Bukan jadi gila karena bikin musik. Bukan juga bikin musik sampai gila. Tapi, maksudnya lebih ke gila bikin musik, sampai nggak ada waktu terlewat tanpa menghasilkan karya. Itulah yang dilakukan oleh orang Jerman satu ini.
Namanya Valentin Hansen, anak pinggiran kota pelabuhan Hamburg, Jerman bagian utara yang dekat laut. Dia sudah jatuh cinta pada musik sejak kecil, memulainya dengan belajar piano, atas saran orang tua. Sementara itu, pertumbuhannya ditemani oleh kemajuan teknologi informasi. Dia jatuh cinta pada dunia internet yang bikin dia jadi internet geek, pengeksplor informasi soal banyak hal, khususnya musik dan dunia luar.
Entah eksplorasi itu bikin kegiatan akademiknya terganggu atau nggak, yang jelas dia memutuskan berhenti sekolah sejak kelas 11, setara kelas 1-2 SMA di sini. Keputusan radikal yang kayaknya berpengaruh besar ke hidupnya di masa depan. Selepas putus sekolah, dia hijrah ke Berlin buat mendalami musik lewat jalur nonformal, learning by doing.
Baru sebentar di Berlin, dia sudah ketemu dan kenalan dengan orang-orang yang tepat di industri kreatif. Lalu dia kerja sebagai desainer grafis dan video, sambil menggarap musik di kala senggang. Tapi butuh waktu lima tahun baginya untuk bisa merampungkan lagu pertama.
Asyik bikin lagu dan kerja kreatif, tapi namanya dapat sorotan setelah rilis album pertama, Crisis yang dikerjakan semasa pandemi, 2020-2021. Dirilis di bawah label Killing A Friend, album itu berisi 30 lagu. Iya, 30 lagu. Masing-masing cuma berdurasi 29 detik.
Album 29 Detik
Sedikit info. Di Killing A Friend, Valentin bereksperimen dengan pop organik yang chill, penuh ekspresi diri, sambil sesekali jadi sutradara video musik. Misalnya buat artis-artis lokal sana, kayak Schmyt dan Paul Kalkbrenner.
Terus, kenapa lagu-lagunya tadi cuma 29 detik?
Itu karena konsepnya menantang. Menurut Valentin, 29 detik sudah cukup buat menyampaikan ide, sekaligus terlalu singkat sehingga bisa bikin orang penasaran. Album Crisis (The Worthless Album) rilis tahun 2021—kemudian laku, sehingga dirilis ulang dengan judul The Valuable Album—mencerminkan jiwa nyentrik si Valentin. Dia sengaja bikin karya yang “mengganggu” tatanan, memaksa orang mendengar dan merenung, sambil bersiap menghentikan renungannya dengan mengejutkan.
Format itu terinspirasi dari algoritma media sosial yang berdampak jelek ke attention span, di mana orang bisa kehilangan fokus dan perhatian dalam waktu sepersekian detik. Sekaligus sebagai respons nakal dari budaya streaming musik yang dia sebut sebagai anti-streaming culture. Mengkritik platform kayak Spotify yang baru menghitung royalti secara pro-rata, setelah lagu terputar 30 detik. Juga sekaligus melawan norma di industri musik digital, yang lagu-lagunya harus catchy dalam 15 detik pertama, dengan durasi total ideal 2-3 menit biar hemat space.
Lewat Crisis, Valentin mengajak pendengar untuk menyimak potongan-potongan emosi, suara, dan gagasan yang mentah, cepat, dan kadang membingungkan. Album ini bukan playlist santai buat nemenin kerja, tapi semacam bombardir ide-ide kecil yang sengaja dibikin nggak tuntas. Tapi, dia juga bisa jadi pengingat bahwa hidup nggak selalu selesai dengan rapi atau sesuai ekspektasi.
Meski sudah agak berbau magnum opus, nyatanya belum. Ternyata, Crisis bukan karya nyeleneh Valentin Hansen yang terakhir. Eksperimen dia berikutnya malah lebih bombastis lagi.
Gila Bikin Karya, Nonstop 24/7
Bisa dibilang bombastis, ambisius, aneh, gila, atau terserah, yang jelas Valentin masih sedang menggarapnya. Antara akhir 2024 sampai awal 2025, dia mengumumkan mau bikin proyek album musik berjudul MAX. Itu maksudnya versi singkat dari maximum atau maksimal.
Proyek ini jadi karya lanjutan Valentin Hansen yang jauh lebih radikal lagi. Dirilis awal tahun 2025, MAX bukan sekadar album, tapi infinite music machine. Alih-alih merekam 10 atau 30 lagu kayak di album pertama, kali ini Valentin menempuh jalur berbeda. Dia bikin mesin berbasis kecerdasan buatan yang tersistem dengan rinci dan sudah diajari sejak lama. Mesin itu bisa bikin lagu dengan mengatur melodi dan harmoni, ngurusin mixing-mastering, sampai bikin judulnya satu-satu.
