Ingat nggak sih, dulu kalau nonton video klip musik di YouTube, hampir pasti ada logo “VEVO” di pojok kiri bawah layar. Atau, ada embel-embel “VEVO” di belakang nama akun artis/musisinya? Kayak TaylorSwiftVEVO, TheWeekndVEVO, OasisVEVO, seolah tanpa label itu, video musik terkesan nggak ori dan kurang berkualitas.
Vevo pernah jadi semacam ‘tukang stempel’ atau lembaga sertifikasi yang memastikan kualitas video musik resmi. Tapi coba diingat, kapan terakhir kali kamu sadar kalau lagi nonton video di kanal Vevo? Atau bahkan, kapan terakhir kali kamu kepikiran soal Vevo pas mau nonton video musik?
VEVO Dulu Raja Video Musik
Pada suatu masa, tersebutlah raja video musik di ranah digital yang bernama Vevo. Dia lahir Desember 2009 hasil ‘perkawinan’ beberapa korporasi besar, Google, Universal Music Group, dan Sony Music Entertainment, kemudian EMI dan Warner Music. Meski agak ambisius, Vevo dihadirkan dengan misi sederhana, jadi platform yang layak buat video musik official di era digital yang waktu itu masih agak berantakan.
Kondisinya waktu itu, akhir 2000-an, industri musik lagi kerepotan gara-gara banjirnya produk bajakan dan tiruan. YouTube mulai jadi jujugan orang cari hiburan, sementara konten-kontennya masih campur aduk dengan bikinan user yang kualitasnya nggak terstandar. Vevo, yang awalnya pakai YouTube sebagai arena distribusi utama, datang buat menjawab kerancuan itu. Mereka memastikan konten-konten video yang diunggah beneran resmi dan berkualitas tinggi.
Jadi, mereka kayak bikin statement, “Barang siapa mau nonton video musik original dan berkualitas tinggi, tempatnya cuma di akun YouTube Vevo.”
Sampai Beberapa Tahun Lamanya
Dan strategi itu berhasil besar. Sampai akhir bulan yang sama dengan peluncurannya, Desember 2009, pengunjung VEVO langsung melejit di AS. Bahkan menggeser platform musik legendaris yang populer waktu itu, MySpace.

Vevo punya kanal YouTube dan situs web sendiri. Dari total pengunjung yang dihitung comScore sebanyak 35.4 juta, 92%-nya adalah penonton kanal YouTube, sekitar 32.6 juta. Sementara, MySpace Music diakses oleh 33,1 juta pengunjung di periode yang sama.
Belum genap setahun, pada April 2010 pengunjung Vevo di AS naik ke angka 43,6 juta. Dan setahun setelah peluncurannya, jumlah penonton Vevo di AS meningkat jadi 50,6 juta.
Bisnis ini kelihatan begitu menjanjikan, sampai mereka ekspansi ke luar AS. Berturut-turut sejak 2011 sampai 2014, Vevo dirilis di Inggris, Australia, Brasil, Prancis, Belanda, Jerman, hingga Meksiko dan sejumlah negara lain. Tapi agak aneh juga, soalnya banyak video Vevo tetap bisa diakses dari mana-mana lewat YouTube. Kecuali mungkin beberapa konten yang dibatasi wilayah tayangnya, karena kebijakan lisensi.
Waktu ulang tahun ke-10 tahun 2019, CEO Vevo, Alan Price bilang kalau rata-rata views harian Vevo sudah lebih dari 800 juta per hari, kalau weekend malah hampir 1 miliar. Puncaknya, menurut klaim mereka di laman LinkedIn sendiri, jumlah tayangan Vevo sudah di angka 26 miliar per bulan secara global. Total katalognya mencapai sekitar 500.000 video dari 60.000 artis.
Kenapa bisa begitu? Soalnya Vevo memang spesial. Selain kontennya eksklusif dan kualitasnya top, ekspansi mereka juga terbilang sukses. Adaptasi teknologi juga cukup mantap, dengan bikin aplikasi Android dan iOS. Juga lewat aneka program inovatif, kayak VEVO Certified buat artis yang videonya tembus 100 juta views. Atau VEVO LIFT dan DSCVR yang fokusnya ke talenta baru lewat konten eksklusif. Bahkan mereka punya VEVO TV—MTV versi internet—yang streaming video musik 24/7.
Tapi, Kemudian Mulai Tergerus Arus
Kalau merujuk situs resmi mereka, tayangan global video musik Vevo sudah nyentuh angka 400 miliar lebih, dengan jumlah pengguna 140 juta per bulan. Sayangnya, lagi-lagi sebagian besar angka itu diperoleh dari YouTube. Ketergantungan itu bikin mereka nggak bisa benar-benar independen. Warganet pasti lebih milih langsung buka YouTube daripada situs atau aplikasi Vevo, lagian lebih familiar.
Ironisnya lagi, 24 Januari 2018, YouTube bikin pengumuman kalau mereka bakal menggabungkan kanal artis yang Vevo dengan kanal artis original. Jadi tergantung kesepakatan pihak-pihak terkait, nantinya bakal nggak ada lagi channel Taylor Swift dan Taylor Swift VEVO, keduanya dilebur jadi satu.
