Wednesday, May 21, 2025
Kirim tulisan
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
No Result
View All Result
  • Login
  • Register
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
No Result
View All Result
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
paus fransiskus

Warisan Hijau Paus Fransiskus untuk Bumi dan Umat Manusia

by Lionita Nidia
22 April 2025
in Profil
A A
0
SHARES
0
VIEWS
Bagikan di WABagikan di TelegramBagi ke FBBagi ke X

Paus Fransiskus, pemimpin Gereja Katolik Roma, wafat pada Senin Paskah, 21 April 2025, di usia 88 tahun. Ia meninggal dunia di kediamannya di Casa Santa Marta, Vatikan.

Terpilih menjadi Paus sejak 2013 setelah pengunduran diri Paus Benediktus XVI, kepemimpinan Paus Fransiskus berlangsung selama lebih dari satu dekade.

Dalam masa itu, ia bukan hanya menjadi kepala spiritual bagi 1,3 miliar umat Katolik di seluruh dunia, tapi juga suara moral dalam isu-isu penting, terutama soal perubahan iklim.

Paus Fransiskus kekeh mengingatkan kalau krisis lingkungan adalah ancaman nyata bagi umat manusia.

Kepala iklim PBB, Simon Stiell, bilang kalau Paus Fransiskus seorang “tokoh yang sangat bermartabat bagi manusia, dan pejuang global yang gigih dalam aksi iklim.”

Menurutnya, melalui advokasinya yang nggak kenal lelah, Paus Fransiskus telah mengingatkan dunia bahwa kesejahteraan bersama tidak akan tercapai sampai kita berdamai dengan alam dan melindungi mereka yang paling rentan.

Surat dari Paus Fransiskus

Tahun 2015, Paus Fransiskus merilis Laudato Si’, sebuah ensiklik atau surat resmi yang menyerukan perlunya kesadaran global untuk menjaga bumi.

“Bumi, rumah kita, tampak semakin rusak dan terancam,” tulisnya saat itu. Dalam dokumen setebal lebih dari 100 halaman itu, Paus mengingatkan bahwa krisis iklim bukan cuma masalah lingkungan, tapi juga persoalan moral dan keadilan sosial.

Dokumen ini langsung jadi pusat perhatian dunia, bahkan memicu perdebatan di dalam dan luar gereja.

Paus Fransiskus bersama sejumlah kepala negara menanam pohon zaitun setelah doa perdamaian di Taman Vatikan, Juni 2015. (CNS/Cristian Gennari)

Dijelaskan dalam situs Vatican News, isi Laudato Si’ bukan cuma ajakan untuk menjaga alam. Paus Fransiskus menuliskannya sebagai refleksi mendalam, teologis, bahkan puitis tentang bagaimana alam adalah bagian dari spiritualitas manusia.

Ia menyebut “ada makna mistis yang bisa ditemukan di sehelai daun, jalan setapak di gunung, setetes embun, atau wajah orang miskin.” Baginya, merawat alam adalah bagian dari pengalaman ilahi itu sendiri.

Tapi di balik keindahan bahasa yang digunakan, ensiklik ini juga mengandung kritik tajam. Paus mengecam sistem politik dan ekonomi yang hanya mementingkan pertumbuhan jangka pendek, mengabaikan dampaknya terhadap manusia dan lingkungan. Ia mendorong lahirnya cara berpikir baru—tentang manusia, kehidupan, dan relasi kita dengan alam.

Konsep utama dari Laudato Si’ adalah ekologi integral. Kata Paus, krisis iklim nggak bisa dipisahkan dari krisis sosial, politik, dan ekonomi.

“Kita tidak menghadapi dua krisis yang terpisah, satu krisis lingkungan dan satu lagi krisis sosial,” tulisnya, “melainkan satu krisis kompleks yang bersifat sosial dan lingkungan.”

Karena itu, menurutnya, solusi terhadap perubahan iklim harus bersifat menyeluruh. Yaitu menjaga alam sekaligus memulihkan martabat mereka yang terpinggirkan. Perjuangan terhadap kemiskinan, keadilan sosial, dan krisis ekologi itu harus berjalan beriringan.

Paus juga mengkritik budaya konsumerisme yang menurutnya mempercepat kerusakan lingkungan.

Laudato Si’ bahkan disebut-sebut berkontribusi dalam membangun semangat global jelang Konferensi Iklim Paris 2015. Dokumen ini nggak hanya menginspirasi komunitas iman, tapi juga diakui oleh dunia internasional.

