• About Us
  • Beranda
  • Indeks
  • Kebijakan Privasi
  • Kirim Konten
Friday, December 19, 2025
hipkultur.com
  • Login
  • Register
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
No Result
View All Result
hipkultur.com
No Result
View All Result
Home Isu

Mending Mana, Sertifikasi Halal atau Haram?

Lionita Nidia by Lionita Nidia
30 May 2025
in Isu
0
halal/haram ilustrasi,

halal/haram ilustrasi,

0
SHARES
0
VIEWS
Bagikan di WABagikan di TelegramBagi ke FBBagi ke X

Ayam Goreng Widuran Solo belakangan lagi jadi buah bibir di media sosial media nasional. Bukan karena rasanya yang legendaris, tapi gara-gara pernyataan mengejutkan dari pihak restoran yang mengaku selama ini menggunakan lard alias minyak babi dalam proses menggoreng kremesan ayam mereka.

Yang bikin banyak orang makin gemas, restoran ini bertahun-tahun dikenal sebagai tempat makan “halal”—bahkan katanya sempat memajang tulisan halal di spanduk tokonya. Banyak pengunjung berhijab yang mengaku pernah makan di sana dan nggak pernah sekalipun diperingatkan oleh pegawai soal status makanan mereka. Netizen pun merasa dibohongi.

Isu soal halal-haram Ayam Widuran bukan hal baru. Kalau kamu cari di Google Maps, beberapa ulasan dari tahun-tahun sebelumnya udah banyak yang curiga dengan kehalalan restoran yang berdiri sejak 1973 ini. Tapi karena nggak ada pengakuan langsung, orang cenderung diam (atau mungkin) tetap percaya karena ada label halal di sana.

Kronologi: Isu soal Ayam Goreng Widuran Solo ternyata non-halal ini muncul dari review Google Maps sejak beberapa tahun lalu.

Banyak yang menduga resto ini non-halal karena beberapa hal: disebut pakai minyak babi, kremesannya dicurigai mengandung babi, hingga bumbu masakannya… https://t.co/dR4ORYtiBU pic.twitter.com/xbg6sMfEWz

— Txt dari Kuliner (@txtdrkuliner) May 25, 2025

Kalau memang mereka dulunya terbukti niat mengelabuhi pelanggan dengan memajang label halal—meskipun hanya tulisan di spanduk—pengelolanya bisa kena pasal penipuan. Tapi harus ada yang mengajukan gugatan dulu. Kabarnya sudah ada juga warga yang lapor polisi soal polemik ini. Tapi prosesnya bakal masih panjang.

See, segitu berdampaknya labelisasi produk halal di Indonesia. Di negara mayoritas Muslim kayak kita, label halal sampai bergeser jadi strategi marketing. Bisa langsung ningkatin kepercayaan dan menarik konsumen. Sangat disayangkan, beberapa pengusaha nakal self-claim dengan menempelkan label ini tanpa proses sertifikasi dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Padahal sertifikasi halal itu ada proses panjangnya. Mulai dari audit bahan, proses produksi, kebersihan, sampai penanganan alat-alat dapur. Tapi ya itu tadi, banyak yang pilih jalan pintas—asal makanan nggak kelihatan haram, langsung pasang label halal.

Jadi menurutmu, lebih penting mana, Sertifikasi Halal atau Haram?

Sebenarnya masalah sertifikasi produk sudah jadi perdebatan lama. Ada yang lebih sepakat sertifikasi haram lebih penting, soalnya di negara mayoritas Muslim, semua makanan diasumsikan relatif halal. Maka penyaji makanan non-halal wajib jujur dan terbuka, biar konsumen nggak kecele.

Produk halal di pasaran kan jumlahnya lebih banyak dibanding yang haram. Jadi kalau negara fokus ngatur produk haram aja, pengawasannya (paling tidak) bakal lebih ringan. Produsen tinggal jujur soal komposisi bahan, terus BPJPH atau BPOM bisa cek kebenarannya.

Tapi kebanyakan menyebut, sertifikasi halal bukan cuma jadi penanda biar nggak salah makan. Justru di negara mayoritas Muslim, masyarakat butuh jaminan bahwa produk yang mereka konsumsi sesuai dengan syariat Islam. Maka sertifikasi halal lebih penting biar konsumen merasa aman.

Di laman Halal MUI, akademisi IPB, Prof. Khaswar Syamsu, PhD berpendapat bahwa yang wajib memang sertifikasi halal karena itu bagian dari perlindungan terhadap umat Islam, sesuai prinsip fiqih. Kalau sertifikasi haram, belum punya dasar hukum yang kuat dan dikhawatirkan justru menimbulkan stigma baru.

Beliau menerangkan, dalam Islam, yang haram itu sudah fix dari sananya, kayak bangkai, darah, daging babi, hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah, dan minuman keras. Jadi sudah jelas, nggak butuh lembaga sertifikasi buat ngasih cap “haram.” Toh nggak ada restoran atau pabrik yang bakal repot-repot minta sertifikasi haram buat produk mereka.

Bahan-bahan kayak sayuran segar, ikan, air mineral, dan sejenisnya, semuanya udah termasuk ke dalam positive list—alias bahan yang kehalalannya nggak perlu diragukan. Jadi, mereka pun nggak perlu disertifikasi lagi.

