• About Us
  • Beranda
  • Indeks
  • Kebijakan Privasi
  • Kirim Konten
Friday, December 19, 2025
hipkultur.com
  • Login
  • Register
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
No Result
View All Result
hipkultur.com
No Result
View All Result
Home Kultur Pop

Di Balik Tren Brainrot, Konten yang Nggak Jelas Tapi Populer Pol

Hipmin by Hipmin
31 May 2025
in Kultur Pop
0
Ilustrasi kumpulan grafis random representasi brainrot

Ilustrasi kumpulan grafis random representasi brainrot

0
SHARES
0
VIEWS
Bagikan di WABagikan di TelegramBagi ke FBBagi ke X

Selamat, ‘brainrot‘ terpilih sebagai Oxford Word of The Year 2024. Istilah ini begitu populer sepanjang tahun. Disebutkan 230% lebih banyak sepanjang 2023-2024, khususnya oleh kalangan Gen Z dan Alpha di platform kayak TikTok.

Brain itu otak, sedangkan rot adalah membusuk, brainrot lebih dekat diterjemahkan jadi pembusukan otak.  Istilah ini dipakai buat menggambarkan penurunan kognitif akibat paparan konten trivial, receh, remeh, atau nggak menantang secara intelektual.

Oxford University Press (OUP) melibatkan lebih dari 37,000 suara publik dari seluruh dunia buat milih satu dari enam nominasi kata, seperti “demure“, “romantasy“, dan “slop“. Brainrot menang setelah analisis data bahasa, komentar publik, dan voting, nunjukin hubungannya yang erat dan luas di masyarakat.

Hubungan erat itu, soalnya brainrot mencerminkan kekhawatiran soal akibat dari kebiasaan doomscrolling dan konsumsi konten nggak guna yang cenderung negatif. Bisa bikin mental capek, fokus berkurang, dan turunnya motivasi, terutama pada generasi muda.

Kalau menurut Casper Grathwohl, Presiden Oxford Languages, ‘brainrot‘ jadi cerminan kekhawatiran soal gimana aktivitas virtual kita berpengaruh ke kehidupan nyata. Sama kayak istilah ‘rizz‘ (2023) yang juga lahir dari budaya online, nunjukin kalau komunitas digital sudah bisa memicu pergeseran bahasa.

Selamat Datang di Era Brainrot Content!

Daftar istilah yang tergolong brainrot (gamequitters)
Daftar istilah yang tergolong brainrot (gamequitters)

Pernahkah kamu tanpa sadar menghabiskan sejam buat nonton video “Skibidi Toilet” sambil bingung kenapa kok bisa ketagihan? Mendadak bersenandung “Coconut Mall” yang diputar berkali-kali di TikTok dan nyetel versi 1 jamnya di Youtube. Atau hafal nama setiap karakter temannya Tung Tung Tung Sahur yang surealis dan absurd itu?

Selamat, kamu udah tenggelam di lautan brainrot content yang lagi mewabah di mana-mana. Konten-konten ini emang dirancang buat bikin kita stuck dalam loop yang susah diputus, meski kita sendiri nggak ngerti apa yang bikin menarik.

“Brain rot” yang sering kali dianggap sebagai humor di kalangan muda-mudi, nunjukin betapa ‘bangga’ mereka dengan kebiasaan digital yang dilakukan. Istilah itu sebenarnya sengaja dipilih OUP buat bilang secara implisit bahwa dunia maya sedang dalam kondisi agak bahaya. Fenomena brainrot content ini bukan cuma sekedar tren sesaat, meski memang item-nya cepat gonta-ganti. Tapi, dia udah jadi ekosistem sendiri yang punya karakteristik unik, repetitif, absurd, dan nagih buat sebagian orang.

Tapi, ya gimana. Konten brainrot yang dianggap merusak otak, di sisi lain malah melahirkan budaya baru. Contohnya, ya kayak istilah brainrot itu sendiri, lalu ‘rizz’, ‘slay’, ‘skibidi’, dan lain-lain yang sudah jadi bagian obrolan sehari-hari Gen Z dan Alpha.

Selain jadi pengalaman pribadi, konten brainrot juga mencerminkan pengalaman kolektif yang unik. Pas ada satu sound viral, user langsung lomba nyari konteksnya sampai paham. Ketika banyak orang yang paham, ada rasa terkoneksi satu sama lain, sehingga yang viral itu jadi kayak item YTTA.

Jadi, meski generasi sebelumnya bilang kalau konten brainrot itu nggak mutu, bahkan mencerminkan degradasi intelektual. Ini sudah jadi identitas generasi sekarang yang tumbuh bareng dengan teknologi digital.

Selain dinikmati secara pribadi, konten brainrot juga menciptakan pengalaman kolektif unik di era digital. Misalnya kalau ada satu meme atau sound viral, orang-orang langsung lomba cari referensi biar paham konteksnya.