Sekjen PBB saat itu, Ban Ki-moon, memujinya sebagai “suara moral” penting. Penulis asal India, Pankaj Mishra, juga bilang Laudato Si’ sebagai “kritik intelektual paling penting di zaman kita.”

Gerakan Lingkungan umat Katolik

Salah satu dampak paling real dari Laudato Si’ adalah tumbuhnya gerakan lingkungan di kalangan umat Katolik.

Ensiklik ini memicu lahirnya berbagai organisasi baru yang berfokus pada isu ekologi, seperti Gerakan Laudato Si’ yang sekarang berskala global, juga Institut Penelitian Laudato Si’ di Campion Hall, Oxford.

Bahkan organisasi yang sudah lama berdiri kayak Caritas Internationalis—lembaga amal Gereja Katolik—ikut memperluas kegiatannya di ranah isu-isu lingkungan hidup.

Sebuah studi yang terbit di jurnal Biological Conservation tahun 2019 menunjukkan bahwa ensiklik ini juga memicu peningkatan minat terhadap isu lingkungan secara global.

Paus Fransiskus menyapa aktivis iklim Greta Thunberg di Lapangan Santo Petrus, Vatikan, 17 April 2019. (CNS/Yara Nardi, Reuters)

Lonjakan paling menonjol di negara-negara dengan populasi Katolik yang besar, meskipun gaungnya juga terasa di luar komunitas agama.

Tapi, beberapa tahun terakhir, perhatian terhadap krisis lingkungan mulai meredup. Apalagi di tengah dinamika politik dan ekonomi global. Banyak negara justru mengalihkan fokus dari kebijakan iklim ke agenda pertumbuhan ekonomi atau pertahanan militer.

Dalam konteks ini, Paus Fransiskus kerasa makin relevan. Ia pernah mengingatkan kalau perdamaian, keadilan, dan pelestarian ciptaan adalah tiga hal yang nggak bisa dipisahkan.

Krisis iklim, jika terus diabaikan, akan memicu kelangkaan sumber daya, perpindahan massal, dan ketimpangan yang makin parah—semua itu memperbesar potensi konflik dan ketidakstabilan global.

“Semuanya saling terhubung,” tutur Paus.

Paus Fransiskus dan Konferensi Perubahan Iklim

Tapi Paus Fransiskus tak gentar. Jelang Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP28) di Dubai pada tahun 2023, ia menerbitkan Laudate Deum, sebuah seruan apostolik yang bisa dibilang sebagai lanjutan dari Laudato Si’. Isinya adalah peringatan keras kalau dunia sedang menuju jurang, dan waktu kita makin sempit.

“Dunia tempat kita tinggal sedang runtuh dan mungkin mendekati titik puncaknya,” tulisnya dengan gamblang.

© Mazur/cbcew.org.uk.

Kali ini, sorotan Paus Fransiskus diarahkan ke negara-negara maju yang dianggap menjalani gaya hidup boros dan nggak tanggung jawab.

Ia juga menyoroti terus digunakannya bahan bakar fosil sebagai pendorong utama krisis iklim, dan menyayangkan isu ini sering kali digeser ke wacana yang menyalahkan populasi negara-negara berkembang.

Padahal, menurutnya, beban terbesar ada pada para penghasil emisi historis yang “memiliki utang ekologis yang sangat meresahkan.”

Paus Fransiskus sebenarnya berencana hadir langsung di COP28—momen bersejarah karena akan menjadi Paus pertama yang berpidato di konferensi iklim dunia.

Tapi karena alasan kesehatan, ia batal berangkat. Pidatonya lalu dibacakan oleh Sekretaris Negara Vatikan, Kardinal Pietro Parolin.

Dalam pidatonya, ia kembali menyerukan keadilan iklim. Menurutnya, negara-negara kaya yang selama ini mengambil keuntungan dari bahan bakar fosil sudah saatnya membantu negara-negara miskin yang paling terdampak.

Bahkan, ia menyebut perlunya “arsitektur keuangan internasional baru” yang dibangun atas dasar keadilan, kesetaraan, dan solidaritas.

Sayangnya, pada COP29 di Azerbaijan tahun lalu, kondisinya kembali tidak memungkinkan untuk hadir langsung.

Tapi suaranya tetap tersampaikan lewat pesan tertulis. Paus bilang bahwa tantangan besar abad ini adalah “ketidakpedulian terhadap krisis iklim.” Ketidakpedulian itu baginya “kaki tangan dari ketidakadilan”.

