in

Umbu Landu Paranggi, Mahaguru Para Penyair Tanah Air

(alm) Umbu Landu Paranggi.

Pernahkah terfikirkan olehmu, dari mana para penyair Indonesia—yang mahir nulis puisi indah menyentuh sanubari—mendapatkan inspirasi?

Bukan inspirasi soal karyanya, tapi sosok penyair lain yang membuat mereka ingin terus belajar.

Mungkin banyak yang setuju jika salah satu sosok itu adalah Umbu Landu Paranggi.

Penyair kelahiran Waikabubak, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, 10 Agustus 1943 ini punya julukan keren: “Presiden Malioboro.”

Tapi nggak cuma julukan aja yang bikin Umbu dikenal. Dia punya jejak panjang di dunia sastra yang membuat namanya abadi di hati para penyair dan seniman muda.

Umbu juga dianggap sebagai tokoh misterius di dunia sastra Indonesia sejak tahun 1960-an. Soalnya, beliau memang nggak hobi muncul di khalayak luas. Tapi diam-diam begitu, sudah banyak menginspirasi dan jadi guru bagi sejumlah nama penyair besar.

Umbu menyelesaikan Sekolah Rakyat dan SMP di Sumba. Dia kemudian hijrah ke Yogyakarta dan ambil SMA di sana. Lulus, lanjut studi ke Fakultas Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta sampai tahun 1965.

Tahun 1960, karyanya pertama kali dimuat di majalah Mimbar Indonesia (ruang “Fajar Menyingsing”).

Selang dua tahun kemudian, puisi Umbu mulai terbit di Ruang Budaya, dan sejak itu karya-karyanya meramaikan berbagai majalah sastra seperti Mimbar Indonesia, Gajah Mada, Basis, Gema Mahasiswa, Mahasiswa Indonesia, Gelanggang, sampai Pelopor Yogya.

Lulus dari UGM, Umbu menjalani hidup sebagai seniman sejati. Dia memilih jadi pengangguran dulu, menikmati hidup bebas.

Tapi nggak lama kemudian, Umbu diterima jadi redaktur di mingguan Pelopor Yogya. Di sana Umbu bikin gebrakan pawai puisi di satu halaman tiap kali terbit.

Rubrik ini jadi oase bagi para penyair muda yang berkarya di Yogyakarta, dan tiras mingguan ini langsung melonjak karena banyak yang penasaran dengan parade puisinya.

Nggak cuma sebagai redaktur, Umbu juga jadi mentor bagi banyak penyair muda. Sosoknya santai tapi berdedikasi.

Malam-malam panjang sering dihabiskannya buat diskusi soal sastra dan filsafat dengan anak-anak muda yang datang kepadanya mencari inspirasi.

Umbu juga kerap tampil membacakan puisinya diiringi gitar dari Deded, musisi terkenal di Yogya waktu itu. Musikalisasi puisi ala Umbu mulai diperdengarkan di kampus-kampus dan radio-radio swasta.

Umbu Sang Presiden Malioboro

Tahun 1969, Umbu mendirikan Persada Studi Klub (PSK), sebuah komunitas sastra yang jadi rumah bagi para penyair dan seniman muda.

Umbu bikin komunitas itu buat menyalurkan minat bakat anak-anak muda di bidang kesenian, utamanya sastra. Di PSK, Umbu nggak cuma membagikan pengetahuan tentang puisi, tapi juga filosofi hidup.

Nama Persada Studi Klub sempat disorot karena mirip nama rubrik mingguan Pelopor Yogya “Persada.” Tapi dia nggak sengaja mirip-miripin atau nyambungin juga.

Foto: sastraindonesia.com

Walaupun, PSK punya markas di kantor Pelopor Yogya, Jalan Malioboro 175 atas. Di sanalah katanya Umbu sering tidur di atas tumpukan koran sambil membimbing murid-murid sastranya.

Nggak disangka, PSK yang awalnya sekadar wadah ini ternyata melahirkan nama-nama besar di dunia sastra nasional.

Dari Linus Suryadi Ag., Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), Korrie Layun Rampan, Wayan Jengki Sunarta, Iman Budhi Santosa, sampai Joko S. Passandaran dan Arwan Tuti Artha, mereka semua pernah jadi anak didik Umbu.

Sosoknya yang inspiratif dan gaya bimbingannya yang nggak pernah menggurui bikin para penyair muda ini berani bermimpi dan berusaha lebih.

Cak Nun pernah bilang kalau Umbu seperti kiper di lapangan puisi. Jago mengasah teknik, intuisi, dan akurasi mereka.