Terus, beberapa bulan kemudian, Vevo ketiban sial yang bikin citranya juga rusak. Akun YouTube resmi mereka kena hack, pelakunya pakai nama Prosox dan Kuroi’SH. Hasilnya, banyak video Vevo diganti nama, bahkan konten paling viral milik mereka dihapus-hapusin, termasuk salah satunya lagu “Despacito” Luis Fonsi.
Masih di tahun yang sama, YouTube rilis YouTube Premium. Padahal, Vevo sudah ketar-ketir sejak adanya YouTube Music. Sekarang, YouTube Premium versi rebrand malah lebih masif sebarannya. Sekali lagi, karena warganet bakal lebih suka pakai satu platform buat akses konten video musik, sehingga Vevo otomatis kalah saingan. Plus, YouTube juga ngasih tools lebih baik buat artis mengelola kanal mereka sendiri, sehingga banyak musisi yang mulai sadar. “Ngapain harus lewat VEVO kalau kita bisa langsung?”
Era Baru Dunia Perkontenan
Pergeseran perilaku audiens juga bikin Vevo ketinggalan kereta. Munculnya TikTok mengubah cara orang konsumsi musik, dari video klip durasi 3-4 menit, ke cuplikan 15-60 detik yang catchy. Terus, generasi baru lebih suka bikin konten musik mereka sendiri ketimbang nonton video klip “resmi” yang kerasa formal dan kaku.
YouTube sendiri makin canggih dengan algoritma dan fitur-fitur baru. Vevo yang tadinya jadi kanal premium mendadak jadi biasa saja.
Lalu ada lagi yang berubah, yaitu cara artis berhubungan dengan fans. Kalau dulu Vevo jadi semacam penengah, ‘lembaga penentu’ video musik yang layak tonton, sekarang artis punya kontrol penuh atas distribusi konten mereka.
Ambil contoh artis-artis besar seperti Taylor Swift, Drake, atau Billie Eilish. Mereka nggak lagi butuh validasi Vevo, subscriber kanal YouTube pribadi mereka sudah puluhan juta. Bahkan, beberapa artis justru merasa branding Vevo malah bikin ribet. “Kenapa harus jadi OliviaRodrigoVEVO kalau bisa langsung Olivia Rodrigo?”
Belum lagi ada kompetisi dari platform streaming lain. Spotify, Apple Music, dan kawan-kawannya mulai integrasikan video musik ke dalam layanan mereka.
TikTok dan YouTube Shorts juga melayani kebutuhan konsumen yang sudah beda gaya. Musik jadi lebih sering viral lewat challenge, meme, atau cuplikan pendek bikinan user. Bukan lewat video klip dengan biaya produksi mahal. Algoritma platform-platform ini lebih mengutamakan kreativitas yang menghasilkan engagement, ketimbang “kualitas resmi” yang jadi nilai jual Vevo.
Vevo Masih Ada, Tapi Nggak Lagi Sama
Akhirnya di tahun 2018, Vevo nutup aplikasi dan situs web independennya. Sekarang situs web cuma jadi landing page buat mengarahkan pemirsa ke konten mereka di YouTube. Channel yang ada embel-embel Vevo-nya sudah hampir hilang semua. Meskipun logo Vevo masih muncul di banyak video, perusahaan itu sekarang fokus melayani label rekaman di ranah distribusi.
Vevo sekarang lebih ke arah behind the scenes. Mereka fokus distribusi konten ke platform, termasuk YouTube. Menariknya, Vevo nemu niche baru di connected TV (CTV), kayak smart TV, Roku, Apple TV, Amazon Fire Stick, dan sejenisnya. Soal video musik kualitas tinggi, mereka masih punya posisi di perangkat-perangkat yang bisa akses internet, kecuali yang berbasis selular.
Vevo juga masih relevan di beberapa genre dan di wilayah tertentu. Genre Afrobeats dan Amapiano nyumbang 4 miliar penonton global di 2023. Makanya, meskipun sudah mulai meredup, jumlah tayangan dan penonton konten mereka masih relatif tinggi.
Tapi kalau boleh jujur, pengaruh VEVO sudah nggak sekuat dulu. Generasi muda, mungkin banyak yang nggak tahu Vevo itu apa, atau kenapa dulu platform ini penting banget. Dan nggak ada yang salah, soalnya dunia digital geraknya memang secepat itu
Lagian, fenomena ini juga nggak unik. Kalau kamu tahu Vine yang dulu rajanya video pendek, sekarang cuma jadi meme (RIP Vine). Media sosial kayak Path pun sama. Atau Friendster, Facebook-nya milenial remaja Asia Tenggara, sekarang sudah musnah terlupakan. Mungkin Facebook sendiri juga bisa kayak gitu kalau Zuckerberg dan tim nggak inovasi sejak lama.
Jadi, kapan terakhir kali kamu nonton video musik yang ada embel-embel Vevo-nya?