Bumi Perlu Diselamatkan

Sepanjang hidupnya, Paus Fransiskus nggak pernah lelah mengingatkan dunia soal ketimpangan dampak perubahan iklim.

Bahkan hingga akhir hayatnya, ia terus vokal menyuarakan bahwa krisis iklim bukan cuma urusan cuaca ekstrem, tapi juga soal keadilan. Siapa yang paling menderita dan siapa yang paling banyak menyumbang kerusakan.

Tahun 2019, ia mendorong agar kejahatan terhadap lingkungan dikategorikan sebagai kejahatan terhadap perdamaian, setara dengan genosida dan pembersihan etnis.

Baginya, merusak lingkungan adalah bentuk pelanggaran terhadap Tuhan, dan menjadi dosa struktural yang membahayakan seluruh umat manusia.

Ia pun nggak segan bertemu langsung dengan presiden, CEO, sampai dewan perusahaan besar, membawa pesan yang sama: bumi perlu diselamatkan—dan itu harus dimulai dari mereka yang punya kekuasaan.

 

Konferensi Vatikan tentang Ketahanan Iklim, Mei 2024.(Vatikan Media)

Salah satu langkah konkret terakhirnya adalah saat menyelenggarakan konferensi tiga hari soal ketahanan iklim di Vatikan pada Mei 2024.

Acara ini dihadiri oleh para pemimpin kota dan daerah dari seluruh dunia, termasuk Wali Kota London Sadiq Khan dan Wali Kota Paris Anne Hidalgo. Fokusnya bukan cuma mitigasi, tapi adaptasi manusia. Karena krisis ini sudah nyata dan dampaknya sudah terjadi di mana-mana.

Dalam pidatonya, Paus Fransiskus menantang para pemimpin dunia dengan pertanyaan tajam: “Apakah kita sedang membangun budaya kehidupan, atau budaya kematian?”

Ia juga menyuarakan fakta bahwa negara-negara kaya, yang jumlahnya hanya sekitar satu miliar orang, bertanggung jawab atas lebih dari separuh emisi gas rumah kaca. Sebaliknya, tiga miliar orang termiskin di dunia hanya menyumbang kurang dari 10 persen, tapi justru mereka yang menanggung 75 persen dampak paling parah dari krisis ini.

Seruan-seruan seperti inilah yang membuat Paus Fransiskus dihormati nggak hanya di kalangan umat Katolik, tapi juga oleh komunitas global lintas iman, sains, dan aktivisme.

Sayangnya lagi, dunia belum banyak berubah. Krisis iklim makin terasa. Cuaca ekstrem makin sering datang. Hutan makin habis, sampah makin menumpuk, dan konsumsi terus melonjak. Seruan Paus Fransiskus sepertinya mungkin lebih sering dipuji ketimbang benar-benar didengar.

Hari ini, dunia kehilangan sosoknya. Rasanya pantas kalau kita berhenti sejenak buat mengenang dan merenungkan kembali pesan-pesan yang pernah Paus sampaikan.

Bahwa mencintai bumi itu bukan urusan aktivis atau orang yang punya kuasa dan suara saja. Merawat lingkungan adalah bagian dari nilai kemanusiaan, spiritualitas, dan masa depan bersama.

 

SendShareShareTweet

Tulisan Lainnya

Profil

Live Coding Music & Algorave, dari Layar Laptop ke Proyektor, dari Keyboard ke Dance-Floor

15 May 2025
Profil

Profil Karen, Emak-Emak Kulit Putih yang Meme-able

8 March 2025
Profil

Misteri Banksy, Seniman Anonim Kritis yang Ikonik & Kontroversial

8 January 2025
Profil

Rekap 2024: Profil Orang-Orang yang Mendadak Populer Tahun Ini

19 December 2024
Next Post

Single: “Waktunya Pas” Clara Riva, Ceria di Waktu yang Tepat

Single: “Hey, Juwita!” - JAMAL, Mantra Cinta dari Panggung yang Bising

Ada Ancaman Krisis Pangan, Kenapa Masih Sering Buang-Buang Makanan?

Single: “Freefall” - Nothing More & Chris Daughtry, Versi Baru Lebih Nendang

Please login to join discussion

© 2025 hipKultur.com

Opsi Lainnya

  • About
  • Contact

Ikuti

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
  • Login
  • Sign Up
Kirim Tulisan
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
No Result
View All Result

© 2025 hipKultur.com