Terus, pas sudah paham semua, itu rasanya kayak inside jokes di sirkelmu, atau bahasa rahasia yang dipahami komunitas tertentu. Masing-masing merasa terkoneksi, jadi bagian dari suatu komunitas besar—komunitas orang-orang yang paham konteks sound/meme tersebut.

Ini beda dengan kultur pop era sebelumnya yang persebarannya butuh waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Brainrot content bisa menciptakan shared experience dalam hitungan hari, bahkan jam.

Beda juga dengan hiburan “sampah” era sebelumnya yang masih punya struktur atau format yang jelas. Dulu, sebagian orang sudah ngira bahwa sinetron yang alurnya nggak masuk akal, komedi bullying, atau kuis-kuis receh dengan aneka yel-yel itu sebagai sampah. Tapi, brainrot content benar-benar mendobrak semua pakem storytelling.

Kalau dulu orang malu ngaku kalau dia suka nonton acara TV yang dianggap ‘sampah’, sekarang malah sebaliknya. Orang yang bisa menikmati konten brainrot jadi dianggap semacam keren dan nggak ketinggalan zaman. Soalnya, terbukti bahwa dia tahu tren budaya internet yang paling aktual.

Model Konten Brainrot

Skibidi Toilet (thewashingtonpost)
Skibidi Toilet (thewashingtonpost)

Untuk ngerti seberapa dalam fenomena brainrot ini, kita perlu liat contoh-contoh konkretnya di timeline media sosial. Umumnya dia berdurasi pendek dan cepat, dirancang buat merangsang impulsif, menarik perhatian seketika. Isinya mancing emosi instan, bisa bikin ketawa, kagum atau bingung, meski tanpa konteks apalagi wawasan mendalam. Biasanya juga pakai pola-pola berulang atau acak yang bikin dopamin meletup-letup.

Skibidi Toilet jadi salah satu yang paling ikonik. Ini serial animasi pendek di YouTube yang munculin karakter toilet dengan kepala manusia versus kamera berkepala. Video yang awalnya meme bikinan DaFuq!?Boom! ini sudah ditonton lebih dari 215 juta kali, cuma selisih 50-an juta dengan penduduk Indonesia. Ada juga meme “Only in Ohio” yang ditujukan ke hal-hal absurd atau aneh, seolah-olah negara bagian Ohio di Amerika Serikat adalah tempat di mana banyak peristiwa di luar nalar bisa terjadi.

Terus ada istilah “Sigma male” yang merujuk pada sosok maskulin alpha tapi introvert, “Rizz” yang sebenernya singkatan dari charisma (cha-rizz-ma). Ini dipake buat nyebut orang yang punya kemampuan lebih dalam hal flirting atau menarik lawan jenis. Soal ini, mungkin bisa cek lagu parodi berjudul “Sticking Out Your Gyat for the Rizzler”. Di situ, semua bahasa slang Gen Alpha disuguhkan dalam satu lagu yang catchy, bikin orang cepat hafal meski nggak ngerti artinya.

Lalu ada cuplikan lagu dari film A Minecraft Movie berjudul “Steve’s Lava Chicken” yang mirip jingle iklan, kadang dipelesetkan ke bahasa non-native-nya. Atau lagu latar game Mario Kart berjudul “Coconut Mall” yang aslinya cuma beberapa menit, jadi diputar berulang-ulang sampai 1 jam lebih.

Paling baru, generasi karakter animasi berbasis AI yang menampilkan kentongan berwajah, punya tangan dan kaki, seringnya dengan narasi lucu atau dramatis. Tung Tung Tung Sahur yang viral di TikTok sekitar Februari 2025, dekat Ramadan. Dipopulerkan oleh akun seperti @noxaasht, menggabungkan unsur budaya lokal (sahur) dengan humor absurd khas brainrot.

Tung Tung ini juga diiringi oleh karakter-karakter absurd AI generated lainnya dari Italia. Kayak Bombardillo Crocodillo (pesawat pembom bermoncong kepala buaya), Ballerina Cappuccina (pebalet berkepala cangkir cappuccino), Brr Brr Patapim (gabungan pohon dengan bekantan), dan sebagainya.

Kalau di makanan kita kenal fast food atau junk food, konten brainrot mirip-mirip kayak gitu. Memang enak dan bikin kenyang, tapi rendah nutrisi. Kalau konsumsi junk food meningkatkan risiko penyakit jantung dan kolesterol, konten brainrot bikin konsumennya kurang bisa mikir, ingat-ingat, dan belajar lebih dalam.

Dikonsumsi Generasi yang Tumbuh Bareng Algoritma

Video TikTok 15 detik dengan narasi ngawur, meme nggak masuk akal, atau streaming game tanpa konteks bisa dapat jutaan views dalam hitungan jam. Konten kayak gitu bisa populer bukan karena punya manfaat edukatif atau hiburan berkualitas. Tapi justru karena sifatnya yang gampang banget dicerna tanpa perlu mikir keras.

