Olahraga idealnya adalah kegiatan murah meriah yang bisa dilakukan siapa saja. Niat, gerak, keringetan, selesai. Tapi kekinian, olahraga mulai kerasa mendekati hobi eksklusif. Kalau nggak dilengkapi outfit branded, alat canggih, atau postingan estetik, rasanya kureng.
Sebelum olahraga jadi ajang flexing gaya hidup, tubuh kuat dan lincah sebenarnya sudah jadi kebutuhan dasar manusia sejak zaman purba.
Menurut Dr. Hariyoko dalam bukunya Sejarah Olahraga dan Pendidikan Jasmani Indonesia, masyarakat awal di Nusantara adalah gabungan penduduk asli dan pendatang dari Indo-Cina. Mereka hidup dari bertani, beternak, dan berburu. Aktivitas tsb jelas nggak bisa dilakukan sambil rebahan.
Kondisi hidup yang keras bikin mereka mengandalkan fisik sebagai kunci bertahan hidup. Lari kejar hewan buruan, angkat alat dari batu, sampai bela diri lawan musuh. Olahraga pada masa itu tujuannya bukan membakar kalori demi body goals, tapi agar nyawa tetap selamat. Bahkan kekuatan fisik dianggap jadi modal penting untuk menjaga eksistensi kelompok, dari kecepatan gerak, kekuatan otot, sampai kemampuan refleks di situasi darurat.
Setahun belakangan, bermunculan segala macam olahraga hits yang—kalau diikuti dengan niat—butuh biaya yang nggak murah. Kayak gini contohnya:
Lari
Lari sebenarnya olahraga yang gampang dan merakyat. Modalnya cukup niat dan sepasang sepatu. Tapi hari ini, realitasnya jauh lebih bergaya. Popularitas ajang lomba kayak marathon, half marathon, dan fun run, lengkap dengan race pack, medali, dan jersey, bikin lari jadi ajang prestise.

Sepatu lari sekarang bentuknya futuristik, harganya bisa setara satu bulan cicilan motor. Belum lagi kalau kamu ikut lomba marathon. Perlu tampil maksimal dengan jersey quick-dry yang warnanya nyala biar bagus kalau difoto. Jam tangan yang bisa ngitung pace dan denyut jantung juga bisa jadi syarat wajib.
Jumlah pelari di Indonesia pun terus meningkat. Data dari produsen jam tangan lari, Garmin bilang, jumlah pengguna aplikasi mereka yang aktif berlari naik dari 35 ribu ke 80 ribu cuma dalam setahun.
Soal sepatu bahkan bukan lagi urusan kenyamanan. Sekarang ada sepatu lari buat semua level ambisi. Dari yang niatnya cuma lari 5K santai sampai yang mau ngejar personal best di full marathon. Makin banyak teknologinya—kayak foam super empuk, plat karbon, atau desain aerodinamis—makin tinggi juga harganya. Apalagi kalau dari brand kayak Nike, adidas, Asics, Hoka, atau Saucony. Harga jutaan udah standarnya, belum lagi kalau kamu tergoda buat koleksi warna baru tiap quarter.
Orang-orang akhirnya mulai ikutan tren invest beli printilan lari meski mahal. Kalau nantinya balik modal, hasilnya kelihatan, rutin dilakukan, tubuh lebih bugar, ya worth it. Tapi kalau cuma karena FOMO, kayaknya kamu perlu nabung lagi.
Pilates
Pilates, terutama yang versi reformer (pakai alat semacam ranjang berpegas), sekarang jadi langganan para influencer. Gerakannya kelihatan kalem, tapi fyi, kalau lihat harganya kamu mungkin akan terkejut kecil.
Studio-studio pilates ini biasanya tersembunyi di lantai dua ruko minimalis dengan dominasi warna putih dan tanaman gantung. Biaya per sesinya nggak main-main, belum termasuk set legging-sportbra yang wajib branded kalau nggak mau dianggap asal datang. Badan sih makin lentur, tapi kalau nggak hati-hati, dompetmu bisa kaku.

