Kamu pernah duduk di kursi plastik satu warna—umumnya putih—yang punya empat kaki dan biasanya ada pegangan tangan di kanan kiri? Kalau nggak pernah, minimal pernah lihat lah. Kursi itu biasanya ada di teras rumah, warung, hajatan, kantor kelurahan, tempat coblosan, pinggir pantai, dan banyak lagi.
Mungkin ada yang belum tahu, kursi itu dikenal dengan nama Monobloc Chair. Salah satu furnitur paling populer di dunia. Sah diduduki siapa saja. Ringan, tahan banting, serbaguna, gampang dibersihkan, dan murah.
Kursi Monobloc jadi simbol era konsumerisme yang menjunjung tinggi barang murah dan produksi massal.
Nama “Monobloc” berasal dari bahasa Prancis: mono (satu) dan bloc (blok). Maksudnya adalah cara produksinya dibentuk dalam satu bagian utuh tanpa sambungan.
Sampai sekarang sebetulnya belum ada yang dipatenkan sebagai penemu kursi ini. Tapi katanya, konsep Monobloc pertama kali dicetuskan tahun 1946 oleh desainer Kanada, D.C. Simpson. Sayangnya, waktu itu teknologi cetaknya belum cukup canggih buat produksi massal.
Jauh sebelum Monobloc jadi kursi sejuta umat, ada satu desain legend yang dianggap sebagai nenek moyangnya, yaitu Kursi Panton, karya Verner Panton.
Kursi berbentuk S ini sebenarnya pakai teknik produksi yang mirip sama Monobloc, dicetak dalam satu bagian (one-piece molding). Bedanya, bahan yang dipakai awalnya adalah fiberglass yang diperkuat polyester. Terlalu mahal dan eksklusif, lebih cocok buat kolektor atau museum daripada buat dipakai sehari-hari.
Ide bikin kursi yang lebih merakyat tercetus setelah desainer Prancis Henry Massonnet memperkenalkan kursi Fauteuil 300. Dia berhasil menyempurnakan teknologi cetakan sehingga waktu produksi kursi bisa dipangkas jadi kurang dari dua menit. Artinya, kursi ini bisa diproduksi dalam jumlah besar dengan budget super terjangkau.
Di tahun 1980-an, Monobloc makin nge-hits setelah perusahaan Prancis, Grosfillex, mengeluarkan versi yang lebih murah dan cocok buat penggunaan outdoor.
Desainnya mulai banyak ditiru, tapi inti produksinya tetap sama. Dibuat dari sepotong polipropilena yang dipanaskan sampai 220°C, lalu disuntikkan ke dalam cetakan yang membentuk kursi utuh cuma dalam 70 detik.
Tadaa~ jadilah kursi plastik yang ergonomis, ringan, dan bisa dijual dengan harga miring.
Enaknya lagi, Monobloc bisa diproduksi dalam skala besar dengan tenaga kerja yang minimal. Walaupun cetakannya mahal, sekali jalan bisa bikin ribuan kursi dalam waktu singkat. Produsen masih bisa untuk meski dijual murah.
Utak-atik Desain Kursi Plastik
Ada beberapa desain kursi plastik yang jadi batu loncatan Monobloc, kayak Kursi Bofinger (1964–1966) karya Helmut Bätzner, pertama kali diproduksi dengan teknik cetakan injeksi satu bagian.
Terus ada Kursi Selene (1961–1968) karya Vico Magistretti, terbuat dari plastik diperkuat serat kaca—ringan, bisa ditumpuk, dan mudah dipindahkan.
Sejak kesuksesan Panton Chair di tahun 1960-an, banyak juga desainer mulai bereksperimen dengan kursi plastik cetakan satu bagian alias monobloc ini.
Contohnya Tip Ton Chair karya Edward Barber dan Jay Osgerby. Kursi ini punya desain goyang yang katanya bisa bantu memperbaiki postur tubuh.
Ada juga La Maria, kursi yang dirancang oleh Philippe Starck untuk Kartell pada tahun 1998. Ini adalah salah satu kursi polikarbonat pertama yang nggak cuma kuat, tapi juga terlihat stylish.
Lama kelamaan, dari yang awalnya dianggap sebagai inovasi besar dalam dunia desain, Monobloc Chair mulai dikritik karena menimbulkan polusi plastik.
Para desainer akhirnya coba menciptakan versi Monobloc yang lebih ramah lingkungan. Misalnya, ada Cafè Chair buatan Campana Brothers dari Brasil dan Respect Cheap Furniture karya desainer Spanyol, Martì Guixé, yang keduanya dirancang pada tahun 2006.
Baru-baru ini, desainer Konstant Grcic juga ikut turun tangan. Dia merancang ulang Monobloc Chair pakai polipropilena daur ulang. Jadi kursinya nggak cuma murah dan fungsional, tapi juga lebih ramah lingkungan.
Monobloc untuk Semua
Monobloc akhirnya bukan cuma jadi furnitur fungsional, tapi merambah ke budaya pop. Desainnya yang minimalis dan estetik bikin kursi ini masuk ke museum desain dan jadi bahan diskusi di kalangan arsitek.
Saking ikoniknya, Monobloc pernah dipamerkan di Museum Desain Vitra pada 2017 dalam pameran berjudul “Monobloc – A Chair for the World“. Lewat 20 objek pilihan, pameran itu menelusuri perkembangan Monobloc dari waktu ke waktu, juga bagaimana kursi ini dipandang di berbagai tempat.
Monobloc punya makna yang berbeda di tiap negara. Di beberapa tempat, kursi ini dianggap barang murah dan sekali pakai. Tapi, di tempat lain, Monobloc malah jadi barang berharga yang diperbaiki kalau rusak. Monobloc juga jadi simbol desain yang nggak terikat aturan klasik, alias bebas dan fleksibel.
Kursi ini sering seliweran di berbagai film dan acara TV. Bahkan Monobloc dibikinin film dokumenter sendiri, Monobloc (2022), karya Hauke Wendler. Isinya mengeksplor perjalanan kursi ini di lima benua dan dampaknya terhadap miliaran orang.
Terus jadi bahan eksperimen seni di Venice Biennale 2024. Seniman Rusia, Kuril Chto, mengubah Monobloc jadi karya konseptual yang melambangkan hubungan manusia dan kemurahan hati.
Ethan Zuckerman, pakar media dari MIT, pernah bilang kalau Monobloc adalah benda tanpa konteks.
Kalau benda lain, kayak TV, baju, jam tangan, sepatu, bisa memberi petunjuk dari mana asalnya atau di era apa, Monobloc Chair justru sebaliknya. Orang yang ngelihat kursi ini dalam foto, nggak akan tahu apa gambar itu diambil di Indonesia tahun 2000-an atau di Brasil tahun lalu.
Meskipun cuma kursi plastik, Monobloc punya peran besar dalam kehidupan banyak orang.
Di India misalnya, kursi ini jadi bagian wajib dalam acara pernikahan dan festival. Di Uganda, kursi plastik ini bahkan dimodifikasi jadi kursi roda murah yang membantu jutaan orang sakit.
Sekarang, kira-kira sudah ada miliaran Monobloc Chair yang diproduksi di seluruh dunia. Dan mungkin, selama masih ada kehidupan manusia, kursi plastik sederhana ini juga akan terus berjaya~