Mesin MAX bertugas bikin lagu baru secara otomatis, terus menerus setiap dua menit. Setiap lagu yang sudah jadi, langsung diunggah ke internet. Kamu bisa ngecek perkembangannya di https://max.valentinhansen.live/.
Selain itu, lagu-lagu ini juga diarsipkan dalam bentuk hardware. Valentin sengaja nggak milih media CD atau vinyl, tapi kaset pita. Dia bilang kalau CD terkesan digital dan vinyl prosesnya terlalu rumit, makanya mendingan kaset pita. Sementara buat merekam lagu-lagu ke kaset kosong itu, dia mempekerjakan Therecordmachine. Mesin perekam otomatis yang sekaligus jadi karya seni instalasi Valentin, bagian dari proyek MAX.
Dengan kemampuan auto-generated music macam itu, MAX bisa menghasilkan musik nonstop selama apa pun. Kalau ada satu lagu tercipta setiap dua menit, itu berarti ada 720 lagu baru yang lahir dalam sehari, sungguh-sungguh di luar nalar. Hasilnya terdengar agak-agak pop elektronik yang ringan dan ambient, cukup nyaman didengar.
Proyek MAX sendiri sudah dimulai sejak 1 Januari 2025 lalu. Sejak itu, sudah tercipta 79.716 lagu baru, tanpa ada satu pun yang kembar. Sekadar catatan, data terakhir diambil waktu tulisan ini dibuat, tanggal 6 Mei 2025. Sampai sekarang, mesin sudah kerja selama 174.256 menit, kira-kira lebih dari 120 hari.
Konsep di Balik Pesnok
Konsep di balik proyek MAX sebenarnya berupa pertanyaan simpel Valentin Hansen. Dia bilang, “Apa jadinya kalau sebuah lagu bisa dibuat lebih cepat daripada durasi pemutarannya?”
Dari situ dia mikir. Lalu nemu ide “infinite sound” yang di sini berarti “musik yang nggak pernah selesai”.
Sejak awal dia sudah melihat musik sebagai proses yang jalan terus tanpa garis finis. Gagasan ini akhirnya kontras dengan norma di industri musik yang terikat sama yang namanya jadwal rilis, promosi, launching, tur, dan lain-lain.
Terus, karena dia mengonsep musik infinitinya bakal dibuat pakai AI, dia juga berpikir untuk nyari tahu gimana respons para pendengar. Valentin ngasih pertanyaan lanjutan yang agak personal. “Kalau kamu tahu bahwa musik ini dibuat oleh mesin, apa kamu masih bisa tulus mendengarkannya?”
Di situ, dia sengaja bikin jebakan emosional. Soalnya, di satu sisi lagu-lagu MAX terdengar catchy dan asyik, dengan melodi simpel, autotune, atau beat ringan yang mudah dicerna. Tapi setelah pendengar tahu kalau lagu itu dibuat AI, rasanya kayak ekspektasi mereka runtuh. Banyak pendengar memasuki awkward moment. Bahkan ada yang sampai ngerasa ketipu, kagum, juga marah.
Tapi pada akhirnya MAX berhasil memenuhi ekspektasi Valentin Hansen lewat eksperimennya. Berikutnya dia bisa bikin orang mikir dan introspeksi. “Apa sih sebenarnya musik itu? Dan kenapa emosi kita bisa digerakkan oleh sesuatu yang bahkan nggak punya emosi?”
MAX Sebagai Persona
Nah, karena semuanya serba mesin dan otomatis, Valentin juga mau masukin unsur manusiawi dalam karyanya. Terus, dia bikin persona alias tokoh fiktif dari MAX, dengan identitasnya sendiri. Sosoknya pria muda digital yang tech-savvy, tapi nggak pernah tidur dan nggak pernah berhenti bikin lagu. Kerjaannya cuma satu, lari terus siang malam, nonstop.
“Semua orang berjalan. Tapi MAX berlari,” kata Valentin.
Kalimat itu jadi metafora pas buat menggambarkan zaman sekarang. Hidup yang serba-cepat, serba-produktif, tuntutan wajib-berprestasi, sampai burnout dianggap lumrah, bahkan jadi norma.
MAX nggak punya wajah, tanpa selfie, konser, bahkan nggak pernah ngomong langsung. Tapi lagunya di mana-mana. Dia ‘hidup’ di feed TikTok yang terus update, di aneka komentar orang-orang yang pertama kali nemu akun musik absurd ini.
Valentin menyebutnya sebagai bentuk “kerja full-time”. Tapi itu maksudnya bukan dia yang kerja full-time, melainkan mesin bikinannya. Pas musisi lain sibuk promo atau tur, MAX terus produksi. Selepas musisi promo istirahat dan tidur, MAX masih saja lari.
Akhirnya, Valentin Hansen dengan MAX-nya, bisa ngasih bukti bahwa musik lebih dari sekadar hiburan. Bisa jadi eksperimen, provokasi, sampai alat kritik sosial. Nggak cuma enak didengarkan, tapi juga bisa bantu men-trigger pikiran.