Nah, yang benar-benar butuh proses sertifikasi itu justru produk-produk yang statusnya syubhat—nggak jelas halal atau haram. Misalnya, es krim yang pakai emulsifier (E471, E472, dll), di mana bahan bakunya bisa dari lemak tumbuhan atau hewan, bahkan babi. Kalau kita nggak tahu asal-usul bahan itu, maka statusnya jadi syubhat. Dan syubhat inilah yang perlu “diperjelas” lewat proses audit dan fatwa dari lembaga yang berwenang.

Sertifikasi halal itu mirip kayak ujian. Yang lulus, dapet sertifikat. Yang nggak lulus ya nggak dapat apa-apa. Nggak mungkin juga kita ngasih “sertifikat gagal” atau “ijazah tidak lulus” buat yang nggak lolos. Menurut Prof. Khaswar, analogi ini penting, karena menunjukkan bahwa tujuan sertifikasi adalah menegaskan status produk yang sebelumnya belum jelas.

Aturan soal Label Haram

Sebenarnya, selain bikin sertifikasi halal, negara sudah menyiapkan aturan khusus buat produsen makanan haram. Mereka diminta memajang label haram. Maksudnya bukan kayak stempel resmi gitu, tapi cukup keterangan yang jelas di kemasan bahwa produk tersebut mengandung bahan yang non-halal.

Di Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), pasal 26 ayat 2 menyebutkan bahwa pelaku usaha yang pakai bahan haram wajib mencantumkan keterangan tidak halal di produknya. Aturan ini diperjelas lagi lewat Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Bidang JPH, pasal 110. Di situ ditulis, label non-halal harus gampang dilihat; gampang dibaca; dan nggak gampang dihapus, dilepas, atau dirusak.

dok. suaradewata

Kalau produsen ngeyel nggak mau pasang label haram padahal produknya mengandung bahan yang jelas-jelas diharamkan, siap-siap aja kena sanksi. Ada dua aturan yang mengatur soal ini:

  1. Di UU JPH Nomor 33 tahun 2014 pasal 27 ayat 2, sanksinya bisa berupa: teguran lisan, peringatan tertulis, dan denda administratif.
  2. Di PP 42/2024 pasal 185, sanksinya lebih tegas: produknya harus ditarik dari pasaran sampai label haram-nya dicantumkan. Bahkan BPJPH bisa mengumumkan pelanggaran ini ke publik lewat media sosial, media elektronik, atau cetak.

Sekali lagi, label haram bukan pengganti sertifikasi halal. Ini cuma aturan pendukung biar konsumen punya informasi yang jelas. Sertifikasi halal tetap jadi keharusan untuk produk yang diklaim halal, sementara produk haram cukup dikasih label aja. Jadi keduanya bisa jalan bareng, bukan saling menggantikan.

Apa Sertifikasi Haram bisa lebih praktis?

Sertifikasi halal adalah status yang ditentukan lewat proses panjang dan harus sesuai dengan syariat Islam, mulai dari bahan, pengolahan, penyimpanan, sampai distribusi dan penyajian. Semua tahapan itu harus bersih dari kontaminasi najis atau bahan haram, dan diproses dengan cara yang benar juga.

Industri makanan zaman sekarang semakin kompleks. Bahan baku bisa diproses berkali-kali sebelum sampai jadi makanan utuh. Proses distribusinya juga panjang, dan di situ risiko terkontaminasi produk haram bisa saja kejadian. Jadi, kalau kita cuma mengandalkan label “tidak mengandung bahan haram”, belum tentu produknya beneran halal.

Pasar makanan halal Indonesia bukan cuma domestik, tapi juga menyasar ekspor ke negara-negara mayoritas Muslim. Negara-negara itu biasanya mensyaratkan sertifikat halal dari negara asal sebelum barang bisa masuk.

Jadi kalau tiba-tiba diganti jadi sertifikat haram, kita harus negosiasi ulang persyaratan ekspor sama mitra dagang, produsen perlu ngurus keterangan halal dulu biar bisa jualan ke luar negeri.

Kalau sertifikasi diganti sekarang-sekarang ini, ya nggak lebih praktis juga. Soalnya sistem sertifikasi halal bukan cuma soal keyakinan atau regulasi domestik, tapi juga nyambung langsung ke potensi bisnis besar dan relasi dagang internasional.

Yang paling realistis sekarang mungkin adalah menuntut transparansi dari pemilik usaha. Jangan sembarangan nempelin label halal dong kalau nggak lewat jalur resmi. Jangan menutupi fakta bahwa makananmu non-halal demi mengejar pasar. Mari saling menghargai.

Tags: isulagiramemakanan
Previous Post

Single: “Belum Bernyali (Acoustic Version)” – Harra, Menyelami Ruang Rapuh Bersama

Next Post

Di Balik Tren Brainrot, Konten yang Nggak Jelas Tapi Populer Pol

Next Post
Ilustrasi kumpulan grafis random representasi brainrot

Di Balik Tren Brainrot, Konten yang Nggak Jelas Tapi Populer Pol

Please login to join discussion

Daftar Putar

Recent Comments

  • Bachelor of Physics Engineering Telkom University on Simak Pengertian Psikologi Menurut Para Ahli Berikut Ini
  • Ani on Simak Pengertian Psikologi Menurut Para Ahli Berikut Ini
  • About Us
  • Beranda
  • Indeks
  • Kebijakan Privasi
  • Kirim Konten

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.