Wednesday, May 21, 2025
Kirim tulisan
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
No Result
View All Result
  • Login
  • Register
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
No Result
View All Result
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
Makan bergizi gratis sukses.

Makan Gratis Sukses, Keracunan Cuma Bonus Statistik

by Hipmin
9 May 2025
in Isu
A A
0
SHARES
0
VIEWS
Bagikan di WABagikan di TelegramBagi ke FBBagi ke X

Pak Presiden, Prabowo Subianto baru menyampaikan kabar baik soal program unggulannya, Makan Bergizi Gratis (MBG). Menurutnya, program ini sudah berhasil. Buktinya tingkat keracunan cuma 0,005 persen. Alias cuma dua ratusan anak dari tiga juta lebih penerima manfaat yang sempat muntah-muntah, pusing, atau diare.

Itu pun katanya hanya lima orang yang harus dirawat inap. Artinya 99,99% program ini tidak membuat orang masuk rumah sakit. Oke dong.

“Berarti keberhasilannya adalah 99,99%, dimana ada usaha, usaha manusia di mana bidang kerjaan apapun kalau 99,99% keberhasilanya oke dong?” kata Prabsky, sapaan sayang warganet kepadanya, waktu rapat kabinet di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin, 5 Mei 2025.

Nggak lupa, Presiden juga membela program ini dengan hipotesis ilmiah: mungkin para siswa keracunan bukan karena makanannya, tapi karena nggak pakai sendok atau lupa cuci tangan. Mungkin. Bisa jadi. Siapa tahu.

“Tidak salah karena terbiasa makan tidak pakai sendok. Namun, kami mendidik dia untuk cuci tangan. Jadi bisa saja yang keracunan adalah hal-hal seperti itu,” sebutnya, dikutip Tempo.

Presiden melanjutkan cerita pengalamannya waktu meninjau MBG di salah satu sekolah, ada 10 dari 30 anak yang pilih nggak pakai sendok. Selain perkara alat makan, kasus keracunan juga diperkirakan karena anak-anak nggak mau minum susu—menu pelengkap makan gratis.

Tentu saja, nggak semua setuju sama pendekatan “persen-persenan” ini. Direktur Kebijakan Publik Lembaga Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Iskandar, bilang, nyawa itu bukan perkara angka.

“Satu nyawa saja tidak bisa dinilai dengan angka statistik. Tidak bisa dibilang hanya sebagian kecil dari keseluruhan,” kata Media Wahyudi Iskandar kepada Kompas.com.

Pernyataan Kepala Negara ini juga bikin warganet di X marah-marah. Mungkin ini yang dimaksud dengan revolusi mental. Kita diminta berpikir statistik sebelum berpikir empati. Karena kalau cuma 0,005% yang keracunan, artinya sisanya sehat. Kalau sehat, artinya programnya berhasil.

Aku pernah lihat seorang ibu menangis sepanjang malam karena anaknya keracunan. Ia berdoa ingin menukar derita si anak, daripada harus melihatnya kesakitan. Bagi si ibu dan keluarganya, derita satu anak adalah tragedi mengerikan. Bagi presiden 200 anak keracunan hanya statistik. https://t.co/2nee4uR0o6

— dhn 🌧️🌼 (@arman_dhani) May 6, 2025

Jadi sekarang kita tahu: kalau mau selamat dari keracunan MBG, cukup pakai sendok. Atau mungkin, sekalian saja bawa peralatan makan pribadi, termasuk mangkok, sarung tangan, dan alat uji laboratorium kecil.

Karena siapa tahu, faktor keberhasilan program ini lebih banyak ditentukan oleh perilaku makan siswa daripada kualitas makanan yang dibagikan.

Memang sejak pertama diumumkan, program MBG sudah menuai pro dan kontra. Pujian yang muncul nggak jauh-jauh dari inisiatif baik pemerintah buat mengatasi malnutrisi dan stunting.

Tapi banyak ekonom, pemerhati kebijakan publik, sampai guru-guru di lapangan mempertanyakan kesiapan sistem distribusinya, juga kualitas dan porsi makanan yang kurang memadai buat mengatasi malnutrisi. Belum lagi soal anggaran jumbo yang dipakai untuk membiayai program ini. Sampai harus efisiensi sana-sini.

Meskipun diserbu badai kritikan, sampai 200 hari kepemimpinan Prabsky (Kamis, 8 Mei 2025), program ini tetap jalan terus.

Lalu ketika kasus-kasus keracunan mulai muncul di berbagai daerah, reaksi pemerintah hanya berkutat di angka.

Setidaknya ada 10 kasus keracunan makan gratis yang sudah tercatat laporan media.

doc. Reuters/Willy Kurniawan

Sukoharjo (16 Januari 2025), sebanyak 50 siswa  SDN Dukuh 03, Sukoharjo, Jawa Tengah mengalami mual, muntah, dan pusing habis makan menu MBG.

Nunukan (20 Januari 2025), lebih dari 30 siswa SDN 003 Nunukan Selatan, Kalimantan Utara mual, sakit perut dan diare setelah makan ayam kecap MBG.

Waingapu (18 Februari 2025), 29 siswa SDK Andaluri, Sumba Timur mual dan muntah setelah makan menu MBG. Kata sejumlah siswa, makanan yang dikonsumsi rasanya basi dan nggak enak.

Pandeglang (19 Februari 2025), 28 siswa SDN 2 Alaswangi, Menes keracunan habis makan nasi, ayam, buncis, tempe, semangka di menu MBG. Satu siswa bahkan harus dilarikan ke Puskesmas.

Empat Lawang (19 Februari 2025), delapan siswa SDN 7 Tebing Tinggi, Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan dibawa ke Puskesmas usai mual muntah setelah makan menu MBG. Katanya lauk ikan di menu tsb diduga mengandung belatung.

