Generasi Z atau gen Z, sekarang mungkin sedang menduduki puncak tertinggi tatanan kehidupan (ini hiperbola saja). Mereka lagi gemes-gemesnya, aktif-aktifnya bersuara. Kalau ada yang nggak cocok dikit di hati, nggak pikir satu dua kali dulu buat protes.
Walapun dibesarkan di era perkembangan teknologi yang masif, mereka cenderung kritis dengan segala info yang diterima di dunia maya. Gen Z juga kelihatan berorientasi kuat atas kebebasan dan kemandirian. Rata-rata sih begitu.
Hipmin mau cerita contoh nyata dari dua paragraf pengantar tentang karakter gen Z itu.
Kalau kamu pernah dengar, di Swedia sana ada namanya mbak Greta Thunberg. Terkenal sebagai aktivis lingkungan yang mulai bikin gerakan internasional melawan perubahan iklim dari tahun 2018.
Greta lahir tanggal 3 Januari 2003, di Stockholm, Swedia. Dia mulai menyuarakan isu perubahan iklim sejak umur 15 tahun. Bayangkan.
Pertamanya, Thunberg setiap hari Jumat bikin aksi protes di Parlemen Swedia sambil menulis pesan “School strike for climate” (mogok sekolah untuk iklim).
Aksi itu kemudian viral dan ditiru jutaan anak muda di seluruh dunia. Kemudian muncul gerakan bersama “Fridays For Future” yang menekan para pemimpin negara agar cepet bertindak mengatasi perubahan iklim.
Dari situ, namanya mulai terkenal dan membawanya keliling dunia, ketemu pemimpin global, sampai dapat nominasi Nobel Peace Prize pada Maret 2019, terus jadi orang termuda yang pernah dinobatkan sebagai “Person of the Year”-nya majalah Time, ckckck…sangar.
Kok Bisa Jadi Aktivis?
Greta Thunberg sebetulnya dibesarkan dalam keluarga seniman. Ibunya, Malena Ernman, seorang penyanyi opera. Bapaknya, Svante Thunberg, seorang aktor. Dia juga punya adik perempuan namanya Beata yang jadi penyayi terkenal di Swedia. Dia saja yang beda sendiri.
Kata bapaknya, Greta masih umur 8 tahun pas pertama kali kenalan bab krisis iklim. Terus sekitar umur 11 atau 12 tahun, Thunberg tiba-tiba seperti mengalami depresi.
“Dia berhenti berbicara… dia berhenti pergi ke sekolah,” kata sang bapak dalam wawancara dengan BBC.
Ternyata, Greta didiagnosis menderita sindrom Asperger, yang sekarang dianggap sebagai gangguan spektrum autisme (ASD).
Penderita biasanya punya kelainan pada interaksi sosial, tapi masih punya kecerdasan dan perkembangan bahasa yang normal.
Orang-orang dengan sindrom Asperger cenderung sangat fokus pada satu ide atau minat tertentu. Buat Greta, itu soal perubahan iklim.
Greta mulai berupaya mengurangi jejak karbon dengan nggak mau naik pesawat dan jadi vegan. Bapak Ibu dan adiknya juga diajak begitu. Sampai di tahun 2018, dia mulai gencar mengajak pemuda-pemuda buat melek isu perubahan iklim.
Aksi pertamanya yang mogok sekolah tadi. Hampir tiga minggu sebelum pemilu di Swedia, Greta bolos sekolah buat duduk di luar Gedung parlemen sambil bawa tulisan “Skolstrejk för Klimatet” (Mogok Sekolah untuk Iklim).
Awalnya dia nekat saja melakukan aksi sendirian. Tapi semakin hari semakin banyak yang ikut menemani. Aksi itu akhirnya menarik perhatian internasional.
Pemuda-pemuda di negara-negara seperti Belgia, Kanada, Amerika Serikat, Inggris, Finlandia, Denmark, Prancis, dan Belanda ikut bikin aksi mogok sekolah juga.
Seketika namanya melejit. Dia menjadi ikon gerakan pemuda peduli lingkungan. Diundang jadi pembicara di berbagai aksi massa di Stockholm, London, dan Brussels.