Sebelum Pilates jadi olahraga hits nan estetik yang ramai di-feed, sebenarnya metode ini sudah eksis sejak awal abad ke-20. Dikembangkan oleh Joseph Pilates, olahraga ini awalnya dirancang sebagai teknik pemulihan cedera, khususnya buat para penari profesional.
Makanya, gerakan-gerakannya banyak yang fokus pada kekuatan inti, stabilitas otot, dan kontrol pernapasan. Sekilas memang mirip yoga, tapi keduanya punya pendekatan yang beda. Kalau yoga berakar dari praktik spiritual dan meditasi, Pilates lebih ke arah teknik tubuh yang presisi dan sistematis.
Meskipun usianya sudah hampir seabad, Pilates justru makin populer sekarang. Salah satu alasannya karena fleksibel banget. Pilates bisa disesuaikan dengan usia, jenis kelamin, kondisi tubuh, sampai level kebugaran kamu. Mau kamu pemula atau atlet, muda atau senior, boleh coba.
Tenis
Tenis naik daun lagi sejak jadi hobi artis-artis dan selebgram. Dulu, ini juga jadi olahraga favorit bangsawan. Awalnya, tenis berasal dari permainan kuno Prancis abad ke-12 yang bernama jeu de paume, yang artinya “permainan telapak tangan.”
Zaman dulu, bola dipukul pakai tangan telanjang. Belum ada raket, belum ada sepatu sport high-tech. Lama kelamaan, permainan ini berevolusi jadi “tenis sungguhan” alias real tennis, yang hingga kini masih dimainkan di Inggris, Australia, dan beberapa tempat lain dalam versi yang lebih klasik.
Tenis versi modern yang kita kenal sekarang, dikenal sebagai tenis lapangan, pertama kali mencuri perhatian masyarakat Inggris pada tahun 1800-an. Waktu itu, pria dan wanita era Victoria dengan busana penuh renda dan topi lebar tampil anggun (dan super ribet) sambil memukul bola di lapangan rumput. Sejak awal olahraga ini emang punya aura eksklusif.

Seiring waktu, tenis berkembang jadi olahraga global hits. Popularitasnya makin meroket di tahun 1970-an berkat siaran televisi dan munculnya atlet-atlet ikonik kayak Björn Borg, John McEnroe, atau Martina Navratilova. Waktu itu, tenis mulai jadi tontonan bergengsi.
Sekarang, tenis dimainkan jutaan orang di seluruh dunia, mulau klub elite sampai lapangan umum. Buat kamu yang tertarik ikut tren ini, siap-siap merogoh kocek cukup dalam.
Selain sewa lapangan, kamu juga perlu beli raket (dari ratusan ribu sampai jutaan), sepatu khusus, dan kostum olahraga yang decent enough biar nggak dikira numpang lewat. Dan jangan lupa bayar pelatih, kalau kamu pengin benar-benar bisa ace lawan dan bukan cuma ikutan gegayaan.
Padel
Padel, olahraga raket-based yang baru-baru ini booming, terutama di kalangan ekspat dan sosialita. Kombinasi antara tenis dan squash ini memang seru, tapi juga eksklusif. Lapangan padel belum sebanyak lapangan futsal. Karena langka, otomatis mahal.
Belum termasuk raket khusus padel—yang tentu saja nggak bisa diganti raket tenis biasa. Kalau belum punya circle yang rutin main padel, rasanya agak susah ikut nimbrung. Soalnya ini juga jadi ajang networking kelas atas.

Olahraga ini lagi meledak hampir di seluruh dunia. Mulai dari David Beckham, Serena Williams, sampai Presiden Prancis Emmanuel Macron pun ketahuan pernah main padel. Sampai disebut-sebut sebagai salah satu cabang olahraga dengan pertumbuhan tercepat di dunia—terutama di Eropa, Amerika Latin, Amerika Serikat, Timur Tengah, sampai Asia.
Menariknya, padel awalnya bukan diciptakan oleh atlet atau pelatih olahraga, tapi oleh pasangan suami-istri asal Meksiko, Viviana dan Enrique. Waktu itu, mereka yang kebetulan lagi gabut pas liburan, iseng bikin permainan ini. Eh sekarang malah mendunia.
Secara teknis, padel memang mirip tenis. Skornya pun sama. Tapi ukuran lapangannya lebih kecil, bentuknya semi-tertutup, dan bolanya bisa mantul ke dinding, bikin permainan ini jadi lebih interaktif dan cepat.
Mainnya pun selalu berdua alias ganda, dengan raket padat tanpa senar dan servis dari pinggang. Jadi, selain butuh stamina, kamu juga butuh partner yang nggak gampang panik tiap bola mental ke arah tembok.
Begitulah, padel sekarang jadi simbol gaya hidup baru yang (nggak bisa dipungkiri) juga cukup boros kalau kamu pengen tampil all out.
Pound Fit
Kalau kamu suka olahraga hits yang rame-rame dengan musik keras dan lampu warna-warni, pound fit cocok dicoba. Seru, energik, dan tentu saja, penuh gaya. Pulang dari kelas, badan pegal, tapi isi galeri HP penuh video boomerang.
Ini olahraga kardio yang dikemas seru ala nge-drum. Stik-nya disebut Ripstix dan kamu akan ngebeat bareng musik EDM atau hip-hop. Tapi, jangan salah, di balik stik drum warna hijau stabilo itu, ada kisah dan kalori yang cukup serius dibakar.

