kalau perusahaan merasa sudah mengeluarkan biaya buat pelatihan atau investasi lainnya.
Masalahnya, alasan semacam itu nggak punya dasar hukum yang kuat. Di UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, atau aturan turunan seperti Kepmenakertrans No. 100 Tahun 2004 tentang PKWT, nggak ada satu pun pasal yang membolehkan perusahaan menahan dokumen pribadi milik karyawan, termasuk ijazah.
Beberapa perusahaan berdalih ini demi loyalitas. Tapi sebenarnya sih sebaliknya, karyawan merasa tertekan, nggak nyaman, dan kehilangan rasa aman di tempat kerja.
Emang nggak ada sih aturan yang memperbolehkan perusahaan menahan ijazah. Tapi nggak ada juga larangan eksplisit soal itu.
Di Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 52 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, syarat sahnya perjanjian kerja itu ada:
- kesepakatan kedua belah pihak,
- kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum,
- adanya pekerjaan yang diperjanjikan,
- serta pekerjaan tersebut tidak bertentangan dengan hukum dan kesusilaan.
Jadi selama empat unsur ini terpenuhi dan penahanan ijazah dicantumkan dalam kontrak kerja, maka praktik itu bisa aja dianggap sah dan mengikat secara hukum.
Tapiii, statusnya bisa berubah kalau masa kontrak kerja sudah selesai, atau pekerja sudah bayar ganti rugi sesuai kesepakatan, tapi perusahaan masih nggak mau mengembalikan ijazah.
Kalau sudah begitu, perbuatan perusahaan bisa dikategorikan sebagai penggelapan.
Menurut Pasal 374 KUHP, penggelapan oleh seseorang yang menguasai barang karena hubungan kerja bisa dikenakan pidana penjara maksimal 5 tahun.
Menurut Juanda Pangaribuan, praktisi hukum hubungan industrial sekaligus mantan hakim ad hoc di Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Pusat, penahanan ijazah karyawan oleh perusahaan itu jadi ketimpangan relasi antara pemberi kerja dan pekerja.
Di posisi yang nggak setara, pekerja sering merasa nggak punya pilihan lain selain menyetujui syarat yang merugikan. Termasuk menyerahkan ijazah sebagai syarat diterima kerja.
Padahal, ijazah itu dokumen pribadi dan berharga yang secara hukum harusnya tetap berada dalam penguasaan pemiliknya.
Kalau perusahaan ngotot menjadikan ijazah sebagai jaminan kerja, maka tanggung jawab dan perlindungan hukum dokumen itu harus bersifat dua arah, nggak sepihak. Gitu!
Kalau di luar negeri gimana?
Di banyak negara, perusahaan yang nahan dokumen pribadi karyawan, termasuk ijazah atau paspor, dikategorikan melanggar hak individu.
Di Uni Eropa misalnya. Di bawah pengawasan General Data Protection Regulation (GDPR), penahanan dokumen karyawan tanpa persetujuan bisa dianggap sebagai pelanggaran privasi dan data pribadi.
Jangankan gitu, nyimpen atau memverifikasi dokumen tanpa persetujuan tertulis dari karyawan aja bisa kena semprot Kantor Perlindungan Data Pribadi (UODO). Prinsip utamanya adalah akuntabilitas dan persetujuan.
Jadi, semua data pribadi yang diserahkan kandidat ke perusahaan harus berasal dari si kandidat sendiri.
Nyimpen daftar hitam mantan karyawan di antara perusahaan afiliasi juga melanggar hukum. Ini dianggap diskriminatif dan berpotensi besar jadi dasar gugatan hukum.
Perusahaan juga nggak bisa asal nyimpen CV atau lamaran dari kandidat kalau belum ada rekrutmen. Kalau memang belum butuh, datanya wajib dihapus. Nggak bisa cuma “kita keep dulu ya kak~” trus ditaro di folder email.
Di sana, hak data pribadi dijaga ketat banget. Nggak ada cerita ijazah jadi jaminan kerja, apalagi ditahan seenaknya.
Kalau di Tiongkok, penahanan dokumen pribadi kayak ijazah nggak jadi syarat umum dalam hubungan kerja. Apalagi sejak diberlakukan Personal Information Protection Law (PIPL) 2021, aturan soal perlindungan data pribadi pekerja jadi makin ketat.
Pemberi kerja nggak bisa sembarangan memproses informasi pribadi karyawan, apalagi yang tergolong sensitif.
Menurut UU Kontrak Kerja RRC 2012, pemberi kerja hanya boleh meminta informasi yang relevan sama kontrak kerja dan dalam batas wajar. Misalnya, meminta ijazah hanya boleh untuk posisi yang memang membutuhkannya (seperti akuntan bersertifikat). Itupun, majikan harus dapat persetujuan tertulis dari kandidat sebelum mengakses atau memverifikasi dokumen tersebut.
Kalau pemberi kerja pakai pihak ketiga (kayak lembaga pemeriksa latar belakang), mereka wajib bikin perjanjian resmi soal durasi penyimpanan data, metode pemrosesan, dan perlindungan privasi, dan tetap harus dapat persetujuan dari kandidat sebelumnya. Baca lengkapnya di sini.
Tapi ya namanya negara maju ya, aturan buat rakyat sudah dipikirkan sebaik-baiknya. Kalau kita kan…
Terus gimana biar ijazahmu nggak sampai ditahan perusahaan?
Ada tips sedikit biar kamu nggak sampai terjebak di hubungan toksik sama perusahaan yang suka nahan ijazah karyawan. Bisa diterapkan kalau kamu nggak kepepet:
1. Cek Reputasi Perusahaan
Sebelum ngelamar kerja, sebaiknya cek dulu reputasi perusahaan yang buka lowongan. Bisa pakai situs kayak Glassdoor, Jobstreet review, atau menyelam aja LinkedIn, TikTok, X, buat cari testimoni mantan karyawan.
2. Kritis itu Boleh
Kalau pas interview, perusahaan minta ijazah aslimu, langsung tanya aja “Buat apa, Pak, Bu?”. Kritis sedikit sama recruiter.
Gpp, nggak usah takut dibilang cerewet. Daripada nanti terlanjur terjebak di lobang yang salah.
3. Bawa Legalisir Aja
Ijazah asli nggak usah dibawa pas interview. Fotokopi legalisirnya aja cukup. Kalau mereka maksa ijazah asli, minta ada surat pernyataan tertulis kapan dan dalam kondisi apa dokumenmu dikembalikan.
4. Nggak Usah Tergiur Janji Manis
Jangan gampang tergiur sama janji-janji manis para recruiter, sayang. Sebelum benar-benar kerja, pastikan kamu dapat dan paham kontrak kerja, mau itu lisan atau tertulis.
5. Kalau Terlanjur, Lapor Aja
Sekarang, mumpung kasusnya lagi ngangkat, kalau kamu lagi dalam posisi yang sama, cepet-cepet lapor aja. Bisa ke Disnaker di kotamu, serikat pekerja, atau kanal-kanal pengaduan layanan masyarakat kayak aplikasi SP4N LAPOR. Atau ke netizen yang siap bantu viralin. Hehe..