“Puluhan tahun kemudian saya menyadari bahwa saya tidak berbakat menjadi penyair, dan ternyata yang saya pelajari dari Umbu bukanlah penulisan puisi, melainkan ‘Kehidupan Puisi’—demikian menurut idiom Umbu sendiri,” kata Cak Nun dalam tulisannya di Kompas.com tahun 2012.

Kata Iman Budhi Santosa, anggota PSK generasi pertama, Umbu punya cara unik untuk mengajarkan sastra. Umbu lebih senang mengajarkan orang menulis lewat pengalaman.

“Ia [Umbu] fasih mengubah sebuah pertemuan di warung kopi sehingga memunculkan banyak ‘puisi’.” tulis Imam dalam “Kreativitas ‘Sarang Laba-laba’ dari Balkon Tua Lantai Dua” yang terhimpun dalam Orang-orang Malioboro (hlm. 79).

Bukan cuma penyair, nama besar lain yang pernah jadi murid Umbu adalah musisi legendaris Ebiet G. Ade.

Wayan Jengki Sunarta, murid setia Umbu Landu Paranggi, cerita kalau Ebiet pernah ikut nimbrung di Persada Studi Klub sekitar awal tahun 1970-an.

“Cuma Ebiet G. Ade merasa tidak berbakat menjadi penyair. Akhirnya ia lebih lari ke penulisan lirik lagu,” kata Jengki waktu diwawancara National Geographic Indonesia tahun 2021.

PSK dan Umbu jadi satu paket lengkap di Malioboro. Lewat tempat ini, Umbu membuka jalan para penyair untuk memahami dan menghidupi sastra. Dari komunitas inilah Umbu dijuluki sebagai “Presiden Malioboro.”

Setiap karya yang masuk ke rubriknya di Pelopor Yogya, ia baca dengan saksama. Umbu nggak segan mengembalikan karya yang belum layak terbit, lengkap dengan catatan perbaikan agar penulisnya bisa berkembang.

Tapi walaupun dijuluki Presiden Malioboro, Umbu tetap tampil sederhana. Bahkan cenderung menjauh dari sorotan dan popularitas. Dia sering wara-wiri sambil bawa kantung plastik berisi naskah-naskah puisinya.

Orang-orang juga menyebut Umbu sebagai sosok “pohon rindang” yang berhasil membuahkan banyak sastrawan kelas atas. Tapi, dia lebih senang menyebut dirinya sebagai “pupuk.”

Umbu Landu Paranggi baca puisi di Fakultas Sastra, Universitas Udayana, 1996. (Foto: Zen Hae)

Pindah ke Bali

Tahun 1975, Umbu Landu Paranggi pindah ke Denpasar, Bali. Melanjutkan perannya sebagai mentor dan mengasuh rubrik Apresiasi di Bali Post.

Beliau bahkan masih membimbing penulis muda seperti Raka Kusuma, Oka Rusmini dan Putu Fajar Arcana. Umbu juga mendirikan Komunitas Jatijagat Kampung Puisi (JKP) dan terlibat dalam Jurnal Antologi Ruang Puisi bersama para sastrawan lain.

Meskipun usianya terus bertambah, semangatnya untuk berbagi nggak pernah padam.

Wujud dedikasi itu akhirnya dihormati oleh para muridnya lewat buku berjudul “Metiyem, Pisungsung Adiluhung untuk Umbu Landu Paranggi” (2019).

Buku ini adalah kumpulan tulisan dari 52 sastrawan yang mengungkapkan rasa terima kasih mereka pada Umbu atas ajaran-ajaran yang nggak cuma soal sastra, tapi juga kearifan hidup. Prolognya ditulis oleh penyair Sapardi Djoko Damono, yang juga mengagumi sosok dan karya Umbu.

Umbu Landu Paranggi berpulang pada 6 April 2021 di Sanur, Bali. Kabarnya karena Covid-19.

Umbu bersama Cak Nun. (caknun.com)

Cak Nun menulis penuh penghormatan untuk mengenang kepergian Umbu dalam artikel “Mi’raj Sang Guru Tadabbur.” Menyebut Umbu sebagai satu-satunya orang yang ia akui sebagai gurunya.

Puisi-puisi indah yang ditulis sang Presiden Malioboro, seperti Sajak Kecil, Melodia, Di Sebuah Gereja Gunung, Ibunda Tercinta, Ni Reneng, dll. Mungkin kamu bisa cek sendiri nanti.

Sosok Umbu Landu Paranggi seperti puisi yang hidup—sederhana, penuh makna, dan abadi dalam hati para penyair muda yang pernah disentuhnya.