Pound Fit pertama kali dikenalkan di Amerika Serikat tahun 2011 oleh dua perempuan, Cristina Peerenboom dan Kirsten Potenza. Mereka adalah pemain drum dan atlet kampus yang suka olahraga, tapi juga gampang bosen.
Karena pilates mulai kerasa monoton, mereka iseng nyambungin gerakan drumming ke sesi workout. Lahirlah Pound Fit.
Pound Fit juga termasuk dalam kategori aerobik, alias olahraga yang meningkatkan detak jantung dan membantu membakar kalori secara konsisten.
Menurut pakar seperti Dr. R. Muharam dkk., jenis olahraga ini sejajar manfaatnya dengan lari, berenang, atau bersepeda.
Selain itu, kelas Pound Fit juga digadang-gadang bisa menurunkan stres, ningkatin sistem imun tubuh, sampai bantu nurunin tekanan darah. Yang bikin makin menarik, olahraga ini diklaim aman dan cocok buat semua usia. Jadi, kamu bisa ajak mama ikut kelas bareng.
Cuma ya gitu… biayanya lumayan. Per sesi di studio-studio hits bisa mulai dari Rp75 ribu sampai Rp150 ribu tergantung lokasi, pelatih, dan seberapa fancy tempatnya. Belum lagi kalau kamu naksir Ripstix pribadi, outfit matching dari ujung kepala sampai sepatu, dan booking kelas dengan background LED aesthetic.
Aerial Yoga
Yoga udah nggak cukup kalau cuma duduk di matras. Sekarang zamannya gantung diri di kain yang menjuntai dari langit-langit—namanya aerial yoga. Gerakannya cantik, hasil fotonya juga estetik.
Dalam praktik tradisional yoga ribuan tahun lalu, para yogi sudah terbiasa menggantungkan diri—secara harfiah. Beberapa teks dan lukisan kuno dari India menggambarkan pertapa yang bermeditasi sambil bergelantungan di pohon dalam posisi terbalik. Ngeri-ngeri sakral.