Batang (18 Maret 2025), ada 60 siswa SDN Proyonanggan 5 Batang yang mengalami mual dan sakit perut habis mengonsumsi makanan program MBG. Gejalanya baru terasa setelah mereka pulang ke rumah.

Cianjur (21 April 2025), 78 siswa dari 2 sekolah keracunan massal setelah makan menu MBG. Dinkes setempat sampai menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB).

Bombana (23 April 2025), 13 siswa SDN 33 Kasipute, Bombana, Sulawesi Tenggara muntah dan sakit perut habis makan paket MBG yang isinya nasi, chicken karage, tahu goreng, dan sayur sop.

Bandung (29 April 2025), 342 siswa SMPN 35 Bandung keracunan setelah makan paket MBG yang diduga sudah basi, ada bau nggak enak.

Tasikmalaya (30 April 2025), puluhan siswa SDN 2 & SMPN 1 Rajapolah alami gejala mual, muntah, diare setelah makan daging ayam, sayur, labu, tahu, dan jagung di MBG. 19 di antaranya dirawat di puskesmas.

Tapi sekali lagi, karena hanya ratusan dari jutaan, maka masuk kategori kurang signifikan. Cuma 0,005 persen, kan?

Kalau gitu, apa berarti, sama dengan: layanan UGD di sebuah Rumah Sakit dinilai baik karena hanya ada satu dari seribu pasien yang meninggal? Pabrik mobil professional dan kompeten karena cuma dua dari sepuluh ribu unit yang remnya blong? Sekolah unggul karena hanya dua siswa yang nggak bisa baca setelah mereka lulus?

Vendor Belum Dibayar

doc. merdeka.com/Arie Basuki

Belum lagi, kasus vendor makanan program MBG yang ngaku belum dibayar sama pemerintah.

Bahkan ada mitra dapur dari Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Kalibata, Jakarta Selatan, Ira Mesra, yang mengaku mengalami kerugian sampai hampir Rp1 miliar—tepatnya Rp975.375.000—karena belum menerima bayaran sepeser pun sejak mulai memasak Februari 2025.

Kuasa hukumnya, Danna Harly Putra, bilang kalau Ira sudah menyuplai sekitar 65.025 porsi makanan dalam dua tahap. Tapi alih-alih dapat transferan, yang datang malah beban operasional. Ira harus menanggung sendiri semua biaya. Dari beli bahan pangan, sewa tempat, bayar listrik, alat dapur, sampai gaji juru masak. (Tempo, 17/4/2025)

Yang bikin tambah pelik, Ira baru tahu belakangan kalau harga per porsi ternyata beda-beda tergantung jenjang pendidikan.

Untuk PAUD sampai SD kelas 3 seharusnya hanya Rp13.000, sementara SD kelas 4 hingga 6 dihargai Rp15.000. Padahal, dalam kontrak awal, disebutkan semua jenjang dapat jatah Rp15.000. Ira pun sudah terlanjur menyajikan semua porsi dengan kualitas Rp15.000. Karena merasa dirugikan, pihak Ira berencana menempuh jalur hukum.

Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana buka suara. Dia mengklaim kalau pihaknya sudah memenuhi kewajiban pembayaran ke SPPG Pancoran lewat transfer ke rekening Virtual Account milik Yayasan MBN—yayasan pelaksana program ini.

Dadan juga menyebut bahwa BGN sudah duduk bareng sama pihak yayasan, mitra, dan kepala SPPG buat evaluasi dan ngecek penyaluran dana yang katanya sudah dilakukan itu.

Statistik memang penting untuk mengukur dampak, tapi bukan tameng buat menghindari akuntabilitas. Apalagi ini kan urusan makan—hal paling dasar dan sensitif dalam kehidupan anak-anak.

Dipikir lagi, justru karena ini makanan gratis untuk anak-anak, kualitasnya seharusnya jauh lebih dijaga, kan? Biar generasi penerus bangsa tumbuh dengan sehat, cerdas, dan bermartabat.

Kalau program sebesar MBG dijalankan tanpa cukup transparansi, evaluasi serius, dan respons cepat atas insiden, keberhasilan yang diklaim bisa jadi cuma ilusi angka.

Ya sudah. Rakyat cuma bisa berdoa. Karena kritik dan pendapat biasanya cukup didengar saja. Jangan lupa, besok bawakan anak-anak sendok dan alat makan sendiri sebelum makan gratis, ya.

SendShareShareTweet

Tulisan Lainnya

Isu

Plastik Itu Susah Didaur Ulang, Ngapain Masih Dipakai?

18 May 2025
Isu

Mitos & Fakta, Benarkah Barak Militer Bikin ‘Anak Nakal’ Jadi ‘Jinak’?

10 May 2025
Isu

Vasektomi Dulu, Baru Dibantu?

5 May 2025
Isu

Masih Soal Ijazah, Tapi Kali Ini Milik Karyawan RI Nomor Satu yang Ke-7

28 April 2025
Next Post

Mitos & Fakta, Benarkah Barak Militer Bikin ‘Anak Nakal’ Jadi 'Jinak'?

Music Video: “Me vs the Killing Comfort” dari Enitine, Bertema Hubungan Toksik

Pameran: Void/Vision 2025, Kolaborasi Seni Digital Audio Visual

Single: “Bertahan” – Inveigh, Keluh Kesah Pekerja yang Sedang Jenuh

Please login to join discussion

© 2025 hipKultur.com

Opsi Lainnya

  • About
  • Contact

Ikuti

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
  • Login
  • Sign Up
Kirim Tulisan
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
No Result
View All Result

© 2025 hipKultur.com