Agaknya cuma Gen Z dan Alpha yang bener-bener paham dan bisa nikmati kerandoman absurd itu. Soalnya, mereka jadi generasi pertama yang tumbuh bareng algoritma. Algoritma yang ngerti gimana cara bikin mereka scroll terus tanpa henti.

Memang, Generasi Z dan Alpha tumbuh di tengah ketidakpastian ekonomi, pandemi global, dan banjir bandang informasi digital. Di konteks mikro, mereka kena tuntutan akademik yang tinggi, kompetisi kerja yang makin ketat, dan masa depan yang nggak jelas. Makanya, menghadapi kondisi kayak gitu, konten brainrot mungkin jadi semacam pelarian, hiburan ringan yang nggak nambah-nambahin beban mental.

Survei oleh Intuit pada Maret 2025 nunjukin kalau 64% Gen Z lebih menghargai ketenangan pikiran dibanding kekayaan materi. Dan 58%-nya bersedia dapat penghasilan lebih rendah asalkan bisa work-life balance. Ada waktu yang cukup buat pribadi dan punya keseimbangan hidup lebih baik. Meskipun gitu, 75% dari mereka juga kesusahan dalam merencanakan keuangan akibat kondisi ekonomi yang nggak pasti.

Tekanan itu, efeknya ke kesehatan mental. Studi oleh McKinsey Health Institute nemu kesimpulan bahwa satu dari empat Gen Z merasa kesehatan mentalnya nggak oke dalam tiga tahun terakhir, di mana perempuan lebih rentan daripada laki-laki.

Makanya, dengan adanya konten brainrot yang recehnya minta ampun —nggak perlu dipikirin banget-banget, meski absurd — mereka bisa kabur sebentar dari tekanan hidup.

Why Why Why?

Fenomena ini didorong oleh algoritma platform media sosial yang menghargai engagement. Platform media sosial lagi saingan jualan ke para pengiklan, produknya berupa perhatian kita. Mereka butuh kita stay engaged selama mungkin. Jadi nggak peduli kualitasnya gimana, yang penting bisa bikin audiens betah lama-lama di platform yang sama. Akibatnya, kreator lomba berkreasi konten yang bisa bikin penonton cepat berinteraksi.

Tapi kenapa sih otak kita malah nyangkut sama konten beginian?

Jawabannya ada di neurobiologi dan psikologi perilaku yang cukup kompleks. Penelitian Laura Elin Pigott, Pengajar Senior di London South Bank University. Nunjukin bahwa main media sosial bikin otak kita merasakan hal yang sama dengan kecanduan narkoba, alkohol, atau judi.

Waktu kita posting di media sosial dan di-like atau dapat komentar positif, bagian otak yang ngatur rasa senang jadi aktif. Ini kayak yang dibilang orang-orang soal aktifnya dopamin, zat kimia di otak yang bikin kita merasa bahagia dan ketagihan.

Menariknya dan agak mengkhawatirkannya lagi, kecanduan internet ternyata juga mengganggu zat kimia otak lain, seperti serotonin dan opioid. Semuanya punya peran penting buat mengatur rasa bahagia, cara ambil keputusan, dan menentukan prioritas. Waktu otak terlalu sering dikasih dopamin yang levelnya cepat turun, ini bikin kita terdorong nyari kesenangan itu lagi. Dalam praktiknya, dikit-dikit cek HP, scrolling terus sampai pusing.

Apalagi, algoritma media sosial pakai sistem reward (hadiah) yang datangnya acak, nggak bisa ditebak. Sama kayak main mesin slot, aplikasi media sosial ngasih hadiah berupa like, komentar, atau notifikasi yang acak. Dan justru karena nggak bisa diprediksi, otak jadi makin penasaran dan terus nunggu surprise-nya datang.

Adanya konten absurd dan nggak jelas justru bikin semuanya makin mantap. Sifatnya yang aneh dan mengejutkan, bikin otak jadi merasa lebih tertarik dan penasaran. Seolah ‘lapar’ terus-terusan, butuh asupan hiburan yang lebih ekstrem lagi.

Sementara itu, algoritma platform kayak TikTok sudah didesain buat ngasih kita konten sesuai preferensi. Makin sering kita nonton video absurd, semakin banyak yang disajikan. Kalau kata orang-orang, sih, “It’s an endless feedback loop.”

Tags: budayaMedia Sosialpsikologi
Previous Post

Mending Mana, Sertifikasi Halal atau Haram?

Next Post

Drama Panjang Album Taylor Swift: Direbut, Dilawan, Dibeli Balik

Next Post
taylor swift album

Drama Panjang Album Taylor Swift: Direbut, Dilawan, Dibeli Balik

Please login to join discussion

Daftar Putar

Recent Comments

  • Bachelor of Physics Engineering Telkom University on Simak Pengertian Psikologi Menurut Para Ahli Berikut Ini
  • Ani on Simak Pengertian Psikologi Menurut Para Ahli Berikut Ini
  • About Us
  • Beranda
  • Indeks
  • Kebijakan Privasi
  • Kirim Konten

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.