Tapi, bentuk aerial yoga seperti yang kita kenal hari ini baru benar-benar muncul di budaya barat sekitar era 1990-an. Salah satu tokoh penting yang punya andil besar dalam evolusinya adalah B.K.S Iyengar, guru yoga legendaris yang mempopulerkan penggunaan alat bantu dalam yoga. Dia menciptakan swing sederhana dari kain dan tali sebagai bagian dari terapi inversi—praktik menggantung terbalik untuk meredakan tekanan pada tulang belakang dan melancarkan sirkulasi.
Dari eksperimen awal Iyengar ini, praktik inversi mulai berkembang dan bahkan sempat digunakan sebagai terapi medis sebelum akhirnya masuk ke dunia yoga. Tahun 2003, lahirlah Gravotonics Yoga Swing di Bali. Alat ini jadi pionir modern yang membawa yoga berbasis suspensi ke panggung global.
Sekarang, alat utama dalam kelas yoga aerial dikenal sebagai hammock aerial, kain selempang besar berbahan nilon Teslon sepanjang 6 meter yang digantung dari langit-langit.
Tapi, harga kelasnya bisa dua kali lipat dari yoga biasa, belum kain gantungnya sendiri yang harganya nggak bisa dibilang murah. Studio-studio aerial yoga biasanya punya lighting lembut dan sudut foto yang Instagrammable. Di sinilah kamu bisa merasakan kedamaian… dan juga pelan-pelan melihat isi tabungan melayang.
Gowes
Bersepeda atau gowes sempat jadi hobi massal pas zaman pandemi. Tapi sekarang, tren gowes berubah haluan jadi ajang pamer gear. Roadbike dengan frame karbon, jersey aero fit, helm yang bentuknya mirip pelindung pesawat tempur, dan tentu saja sepatu klip-in yang nggak bisa dipakai ke Indomaret. Komunitasnya asik, tapi kadang juga kompetitif. Dari segi kecepatan sampai jumlah upgrade part.
Di masa lalu, 31 Mei 1868, olahraga ini memulai debut resminya dengan lomba sepanjang 1.200 meter di Taman Saint-Cloud, dekat Paris. Pemenangnya James Moore, anak 18 tahun asal Inggris yang tinggal di Paris. Sejak itu, roda sejarah bersepeda terus berputar kencang.
Tahun 1890-an, waktu jalanan mulai membaik dan balapan-balapan legendaris bermunculan, Eropa mulai demam sepeda. Paris-Roubaix jadi salah satu ikon balapan satu hari yang masih eksis sampai sekarang. Di 1903, Tour de France lahir dan tumbuh jadi ajang adu tangguh yang ditonton seluruh dunia (kecuali saat Perang Dunia, tentu saja—itu pun sepeda masih dipakai buat perang).
Tapi bersepeda nggak melulu soal balapan. Habis era kompetisi, lahirlah budaya gowes santai, alias bersepeda rekreasi. Di akhir abad ke-19, sepeda jadi kendaraan kebebasan. Laki-laki dan perempuan bisa gowes bareng tanpa pengawasan ketat, terutama setelah munculnya desain sepeda yang lebih nyaman seperti Rover Safety.
Sekarang gowes udah jadi gaya hidup urban. Di Indonesia, sepeda bisa jadi fashion statement, komunitas elit, atau sekadar alasan buat beli jersey full sponsor biar kayak atlet. Mau sepeda lipat, sepeda balap, sampai sepeda gravel, ada semua. Tinggal dompetmu siap atau nggak buat ikut putaran roda tren ini.
Gym
Gym masih jadi salah satu olahraga hits. Tren sekarang bikin gym makin mirip studio konten. Interior industrial, cermin besar, lampu neon “no pain no gain”, dan lagu-lagu remix jadi standar.
Banyak orang datang ke gym bukan cuma buat angkat beban, tapi juga buat foto mirror selfie. Membership-nya ada yang murah, tapi kalau kamu pengin gym dengan fasilitas lengkap plus trainer pribadi, siap-siap keluar biaya yang nggak kecil. Outfit pun wajib matching.

Sebelum gym jadi tempat nge-pose bareng dumbel atau nge-story treadmill, sejarah pusat kebugaran sudah dimulai ribuan tahun lalu—bahkan sejak zaman Yunani Kuno. Waktu itu, gymnasium bukan cuma tempat buat angkat beban atau bakar kalori, tapi juga ruang belajar, diskusi filsafat, dan pengembangan diri.
Lompat ke tahun 1799, seorang bernama Franz Nachtegall di Denmark bikin klub senam privat yang katanya jadi cikal bakal pusat kebugaran modern. Lalu muncul Frederick Ludwig Jahn di Jerman, yang dijuluki bapaknya senam modern. Ia bikin Turn, klub senam dengan nuansa sosial dan patriotik. Di sinilah lahir berbagai alat latihan yang sekarang jadi andalan gym: palang sejajar, palang horizontal, kuda pelana, dan tangga.
Puncaknya tahun 1848, visioner bernama Hipplyte Triat mendirikan Gymnase Triat di Brussels (kemudian pindah ke Paris). Triat jualan saham buat danai gym-nya, dan pemilik saham bisa tukar buat ikut kelas atau bayar membership.
However, nggak salah sih mau olahraga sambil bergaya. Semua orang berhak tampil keren dan sehat dalam waktu bersamaan.
Tapi kalau tiap kali mau mulai olahraga harus buka dompet dulu dan mikir, “Ini worth it nggak, ya?”, mungkin kamu memang perlu refleksi. eh.. jangan-jangan yang bikin capek bukan gerakannya, tapi tuntutan gaya hidup di baliknya.

